Penayangan bulan lalu

MENYATUKAN ISLAM DALAM PERBEDAAN

Sabtu, 31 Desember 2011

KEMI: Sebuah Metode Mengenalkan Pemikiran Barat Yang "Renyah"

Dr.Adian Husaini, sebuah nama yang tidak asing lagi bagi para tokoh pemikir di Indonesia.karya-karya beliau sudah menghiasi begitu banyak toko buku. beberapa tema yang sering beliau angkat adalah mengenai kritik terhadap liberalisme, pluralisme, multikultualisme, gender, dan masih banyak lagi isme-isme yang di kritik baik dari segi tokohnya, maupun pemikirannya.
membahas hal-hal yang saya sebutkan diatas sering kali membuat otak kita harus keras agar dapat memahami pemaparan yang beliau sampaikan, sehingga tidak jarang orang awam, dan belum pernah bersentuhan dengan pemahaman ini akan sulit untuk mencerna dan bosan dengan yang dia baca. akan tetapi di sebuah novel dengan judul : KEMI "cinta kebebasan yang tersesat" beliau menjelaskan pemahaman-pemahaman yang merusak aqidah islam dengan alur sebuah cerita, asik, unik dan tidak membosankan.
pemaparannya cukup mudah untuk di pahami dengan berbagai bumbu cerita yang tidak mengurangi esensi, maksud dan tujuan beliau menulis novel ini. pengetahuan dan wawasan beliau tentang liberalisme, gerakan dan tujuan mereka.
membaca novel ini menyadarkan kita akan adanya musuh besar umat islam, mereka sedang menyiapkan sebuah pasukan tempur untuk mengalahkan islam, bukan pertempuran jasmani, akan tetapi sebuah pertempuran pemikiran, dan ideologi untuk meruntuhkan bahkan meluluh lantakan pondasi iman umat islam. sebuah pertempuran yang sulit dilihat dengan mata telanjang, bahsanya musuh kita mengarahkan "misil penghancur" ukhuwah islamiyah dan bom waktu untuk meledakkan islam.
pemikiran mereka yang penuh dengan dusta, dibungkus dengan indah, rapi, lalu di jajakan kepada para pembeli yang tidak tahu apa isinya, baik atau buruk, bahkan mungkin busuk. banyak "pembeli" terpesona, terpana dengan gagasan kaum barat, seakan mereka membawa sebuah pemahaman baru bagaimana memahami islam secara benar dan mengkritik pemikiran-pemikiran para ulama klasik dengan menganggap pemikiran mereka sudah kuno, tidak relevan lagi dengan zaman sekarang yang serba modern, dan islam harus menyesuaikan diri dengan zaman dan kebudayaan yang telah berubah sejak munculnya pada abad ke 6 M.
dalam novel ini beliau memberikan sebuah gambaran argumentasi yang sering digunakan dalam berdebatan oleh para kaum leberalis, feminis,pluralis dan mungkin lebih tepatnya para kaum pengikut iblis...bagi merasa tersinggung tolong jangan marah, katanya pemuja kebebasan, berarti bebas dong saya mengungkapkan pikiran saya....
kalau ditulis semua pandangan saya tentang novel tidak akan ada habis...yang penting intinya novel ini wajib di baca oleh umat muslim di indonesia bahkan dunia agar kita mendapat gambaran musuh kita yang sebenarnya...
sudah waktunya umat muslim bangun dari tidur panjang, membuka wacana kontemporer dengan tetap berpegang teguh kepada al-qur'an , al-hadis dan ulama salaf yang telah berjuang untuk kejayaan islam...Allahu Akbar...

Jumat, 09 Desember 2011

Agama Dan Kebudayaan Dalam Islam

Agama Dan Kebudayaan Dalam Islam

A) Pendahuluan
Islam memberikan posisi tertinggi bagi agama melebihi akal. Penghargaan itu begitu tinggi sehingga tidak jarang akal harus kalah dalam menentukan suatu hal yang di inginkan oleh akal akan tetapi tidak di perbolehkan oleh agama. Akan tetapi seiring berkembangnya zaman, agama menjadi sesuatu yang di abaikan oleh sebagian masyarakat yang tidak menginginkan terkekang oleh aturan agama, bebas dari segala aturan yang mengikat dalam agama bahkan menganggap bahwa agama tidak dibutuhkan lagi pada era modern ini. Lebih dari pada itu beberapa orang yang menamakan diri sebagai ilmuan, peneliti atau yang lain sebagainya mengatakan bahwa agama adalah produk dari kebudayaan .

B) Definisi
Agama secara mendasar dan umum, dapat didefinisikan sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib, khususnya dengan tuhannya, mengatur hubungan manusia dengan manusia yang lainnya serta mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya.
Kemudian kata “kebudayaan” menurut bahasa berasal dari kata “budh”(bahasa Sansakerta) yang berarti “akal”. Kemudian dari kata “budh” itu berubah menjadi “budhi” dan jamaknya “budhaya” selanjutnya menjadi kata “kebudayaan”lantaran di indonesiakan dengan mendapat awalan “ke” dan “an”. Dalam bahasa arab kata “kebudayaan” itu disebut dengan “ats- Tsaqofah” yaitu mashdar dari “tsaqifa-yatsqofu” yang artinya pendidikan,pengajaran atau penajaman. Salain kata “Tsaqofah” dalam bahasa arab yang diartikan dengan kebudayaan terdapat juga kata “At-Tamaddud” dan “Al-Hadloroh”, kemudian dalam bahasa inggris disebut “culture” dan dalam bahasa belanda “cultruur” dan dalam bahasa latin “cultura”.
Setelah menegetahui arti “kebudayaan” menurut bahasa, maka terdapat berbagai pengertian mengenai “kebudayaan”, tapi disini hanya akan disebut sebagian definisi dari beberapa tokoh penting, yaitu:
1. Dr. Ir. Soekarno berkata “kebuyaan adalah ciptaan hidup yang timbul daripada manusia”
2. Dr. Muhammad Hatta mengatakan “kebudayaan adalah ciptaan hidup daripada suatu bangsa
3. Ki Sarmidi Mangunsarkoro mengatakan “yang disebut kebuyaan adalah segala sesuatu yang merupakan (bersifat) hasil dari kerja jiwa manusia dalam arti seluas-luasnya”
4. Prof. Mr. Sutan Takdir Alisyahbana (ahli bahasa indonesia) mengemukakan pendapatnya sebagai berikut : “kebudayaan ialah penjelmaan cara berpikir dari sekumpulan manusia pada satu tempat dan satu ruang.
Sebenarnya masih banyak sekali definisi kebudayaan yang dikemukakan oleh para ahli peminat kebudayaan, akan tetapi dari beberapa definisi yang dikemukakan diatas maka dapat disimpulkan bahwa definisi kebudayaan adalah “ kebudayaan adalah manifestasi atau penjelmaan daripada kerja jiwa manusia dalam arti seluas-luasnya.

C) Pembahasan

Agama
Secara lebih khusus, dengan melihat masalah –masalah yang menjadi jangkauan agama, maka agama juga dapat diartikan sebagai suatu sistem keyakinan yang dianut dan tindakan-tindakan yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam menginterpretasi dan memberi respon terhadap sesuatu yang dirasakan dan diyakini sebagai sesuatu yang gaib dan suci.
Agama dibedakan dari isme-isme yang lainnya karena ajaran-ajaran agama selalu bersumber pada wahyu yang berisikan petunjuk dari Tuhan atau wangsit (dalam agama-agama primitif dan lokal) dan diturunkan kepada Nabi atau “pesuruh-Nya”. Melalui nabi ajaran tersebut di ajarkan kepada sahabat-sahabatnya yang merupakan kelompok pertama sebagai penganut agama tersebut. Dalam agama samawi dan agama-agama besar lainnya, agama yang diturukan melalui wahyu tersebut dibukukan menjadi kitab suci, Dan begitu pula ajaran-ajaran para nabi. Sedangkan dalam agama primitif ajaran-ajaran agama tersebut tidak dibakukan dalam bentuk tertulis tetapi dalam bentuk lisan sebagaimana terwujud dalam tradisi-tradisi dan upacara-upacara.
Bagi para penganutnya, agama berisikan ajaran-ajaran , mengenai kebenaran tertinggi dan mutlak tentang eksistensi manusia dna petunjuk-petunjuk untuk hidup selamat didunia dan di akhirat (setelah mati), yaitu sebagai manusia yang takwa kepada Tuhannya, beradab dan manusiawi yang berbeda dari cara hidup hewan dan mahluk gaib yang berdosa (jin, setan).
Agama sebagai sebuah sistem keyakinan dapat menjadi bagian dari sistem-sistem nilai yang ada dalam kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan, dan menjadi pendorong serta pengontrol bagi tindakan-tindakan anggota masyarakat tersebut untuk berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran-ajaran agamanya, atau denga kata lain sistem-sistem nilai dari kebudayaan tersebut terwujut sebagai simbol-simbol suci yang maknanya bersumber dari ajaran-ajaran agama yang menjadi kerangka acuannya. Dalam keadaan demikian maka, secara langsung ataupun tidak langsung, etos yang menjadi pedoman dari eksistensi dan kegiatan berbagai pranata yang ada dalam masyarakat dipengaruhi, digerakkan dan diarahkan oleh agama yang dianutnya, dan terwujud dalam kegiatan-kegiatan para warga masyarakatnya sebagai tindakan-tindakan dan karya-karya yang diselimuti oleh simbol-simbol suci.
Semua keyakinan agama yang diketahui, baik yang sederhana maupun yang kompleks,mempunyai satu ciri yang sama, semuanya berisikan suatu sistem penggolongan mengenai segala sesuatu baik yang nyata maupun ideal mengenai apa yang difikirkan menusia kedalam dua golongan yang saling bertentangan, yang umumnya ditandai dengan dua istilah yang berbeda yang terjemahkan menjadi Profane (duniawi) dan Sacred (konsep suci).
Dari semua keterangan diatas, menunjukan besarnya peran agama dalam mengatur kehidupan manusia baik yang lahiriah maupun batiniah. Ini berarti manusia tidak dapat hidup tanpa mengunakan agama, apalagi melepaskan agama. Tuhan menciptakan demikian karena agama adalah kebutuhan hidup manusia seperti udara yang menjadi kebutuhan manusia setiap detik untuk hidup. lebih dari pada itu, Islam menempatkan posisi agama sebagai Fitrah yang dimiliki setiap manusia, dalam surat Ar-Ruum ayat 30 Allah berfirman:yang artinya:

30. Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui[1168],

Kebudayaan
Walaupun terdapat banyak perbedaan pendapat dalam mendefinisikan kata “ kebudayaan”, akan tetapi para ahli kebudayaan sepakat mengenai beberapa hal dalam kebudayaan, salah satunya adalah mengenai faktor-faktor yang menimbulkan kebudayaan, diantara faktor-faktornya ialah:
1. Faktor geografis dan millieu (letak daerah dan lingkungan). Misalnya: orang yang tinggal di daerah pantai biasanya mempunyai keahlian dalam menangkap ikan dan pelayaran. Sedangkan orang yang tinggal di daerah pegunungan pandai dalam bercocok tanam.
2. Faktor bangsa atau nation. Oleh karena adannya perbedaan bangsa, maka berbeda pula dalam cara, watak, pembawaan, adat istiadat daripada masing-masing bangsa.
3. Faktor Agama. Contoh :adanya agama Hindu dan Bhudha maka menjelmalah kuil-kuil dan wihara-wihara berikut candi-candinya. Adanya agama Kristen dan Katholik maka muncullah gereja- gereja. Demikian pula dengan adanya agama Islam maka berdirilah masjid-masjid, mushalla, dan pesantren- pesantren dan berbagai corak kebudayaan lainnya yang di ilhami oleh agama islam.
Selain faktor-faktor yang menimbulkan kebudayaan, terdapat pula lapangan kebudayaan yang di utarakan oleh T.M. Usman el Muhammady, lapangan-lapangan kebudayaan itu ialah:
a. Falsafah : Penjelmaan dari kegiatan pemikiran manusia mencari kebenaran.
b. Ilmu Pengetahuan : kegiatan manusia untuk mencari mengetahui alam, baik yang diluar manusia ataupun yang di dalam diri manusia
c. Ekonomi : Penjelmaan daripada rasa mempertahankan hidup yang di susun dengan pikiran.
d. Sosial : Penjelmaan rasa untuk melanjutkan hidup (turunan) yang disusun pikiran
e. Politik : Penjelmaan dari pada pikiran manusia untuk membentuk kekuasaan sehingga dapar membentuk peri kehidupan dengan sebaik-baiknya
f. Kesenian : Penjelmaan dari pada rasa keindahan
Selanjutnya, bila diperhatikan dengan seksama , maka dalam garis besarnya kebudayaan itu dapat dibagi menjadi dua bagian:
Pertama : Materil cultuur (kebudayaan kebendaan, kebudayaan jasmaniah, benda-benda kebudayaan ) yaitu hasil kerja jiwa manusia yang dapat dilihat atau diraba. Misalnya : lukisan, bangunan, pakaian,perkakas-perkakas, ukiran dan lain sebagainya.
Kedua : Gestelijk cultuur (kebudayaan kejiwaan, kebudayaan rohaniah, kebudayaan sepirituil, pemikiran kebudayaan) yaitu hasik kerja pikiran, jiwa manusia yang tidak dapat dilihat ataupun diraba oleh manusia. Misalnya : tata cara, ilmu pengetahuan, filsafat, seni suara, dan lain sebagainya.
Seorang sarjana Barat bernama F.Ratsel (1844-1904) mempunyai teori tentang cara meluas dan berkembangnya suatu kebudayaan. Teorinya ialah bahwa perluasan dan perkenbangan suatu kebudayaan adalah karena disebabkan oleh salah satu dari dua hal berikut :
1. Migratie atau perpindahan golongan. Misalnya perpindahan orang-orang Inggris ke Amerika.
2. Kontak atau terjalinnya suatu hubungan. Misalnya dengan terdaptnya suatu perdagangan, penjelajahan, atau peperangan dan lain.
Kalau dua kebudayaan telah bertemu maka akan terjadi beberapa kemungkinan:
1. Akulturasi, yaitu bila unsur-unsur kebudayaan pendatang lambat laun diterima dan diolah sedemikian rupa, sehingga tidak menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri.
2. Assimilasi, yaitu kebudayaan kelompok pendatang dan penerima masing-masing berubah saling menyesuaikan diri menjadi satu.
3. Symbiotic, yaitu bentuk dari pada masing-masing kebudayaan tidak berubah, atau dengan kata lain kedua kebudayaan menjalankan kebudayaannya masing-masing.
4. Adoptasi (bukan Adaptasi) yaitu apabila kebudayaan yang baru dapat memusnahkan budaya asli dan yang berkembang adalah kebudayaan yang baru.
Dalam Islam kebudayaan lebih dari sekedar manifestasi dari hasil kerja manusia, akan tetapi Islam mempunyai kebudayaan sendiri yaitu kebudayaan Islam yang mempunyai arti “ penjelmaan dari jiwa seorang muslim yang didasari dan mencerminkan ajaran Islam dan arti yang seluas-luasnya”. Islam mempunyai sumber sendiri dalam membentuk sebuah kebudayaan yang islami yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah, keduanya menjadi pegangan bagi seorang muslim.
Karena Islam mempunyai sumber sendiri dalam membentuk sebuah kebudayaan, secara otomatis Islam juga mempunyai tujuan tersendiri dengan kebudayaan tersebut. Secara umun dapat dilihat dari semua bentuk kebudayaan hanya ingin menunjukan identitas suatu kaum,suku atau bangsa. Tapi lebih dari pada menunjukan pencerminan kehidupan muslim dalam kebudayaan tersebut, dalam kebudayaan islam mempunyai tujuan untuk mendapatkan “mardhatillah” pula. Dengan kata lain kebudayaan islam bertujuan untuk mendapatkan ridha Allah.
Oleh karena kebudayaan islam adalah sebagian dari kebudayaan secara keseluruhan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan kebudayaan Islam adalah identik dengan tujuan hidup manusia dan identik pula dengan tujuan muslim, yaitu : mengharap ridha Allah swt.



D) Kesimpulan
Setelah membaca tulisan di atas maka dapat di simpulkan bahwa agama bukanlah produk budaya yang selama ini diprakarsai oleh orang –orang barat untuk menghilangkan kesakralan agama yang menjadi panduan manusia untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
Dan untuk lebih jelasnya lagi, agama dapat di bagi menjadi dua yaitu, atau agama “ardhi” atau “wadh’i” (agama ciptaan manusia), dalam hal agama ini boleh jadi agama sebagi produk dari kebudayaan. Tetapi kalau yang dimaksud adalah agama “samawi”( seperti Islam) , maka hal it tidak dapat dibenarkan. Sebab agama “samawi” bukanlah produk budaya atau hasil berpikir dan cara merasa manusia. Melainkan ajaran dari Allah yang di bawa oleh Rasul untuk keselamatan dan kebahagian manusia.


Reference:
 Idris. Taufik H, Mengenal Kebudayaan Islam, Surabaya, PT.Bina Ilmu 1983.
 Robertson. Roland, Agama: Dalam Analisa Dan Interpretasi Sosiologi, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada 1995.
 Al-Qur’an

Rabu, 30 November 2011

MENGENAL AJARAN KAUM SUFI

Resensi Buku "MENGENAL AJARAN KAUM SUFI"

Judul Buku : An Introduction to Sufi Doctrine
Penulis : Titus Burckhardt
Penerbit : The Aquarian Press, Wellingborough, Great Britain 1981
Edisi terj. : Mengenal Ajaran Kaum Sufi
Penerjemah : Azyumardi Azra
Penerbit : PT. Dunia Pustaka Jaya
Cetakan : Pertama 1984

Pendahuluan
Buku ini merupakan pengantar dalam penelaahan ajaran –ajaran kaum Sufisme. Karena itu diperlukan pertama-tama perumusan sudut pandang untuk mendekati masalah ini. Sudut pandang itu tidaklah murni ilmiah, walau apapun yang menjadi kepentingan ilmiah atas kesimpulan-kesimpulan ajaran sufisme yang dilukiskan dalam buku ini, tujuan utama Titus Burckhardt dalam penulisan buku ini adalah untuk memberikan sumbangan kepada orang-orang yang dewasa ini berusaha memahami kebenaran-kebenaran universal yang bersifat abadi yang merupakan salah satu dari pencerminan setiap ajara yang suci.
Dapat ditegaskan sejak awal pembahasan ini, bahwa pengetahuan akademis hanya untuk digunakan sebagai bantuan sekunder dan tidak langsung dalam memadukan kanduga intelektual dengan ajaran-ajaran dunia timur.
Dalam buku ini usaha-usaha dilakukan untuk menjelaskan perspektif intelektual sufisme. Untuk itu cara-caranya sendiri dalam mengekspresikan berbagai hal diangkat pula dengan berbagai tambahan, dimana mungkin, penjelasan-penjelasanyang dibutuhkan oleh para pembaca. Bersamaan dengan itu ditunjukan pula perbandingan-perbandingan antara gagasan-gagasan tertentu dengan gagasan-gagasan doktrin-doktrin tradisional lainnya.
Sebagai seorang pengagum Muhyidin Ibnu A’rabi, Titus Burckhardt selalu mencantumkan perenungan-perenungan yang telah di dapatkan oleh Ibnu A’rabi, baik dalam bentuk kutipan kata-kata atau menukil tulisannya secara langsung dalam buku ini, sehingga karyanya seakan-akan hasil pemikiran Ibnu A’rabi sendiri.

Metode Penulisan
Dalam penulisan karya ini, Titus Burckhardt mengunakan metode induktif. Hal itu dapat dilihat dari tulisnya yang menerangkan mulai dari hal yang umum kepada hal yang khusus.

Kadungan Buku
Karya “An Introduction to Sufi Doctrine” yang dalam edisi terjemahan indonesia berjudul “Mengenal Ajaran Kaum Sufi” karya Titus Burckhardt ini, fokus utamanya adalah pada pengenalan tentang dasar-dasar ajaran dalam sufisme yang dikenalkan dan diajarkan oleh Muhyidin Ibnu A’rabi.
Buku ini di bagi menjadi tiga bagian dimana setiap bagian mempunyai beberapa bab yang menjelaskan tentang tiap-tiap bagian tersebut. Bagian pertama buku ini menjelaskan tentang watak sufisme yang dibagi menjadi enam bab, dengan pengetahuan mengenai tasawuf sebagai bab pertama, kemudian dilanjutkan mengenai beberapa watak yang harus dimiliki seorang sufi sebagai landasan dan dasar dalam sufisme. Dalam bagian kedua di dalam buku ini Titus Burckhardt mencoba menjelaskan mengenai Dasar-dasar Ajaran dalam sufi, dalam bagian ini ia membagi menjadi tujuh bab, dimana setiap bab menjelaskan dengan gamblang mengenai inti dari ajaran-ajaran sufisme. Dan yang terakhir dalam bagian ke tiga mengenai kesadaran rohani, dimana ia menerangkan tentang ibadat, meditasi dan perenungan.

Bagian Pertama : Watak Sufisme
Tasawwuf yang merupakan aspek batin atau esoterik Islam dibedakan dari aspek luar atau eksoterik Islam sebagaimana perenungan langsung atas realitas ketuhanan dan kerohanian dapat dibedakan dari pemenuhan hukum yang menerjemahkannya ke dalam kehidupan pribadi dalam hubungannya dengan kondisi suatu fase tertentu kemanusiaan. Semantara jalan hidup orang-orang beriman pada umumnya ditujukan untuk mendapatkan kebahagiana setelah kematian, suatu keadaan yang dapat dicapai melalui cara yang tidak langsung dan keikutsertaan simbolis dalam kebenaran Tuhan dengan melaksanakan perbuatan-perbuatan yang telah ditentukan, sufisme mengandung tujuan dalam dirinya sendiri dengan pengertian bahwa ia dapat memberikan jalan masuk bagi pengetahuan langsung tentang keabadian.
Pengetahuan ini, yang menjadi satu dengan tujuannya, melepaskan diri dari keterbatasan dan perubahan keadaan ego yang tak terelakkan. Keadaan rohani yang disebut baqa’ (“substensi” murni diatas segala bentuk) dimana sufi bertafakur untuk mencapainya adalah sama dengan keadaan moksha atau “pembebasan” dalam ajaran Hindu.
Bagi sufisme untuk membolehkan suatu kemungkinan semacam itu, ia harus dikenali dengan kebenaran hakiki ( al-lubb). Sufisme tidak dapat disebut sebagai sesuatu yang tambah-tambahkan kepada islam, karena dengan demikian ia akan menjadi sesuatu yang bersifat pinggiran dalam hubungannya dengan sarana-sarana rohani islam. Sebaliknya , sufisme dalam kenyataannya lebih dekat dengan sumber manusia utama dari pada eksoterisme agama dan ia secara aktif ikut kendatipun sepenuhnya dalam ajaran cara batiniah, dalam mendayagunakan wahyu yang dimanifestasikan dalam bentuk tradisional serta terus memeliharanya agar tetap hidup.
Sekarang ini, peranana sufisme dalam dunia islam, benar-banar seperti hati dalam diri manusia, karena hati merupakanpusat vital organisme kehidupan dan juga , dalam kenyataan yang lebih halus, merupakan “tempat duduk” dari suatu hakikat yang mengatasi setiap bentuk pribadi.
Para oreintalis yang memegang pendapat bahwa sufisme bukan berasal dari islam dan selalu menghubungkan asal-usul sufisme kepada Persia, Hindu, sumber-sumber Neo Platonik atau Kristen, bahkan mereka banyak membuat fakta-fakta bahwa dalan abad-abad pertama islam ajaran-ajaran sufi tidak muncul dengan segala perkembangan pemikiran metafisisnya sebagaimana ditemukan waktu-waktu belakangan.
Para sufi pertama mengekspresikan diri mereka dalam suatu bahasa yang sangat dekat kepada apa yang ada dalam Al-Qur’an, dan ekspresi ringkas terpadu mereka yang telah mencakup seluruh esensi ajaran. Jika pada tahapan berikutnya, ajaran-ajaran tersebut menjadi lebih tegas dan digali lebih lanjut, hal ini adalah sangat wajar yang sama dengan apa yang dapat ditemukan dalan setiap tradisi rohaniah lainnya. Ajaran sufime tumbuh tidak begitu banyak mendapat tambahan dari pengetahuan baru, karena adanya kebutuhan untuk menoleh kesalahan-kesalahan dan untuk menghidupkan kembali satu kekuatan intuisi yang semakin berkurang. Walaupun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa antara para sufi pertama dengan rahib-rahib kristen ada yang terjadi kontak antara mereka, sebagaimana terbukti pada seorang Sufi Ibrahim ibnu Adham, tetapi penjelasan paling akhir tentang tali hubungan antara sufisme dan monastesisme kristen tidak terletak pada peristiwa-peristiwa sejarah.
Dalam pengertian tertentu mengenai dogma-dogma kristen, yang seluruhnya dapat dikurangi menjadi ajaran tentang dua sifat Kristus, Tuhan dan Manusia, tersimpul dalam suatu bentuk historis, bahwa seluruh sufisme mengajarkan bersatu (union) dengan Tuhan. Lebih jauh, kaum sufi berpendapat bahwa Tuhan Yesus (Sayyidina Isa) adalah suatu bentuk sempurna dari orang suci yang berkontemplasi di antara para “Utusan Tuhan” (Rasul). Memberikan pipi kiri kepada orang yang menampar pipi kanan merupakan pembebasan rohani sebenarnya; ini merupakan suatu penarikan diri secara sukarela dari pengaruh aksi dan reaksi kosmik. Meskipun demikian adalah benar bahwa bagi para sufi, pribadi Kristus tidak terdiri dari perspektif yang sama sebagaimana diajarkan oleh orang-orang kristen. Meskipun banyak persamaan, cara sufi mempunyai perbedaan mencolok dari cara-cara rahib-rahib kristen.
Saripati ajaran sufi datang dari Nabi, tetapi karena tidak ada esoterisme tanpa inspirasi tertentu, maka ajaran itu terus di manifestasikan kembali melalui mulut para guru sufi. Pengajaran lisan dengan demikian sangat kuat, karena ia bersifat langsung dan pribadi dibandingkan dengan apa yang dapat dikumpulkan sedikit demi sedikit dari tulisan-tulisan, karena tulisan hanya memainkan peran sekunder persiapan, perlengkapan, atau suatu bantuan untuk membantu mengingat ajaran, dan karena alasan inilah kontinuitas sejarah ajaran sufi kadang-kadang luput dari penelitian para sarjana.
Inisiasi dalam sufisme terkandung dalam pemindahan pengaruh rohani (barakah) yang harus anugerahkan oleh seorang wakil dari suatu “rantai” (silsilah) yang sampai kepada Nabi. Dalam kebanyakan kasus, barakah itu dipindahkan oleh guru yang juga menjelaskan metode dan menganugerahkan sarana-sarana konsentrasi rohani yang sesuai dengan bakat murid. Kerangka umum metode tiu adalah hukum islam, walaupun disana selalu terdapat sufi-sufi yang diasingkan , karena alasan sifat keadaan perenungan mereka menyimpang dan tidak sesuai dengan ibadah biasa dalam islam.
Inisiasi pada umumnya mengambil bentuk perjanjian (bay’ah) diantara calom murid dengan pembimbing rohani (mursyid) yang mewakili Nabi. Perjanjian ini menunjukan penyerahan sempurna seorang murid kepasa gurunya dalam semua hal yang menyangkut kehidupan rohani dan tidak dapat dibatalakan secara sepihak atas kemauan murid.
Dalam hubungan ini harus dicatat bahwa, jika islam dapat tetap utuh dalam perjalanannya selama berabad-abad di tengah perubahan-perubahan psikologi dan etnis manusia diantara masyarakat islam, hal ini terjamin bukan karena watak yang cukup dinamis yang dimilikinya sebagai suatu bantuk kolektif, tetapi karena dalam inti ajarannya terkandung kemungkinan- kemungkinan untuk perenungan akal yang dapat mengatasi arus afektif jiwa manusia.
Adalah karakteristik Sufisme bahwa ekspresi-ekspresinya sering berpegang pada keseimbangan antara cinta dan pengetahuan. Bahasa cinta memungkinkannya untuk menegaskan kebenaran-kebenaran esoterispaling dalam tanpa masuk dalam konflik dengan ajaran telogi dogmatis. Akhirnya cinta itu secara simbolisberkaitan dengan keadaan pengatuhuan yang berada atas pokoran yang satu sama lain tidak bersambung..
Beberapa penulis sufi memberikan bukti tentang suatu sikap yang secara mendasar bersifat intelektual. Mereka melihat wujud tuhan sebagai hakikat universal dari seluruh pengetahuan. Sedangkan beberapa penulis sufi lain, mengekpresikan diri mereka dalam bahasa cinta, bagi mereka wujud Tuhan, pertama-tama adalah objek yang tak terbatas dari keinginan. Tetapi keanekaragaman sikap ini tidak berkaitan sama sekali dengan perbedaan apapun antara berbagai aliran sufismeyang berbeda, seperti sementara orang percaya bahwa para sufi yang mengunakan bahasa intelektual telah dipengaruhi oleh ajaran-ajaran yang asing bagi islam, seperti Neo-Platonisme, dan bahwa hanya mereka yang menampilkan sikap emisionallah yang menjadi muara mistisme sebenarnya yang timbul dari perspektif monoteisme.
Pada kenyataannya, keanekaragaman masalah timbul dari suatu berbedaan keahlian; berbagai keahlian yang berbeda secara cukup alamiah mencabangkan diri mereka kepadabermacam jenis kecerdasan manusia dan akhirnya mereka semua menemukan temoat dalam tasawwuf yang benar, berbeda antara sikap intelektual dan emosional merupakan hal terpenting dan paling umum dari berbagai perbedaan yang akan ditemukan dalam bidang ini.
Hal ini membawa kita kembali kepada pendapat bahwa hanya para sufi yang menyatakan sikap cinta, yang sebenarnya menampilkan aspek mitis agama islam. Dalam mendukung pandapat ini, beberapa keriteria salah dikenakan kepada sufisme, padahal kriteria ini hanya berlaku dalam hubungannya dengan agama kristen. Tema dasar kriteria ini adalah kasih tuhan, sehingga orang-orang yang menjadi corong mulut gnosis dalam kristen- walaupun ada kekecualian yang culup jarang – mengekspresikan diri mereka melalui simbolisme (cinta).
Bagian Kedua : Dasar- Dasar Ajaran
Ajaran islam sebagai suatu keseluruhan terkandung dalam tauhid, yaitu pengakuan terhadap keesaan Tuhan, bagi muslim awam, penegasan ini merupan poros yang jelas dan sederhana dari agama islam. Sedangakan bagi para perenung, tauhid adalah pintu yang terbuka untuk memahami dan masuk dalam realitas esensial. Semakin jauh pikiran para perenung menembus kesederhanaan rasional yang nampak dari keesaan tuhan, semakin akan menjadi kompleks kesederhanaan tersebut hingga mencapai titik dimana aspek-aspek yang berbeda tidak dapat lagi dirujukan dengan pikiran yang terpenggal-penggal saja. Meditasi atas perbedaan ini, dalam kenyataannya akan mengunakan indra pemikiran sampai pada batas-batas yang paling jauh. Dan, akal dalam hal ini terbuka bagi suatu sintesa yang terletak di atas seluruh konsepsi formal. Dengan kata lain , ini hanya intuisi tanpa bentuk yang dapat masuk dalam keesaan tuhan.
Hal in berlaku pada perumusan dasar islam ; kesaksian (syahadah) bahwa “tidak ada tuhan kecuali Allah” (la ilaha illallah). Dengan demikian dapat dikatakan “menentukan” keesaan tuhan. Rumusan ini harus diterjemahkan sepeti ditunjukan disini dan bukan seperti biasanya “tidak ada tuhan selain Allah”, karena rumusan ini dapat memelihara konsep tersebut dari pleonasme atau paradoks.
Menuru persaksian ini, Allah berbeda dengan segala sesuatu dan tidak ada sesuatu yang dapat diperbandingkan dengan-Nya. Karena diantara realitas-realitas yang dapat diperbandingkan harus terdapat kesamaan umum dalam sofat maupun persyaratan yang seimbang, sedangkan tuhan adalah transenden dalam kedua segi itu. Sekarang sesuatu yang sama sekali tak dapat dibandingkan itu menghendaki bahwa tidak ada sesuatu yang dapat di bandingkan dan mempunyai hubungan apa pun dengannya. Ini semua berpuncak padaungkapan bahwa tidak ada sesuatu yang ada dihadapan realitas Tuhan. Demikian bahwa dalam tuhan , segala sesuatu tidak ada artinya.”Allah ada dan tidak ada yang sesutu yang menyertai-Nya dan kini pun Ia ada sebagaimana Ia pernah ada.”(hadist Qudsi).
Guru –guru sufi menyebut keesaan Tuhan yang tidak dapat dibagi-bagi dengan istilah al-Ahadiyah, suatu istilah yang berasal dari kata ‘ahad’ yang merupakan kata benda yang berarti ‘satu’. Sedangkan bagi keesaan, sebagaimana ia muncul dalam aspek-aspek universalnya,mereka namakan dengan al-Wahidiyah,berasal dari kata ‘Wahid’ kata sifat yang berarti satu-satunya (unique). Istilah terakhir ini di dalam pembahasan diterjemahkan sebagai ‘keunikan’.
Selain dari segi keesaan tuhan, dalam dasar-dasar ajaran sufi juga merenungkan tentang penciptaan. Gagasan penciptaan pada umumnya mempunyai penmpilan bertentangan dengan kesatuan hakikat semua wujud, karena creatio ex nihilo kelihatannya menolak adanya kemungkinan –kemungkina pra-eksistensi dlam hakikat tuhan. Dan sebagai konsekuensinya ,menolak pula subsistensi wujud didalam hakikat-Nya. Padahal gagasan tentang perwujudan seperti diajarkan dalam agama hinduisme menghubungkan wujud nisbi kepada hakikat yang mutlak sebagai refleksi yang berkaitan dengan sumbernya yang terang.
Bagaimana pun, kedua konsepsi atau simbolisme ini mendekati satu sama salin, jika memandang bahwa arti metafisis ‘ketiadaan’(udum) daripada pencipta melukiskan benda-benda hanya dapat berupa ketiadaan dari bukan wujud (non-existence) ; yaitu dari bukan merupakan perwujudan atau keadaan awal. Karena kemungkinan –kemungkinan yang pada dasarnya terkandung dalam hakikat tuhan tidaklah berbeda didalam-Nya, sebelum mereka itu tersebar dalam suatubentuk-bentuk nisbi. Kemungkinan –kemungkinan itu juga tidak diwujudkan, karena eksistensi salalu menyatakan secara tak langsung kondisi pertama dan perbedaan sebenarnya antara ‘pengenal’ dan ‘yang dikenal’. Karena tindakan penciptaan dalam pengertian bahasa arab khalaqa –adalah sinonim dengan menempatkan setiap sesuatu pada ukurannya yang layak. Ini berubah ketika benda itu masuk kedalam tata aturan metafisis dan sesuai dengan ketentuan pertama dari kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam akal tuhan. Menurut arti kata khalq ‘penciptaan secara logis dapat digambarkan sebagai awal penciptaan eksistensi (ijad) dari kemungkinan-kemungkinan yang sama ini.
Dengan demikian asal-usul alam(cosmogony) dapat dirumuskan dalam cara ini: pertama, Tuhan meletakaan kemungkinan-kemungkinan yang mudah untuk diwujudkan dalam suatu keadaan serentak yang sempurna dan menentukan setiap ciptaan itu ‘kekuatan’ (qadar) nya untk berkembang dalam suatu bentuk nisbi,kemungkinan Dia membawa semua ciptaaan itu kedalam eksistensi dengan mengejawantahkan (dhahara) diri-Nya sendiri di dalam ciptaan-ciptaan tersebut. Dengan demikian , dalam kualitas sebagai pencipta (Khaliq) , Tuhan melakukan suatu pemilihan atas kemungkinan-kemungkinan untuk diwujudkan. Begitulah penciptaan tersebut muncul karena ia berkaitan dengan kedirian Tuhan (an-nafs) yang digambarkan secara analogi dengan kedirian manusia dan ditunjukan dengan sifat-sifat seperti ketentuan (al-Hukum) kehendak (al-Iradah) dan perbuatan (al- Fi’l). Kini bentuk antropomorfisme dari ekspresi-ekspersi ini hanyalah merupakan kiasan (isyarah) dan bukanlah perbatasan perspektif persolan tersebut.
Meskipun demikian, terdapat pula suatu perspektif metafisika yang lebih luas ,dan memperhitungkan setiap benda-benda dalam hubungannya dengan Tuhan yang maha sempurna. Dalam pengetahuan tuhan yang maha sempurna segala kemungkinan adalah apa-apa yang yang wujud secara abadi. Dan demikianlah pemilihan kemungkina-kemungkinan yang terwujud itu bersesuaian dengan sifat mereka sebenarnya,atau lebih tegas lagi dari suatu aspek yang melengkapi kemungkinan-kemungkinan tersebut, wujud Tuhan tersebut memanifestasikan diri-Nya sendiri sesuai dengan bentuk bentuk yang semua bentuk-bentuk yang mungkin, dan sama sekali tidak ada batasan bagi kemungkinan-kemungkinan Tuhan.
Dari seluruh sudut pandang yang berbeda ini, dunia pada hakikatanya merupakan perwujudan Tuhan bagi diri-Nya sendiri. Demikianlah hal itu dinyatakan dalam sabda suci nabi (hadist qudsi) yang mengembalikan gagasan penciptaan kepada gagasan pengetahuan, seperti dinyatakan “aku adalah harta benda yang tersembunyi ;aku ingin diketahui maka ak menciptakan dunia” dalam pengertian yang sama, kakum sufi membandingkan alam dengan suatu kombinasi kaca-kaca dimana hakikat Yang Maha Sempurna merenungi diri sendiri dalam bentuk-bentuk yang beragam atau yang mencerminkan diri dalam berbagai tingkat perwujudan wujud tunggal. Kaca-kaca in melambangkan kemungkinan-kemungkinan hakikat (Dzat) untuk menentukan dirinya sendiri. Memungkinkan apa yang dikandung-Nya dengan sifat kesempurnaan-Nya (kamal).
‘Kemungkinan-kemungkinan dasar’ atau ‘ Hakikat-hakikat abadi’ (al-a’yan ats-tsabitah) meskioun terkandung dalam hakikat tuhan yang tidak ada perbedaan, adalah juga , sejauh mereka tercermin dalam akal Universal, merupakan ‘ide-ide’ atau pola dasar yang diperbandingkan dengan Plato dalam cerita tamsilnya tentang gua, kepada objek-objek riil tempat para tahanan dalam gua tersebut hanya merasakan bayang –bayang.
Dalam pengertian ini-karena sufi mengambik teori pola dasar- maka mereka semua sebenarnya adalah Platonis ajaran pola dasar lebih lanjut, secara terpadu berkaitan dengan Kemahatahuan Tuhan. Alasan –alasan yang dikemukakan para filosof tertentu untuk menentang eksistensi ‘ide-ide’ kaum Platonis sepenuhnya gugur jika dipahami bahwa ‘ide-ide’ tersebut tidak mempunyai eksistensi, seperti yang nyatakan Ibnu A’rabi, atau dengan kata lain ide-ide itu bukanlah sifat dari substansi yang berbedadan hanya merupakam kemungkinan-kemungkinan yang inheren dalam akal Tuhan, dan pada dasarnya inheren dalam hakikat Tuhan. Lebih lanjut seluruh pembicaraan filosofis tentang hal-hal Universal berlangsung dari suatu kerancuan antaa pola-pola dasar dan refleksinya pada tingakaan rohani murni. Jelaslah bahwa bentuk-bentuk rohani, ide-ide umum hanyalah merupakan abstraksi murni. Tetapi untuk menetapkan hal ini , berarti tidak menyentuh pola dasar platonis atau ide-idenya, karena semuanya itu hanyalah disposisi-disposisi intelektual atau kemungkinan-kemungkinan yang diperkirakan dengan abtraksi-abstraksi yang tanpa abtraksi-abtraksi ini akan terjadi kekurangan secara menyeluruh tanpa kebenaran interistik.
Untuk menolak adanya hakikat abadi, sumber seluruh pengetahuan nisbi, akan berarti seperti menolak adanya ruang dengan dalih ia tidak mempunya bentuk spesial. Dalam kenyataannya ,pola-pola dasar semacam itu tidak pernah terwujutkan baik dalam dunia indrawi atau bidang rohani. Meskipun demikian , segala sesuatu yang ada dalam kedua bidang itu pada daarnya kembali kepada hakikat –hakikat abadi tadi. Jika kita mencoba menguasainya, maka hakikat –hakikat abadi itu daoat mengelakkan pandangan-pandangan khusus. Hakikat-hakikat abadi tersebut hanya dapat diketahuai dengan cara intuitif, baik melalui simbol-simbolnya maupun melalui identifikasi dengan hakikat Tuhan.


Bagian Ketiga : Kesadaran Rohani
Sufisme yanag berlaku ‘Operatif’, seperti juga setiap jalan perenungan – terlepas dari perbedaaannya yang pada berbagai jalan- mengandung tiga elemen dasar atau aspek pokok. Aspek-aspek pokok itu ialah; ajaran kebajikan rohani dan suatu seni memusatkan pikiran (konsentrasi) yang akan kita sebut memakai pernyataan beberapa sufi tertentu –sebagai al-Kimia rohani.
Pembauran kebenaran-kebenaran ajaran sangat diperlukan, tetapi pembauran itu sendiri tidak membawa perubahan terhadap jiwa,kecuali dalam kasusu-kasus yang benar-benar merupakan pengecualian yang jiwa begitu terencana baik untuk melakukan perenungan, sehingga sekilas ajaran saja tidak cukup untuk memasukan jiwa ke dalam perenungan. Hal ini seperti larutan yang tiba-tiba dapat berubah menjadi kristal walaupun dengan kejutan paling alus sekalipun. Dalan ajaran itu sendiri, akal sama sekali bersifat statis. Akal boleh jadi dapat melepaskan jiwa dari ketegangan –ketegangan tertentu, tetapi sebenarnya tidak dapat merubahnya tanpa persetujuan kemauan yang merupakan elemen dinamis dalam jalan sufi. Akal pun boleh jadi dapat secara mudah merubah intuisi dengan kebenaran –kebenaran metafisis. Perubahan itu pertama kali timbul dengan mempelajari ajaran. Intuisi itupun sedikit demi sedikit hilang dalam diriseseorang yang mengenggap bahwa ia memiliki kebenaran metafisis tersebut, dan ia pun kemudian hanya mengikuti kebenaran metafisis itu dalam pikirannya. Ini terjadi jika pikiran tidak mempunyai tempat untuk bermain dalam hubungannya dengan kebenaran-kebenaran tersebut.
Sesuai denga sifat khusus ‘jalan’- mempunyai banyak jalan , sesuai dengan banyaknya jiwa manusia- maka pemahaman ajaran dapat memainkan peran lebih besar atau bahkan mungkin malah menjadi kurang penting. Suatu keadaan belajar yang benar-benar ekstensif dalam masalah doktrin sufisme tidaklah dimaksudkan bahwa pemahaman haruslah dikembangkan kedalam jiwa bukan dalam segi-segi lahiriah. Bagi seorang yang ingin mencapai pengetahuan yang haq tentang Tuhan (ma’rifah), maka yang harus menjadi persoalan utama adalah bahwa ia haruslah sadar tentang kedalaman arti ibadah yang dilakukannya sebagai mana yang diperbolehkan intuisinya. Dalam bidang ini, suatu usaha yang semata-mata kualitatif dan upaya kemauan serampangan tidak akan dapat mencapai suatu hasil apapun. Karena pengetahuan Haq hanya dapat dicapai dengan cara-cara yang sama dengan sifat-sifat pengetahuan itu sendiri. Atas uraian tersebut perlu ditambahkan bahwa dalam praktek-praktek rohani selalu terdapat elemen-elemen yang tidak memberikan tumpuan berpijak kepada akal pikiran.
Adalah benar-benar bersifat intelektual ,orang-orang yang sejak pertama kali telah mengakui sifat nisbi semua pernyataan teoritis. Aspek intelektual jalan sufisme mencakup tudi tentang ajaran, dan ini dapat diperoleh tanpa intuisi. Jika kesalahan yang ketat selalu dapat dikeluarkan, maka pikiran- yang merupakan alat untuk mencari kebenaran dan sekaligus membatasi kebenaran tersebut – harus juga dikurangi dalam perenungan untuk penyatuan dengan Tuhan. Dalam keseluruhan sifat seorang sufi, pengetahuan pada hakikatnya merupakan suatu hal yang bersifat supra-individual karena ia adalah universal.

Minggu, 27 November 2011

Liberalisasi Pemikiran Islam

Pendahuluan
Dunia pemikiran Islam kini memasuki "wajah baru" menyusul membanjirnya arus pemikiran Barat dalam studi keislaman (Islamic studies). Berbagai perguruan tinggi, baik Islam maupun Kristen, menawarkan program Religious Islamic Studies yang banyak mengacu pada pola kajian Barat. Sekitar dua dekade lalu, banyak sarjana Islam mulai berbondong-bondong pergi ke Barat untuk belajar Islam.
Lepas dari soal pro-kontra keunggulan dan kelemahan "metode Barat", dukungan dana dan fasilitas akademik yang baik menyebabkan gelombang sarjana Muslim yang belajar Islamic studies ke Barat, sulit dibendung. Setiap tahun, ratusan sarjana Muslim menyerbu McGill University, University of Leiden, Chicago University, Melbourne University, Hamburg University, dan sebagainya.
Soal belajar memang bisa dimana saja. Yang penting adalah sikap dan daya kritis sarjana Muslim terhadap "sajian" Barat. Prof HM Rasjidi, misalnya, meskipun lulusan Sorbonne University, Prancis, ia mampu mengembangkan daya kritisnya terhadap gagasan-gagasan sekulerisasi. Prof Naquib al-Attas juga jebolan Barat (University of London), tetapi justru berhasil menyusun pola-pola kajian Islam untuk "menandingi" Barat.
Yang menjadi pertanyaan, perlukah mengambil metode kajian keislaman (Islamic studies) dari Barat? Para penyokong gagasan ini biasanya beralasan bahwa metode Barat diperlukan untuk mengembangkan dan memecahkan kebekuan studi Islam, khususnya di lembaga-lembaga pendidikan tinggi Islam.
Diantaranya, dengan memperkenalkan metode penelitian empiris (seperti yang biasa dipakai dalam sosiologi dan antropologi agama), teori-teori baru, dan pemikiran-pemikiran kontemporer dalam ilmu sosial dan humaniora, seperti "teori interaksi simbol" (symbolic interaction)-nya Herbert Mead, teori tindakan komunikatif (theory of communicative action)-nya Habermas, "arkeologi ilmu" (archeology of knowledge)-nya Foucault, "strategi dekonstruksi"-nya Derrida, atau hermeneutiknya Gadamer -untuk menyebut sejumlah contoh saja.

Pembahasan
A. Asal- usul Liberalisasi Pemikiran Islam
Istilah 'liberalisme' berasal dari bahasa latin, liber, yang artinya 'bebas' atau 'merdeka'. Hingga penghujung abad ke-18 masehi, istilah ini terkait erat dengan konsep manusia merdeka, bisa merdeka semenjak lahir ataupun merdeka setelah di bebaskan, yakni mantan budak. Dari sinilah muncul istilah 'liberal arts' yang berarti ilmu yang berguna dan sepatutnya dimiliki oleh setiap manusia merdeka, yaitu aritmatika, geografi, astronomi, dan musik serta gramatika, retorika dan logika.
Pakar sejatah barat biasanya menunjuk moto Revolusi Perancis 1789- kebebasan, kesetaraan, persaudaraan, sebagai piagam agung liberalisme modern. Sebagaimana yang diungapkan oleh H.Gruber, prinsip liberalisme yang paling mendasar adalah pernyataan bahwa tunduk kepada otoritas apapun namanya-adalah bertentangan dengan hak asasi, kebebasan dan harga diri manusia- yakni otoritas yang akarnya, aturannya, ukurannya dan ketetapannya ada diluar dirinya. Disini kita mencium bau sophisme dan relativisme ala falsafah Protagoras yang mengajarkan bahwa "manusia adalah ukuran dari segalanya"- doktrin yang kemudian dirayakan oleh para penganut nihilisme Nietzsche.
Dalam ranah urusan agama, liberalisme berarti kebebasan menganut, meyakini, dan mengamalkan apa saja, sesuai kecenderungan, kehendak, dan selera masing-masing. Bahkan lebih jauh dari itu,liberalisme mereduksi agama menjadi urusan privat. Artinya konsep amar ma'ruf maupun nahi munkar bukan saja dinilai tidak relevan, bahkan dianggap bertentangan dengan semangat liberalisme.

Pemikiran Islam adalah suatu bidang ilmu baru. Istilah pemikiran Islam itu sendiri adalah istilah baru. Kenyataan ini sangat jelas dimana tidak ditemukan sebuah karya turats (klasik) Islam yang berjudul "Al-fikr al-islami" atau tulisan yang mengandung istilah tersebut.
Proses liberalisasi sebenarnya telah terjadi pada berbagai bidang kehidupan, baik bidang politik, ekonomi, politik, maupun sosial, termasuk juga bidang agama. Khususnya yang terjadi dalam agama Islam yang dikenal dengan Islam Liberal.
Menurut Kurzman, ungkapan "Islam Liberal" mungkin terdengar seperti sebuah kontradiksi dalam peristilahan. Mungkin ia binggung dengan istilahnya sendiri: Islam kok Liberal? Meski ia jawab sendiri di akhir tulisannya bahwa istilah Islam Liberal itu tidak kontradiktif, tapi ketidak jelasn uraiannya masih tampak di sana-sini.
Islama sendiri secara lughawi bermakna "pasrah" tunduk kepada Tuhan (Allah) dan terikat dengan hukum-hukum yang dibawa Nabi Muhammad saw. Dalam hal ini Islam tidak bebas. Tetapi, disamping Islam tunduk kepada Allah SWT, Islam sebenarnya membebaskan manusia dari belenggu peribadahan kepada manusia ataupun makhluk lainnya. Bisa disimpulkan bahwa Islam itu "bebas" dan "tidak bebas".
Seorang sarjana hukum India, Ali Asghar Fyzee mengunakan istilah lain untuk Islam Liberal dengan sebutan Islam Protestan, dengan Istilah ini, Fyzee ingin menyampaikan pesan perlunya menghadirkan wajah Islam yang lain, yaitu Islam yang nonortodoks; Islam yang kompetibel terhadap perubahan zaman; dan Islam yang berorientasi ke masa depan dan bukan ke masa silam.
Kemunculan istilah Islam Liberal ini menurut Luthfi, salah seorang pengajar Universitas Paramadina, mulai di populerkan tahun 1950-an. Tapi mulai berkembang pesat pada tahun 1980-an. Selanjutnya Luthfi menjelaskan tentang agenda-agenda Islam liberal, setidaknya ada empat agenda pokok yang dibahas oleh para pembaharu dan intelektual muslim selama ini. Yakni, agenda politik, toleranasi agama, emansipasi wanita, dan kebebasan berekspresi. Selain itu Islam Liberal sangat "mendewakan modernitas", sehingga islam harus disesuikan dengan kemodernan. " jika terjadi konflik antara ajaran Islam dan pencapaian modernitas, maka yang harus dilakukan,menurut mereka bukanlah menolak modernitas, tetapi menafsirkan kembali ajaran tersebut. Di sinilah inti sikap dan doktrin Islam Liberal" kata Luthfi.
B. Arti Liberalisasi Pemikiran Islam
Dinamika pemikiran Islam pada satu dasawarsa terakhir ini, terutama yang berkembang pada intelektual muda sebenarnya berakar pada dua isu mainstream yaitu "tradisi dan modernitas".
Tren pemikiran Islam liberal merupakan fenomena global yang belakangan ini mulai menggejala di hampir seluruh belahan dunia Islam. Ia menyebar dan menjalar ke setiap lini kehidupan masyarakat Muslim pada khususnya seiring dengan derasnya ekspansi-neo imperaliasme barat yang dibuat atas nama globalisasi. Bila diteliti denan cermat, hampir seluruh gerakan liberal di dunia Islam termasuk di Indonesia lahir sebagai respon ideologis terhadap berbagai persoalan, politik, ekonomi, sosial yang sedang melanda masyarakat.
Kaum liberal berusaha ingin membuat terobosan baru untuk membangkitkan kembali masyarakat yang mereka anggap telah tertinggal jauh dari Barat dalam pemikiran. Dan terobosan itu, kata mereka hendaknya dimulai dari agama. Karena Agama (Islam) selama ini menjadi penghalang kemajuan dan akselerasi pembangunan di tengah-tengah masyarakat muslim. Keyakinan inilah yang dapat dairekan dari seorang pemikir arab abad dua puluh yang lalu, Muhammad Nuwaihy. Dalam artikelnya dia menyatakan, "kalau kita betul serius ingin berusaha mencapai "Revolusi budaya Arab Komprehensif", maka kita harus memulainya untuk berhdapan dengan fakta, bahwa penghalang pertama perjalanan ini adalah Agama (Islam).
Secara khusus kelompok ini telah menempatkan dirinya sebagai respon dan reaksi terhadap fenomena baru yang mereka beri label sebagai 'radikalisme dan fundamentalisme Islam'. Ada juga yang melihat gerakan islam liberal ini tak lain adalah kelanjutan dari udaha pembaruan yang pernah di gagas oleh cendekiawan-cendekawan muslim. Dalam posisi seperti ini umat Islam diposisikan untuk mengadopsi demokrasi, kebebasan beragama dan berpendapat, dan persamaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan, pemisahan agama dari ruang publik, dan lain sebagainya. Karena hanya dengan begitu, masyarakat Islam akan terlepas dari ketepurukan yang sedang dialami.
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa arti Liberalisai Pemikiran Islam adalah suatu usaha untuk memisahkan bahkan membuang dasar-dasar Islam baik aqidah maupun syari'ah.
C. Dampaknya Terhadap Aqidah Islam
Proses liberalisasi pemikiran Islam dilakukan melalui 3 bidang penting dalam ajaran Islam, Yaitu (1) Liberalisasi bidang aqidah dengan paham Pluralisme Agama, (2) liberalisasi bidang syari'ah dengan melakukan perubahan metodologi ijtihad, (3) liberalisasi konsep wahyu dengan melakukan dekonstruksi terhadap al-Qur'an.
Dr. Greg Barton dalam disertasinya memberikan sejumlah program dalam mengembangkan liberalisasi pemikiran islam, yaitu: (a) pentingnya konstekstualisasi ijtihad, (b) komitmen terhadap rasionalitas dan pembaharuan, (c) penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama-agama, (d) pemidahan agama dan partai politik dan adanya posisi non sektarian negara.
Dari disertasi Barton tersebut dapat diketahui, bahwa memang ada strategi dan progaram yang sistematis dan metodologis dalam liberalisasi Islam. Penyebaran paham pluralisme agama- yang jelas-jelas merupakan paham syirik modern, karena membenarkan semua tindakan syirik- dilakukan dengan cara masif, melalui berbagai saluran, dan dukungan dana yang luar biasa. Dari berbagai program tersebut terdapat program khusus yang menjadi aspek dasar dari gerakan liberalisasi Islam yaitu, liberalisasi aqidah Islam.
Liberalisasi aqidah Islam dilakukan dengan menyebarkan paham Pluralisme Agama. Paham ini, pada dasarnya menyatakan, bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama. Jadi menurut penganut paham ini, semua agama adalah jalan yang berbeda-beda menuju Tuhan yang sama. Atau mereka menyatakan, bahwa agama adalah persepsi relatif terhadap Tuhan yang mutlak. Sehingga- karena kerelativannya- maka setiap pemeluk agama tidak bolehmengklaim atau menyakini bahwa agamanya sendiri yang paling benar atau lebih baik dari agama yang lainnya. Bahkan menurut Charles Kimball, salah satu ciri agama jahat adalah agama yang memiliki klaim kebenaran mutlak atas agamanya sendiri.
Pada dataran diskursus akademik, makna religion di Barat memang problematik. Bertahun-tahun mereka mencoba mendefinisikan religion tapi gagal. Mereka tetap tidak mampu menjangkau hal-hal yang khusus. Jikapun mampu mereka terpaksa menafikan agama lain. Ketika agama didefinisikan sebagai kepercayaan, atau kepercayaan kepada yang Maha Kuasa (Supreme Being), kepercayaan primitif di Asia menjadi bukan agama. Sebab agama primitif tidak punya kepercayaan formal, apalagi doktrin.
F. Schleiermacher kemudian mendefinisan agama dengan tidak terlalu doktriner, agama adalah "rasa ketergantungan yang absolut" (feeling of absolute dependence). Demikian pula Whitehead, agama adalah "apa yang kita lakukan adalah kesendirian". Di sini faktor-faktor terpentingnya adalah emosi, pengalaman, intuisi dan etika. Tapi definisi ini hanya sesuai untuk agama primitif yang punya tradisi penuh dengan ritus-ritus, dan tidak cocok untuk agama yang punya stuktur keimanan, ide-ide dan doktrin-doktrin.
Konsep Tuhan di Barat kini sudah hampir sepenuhnya rekayasa akal manusia. Bukti Tuhan 'harus' mengikuti peraturan akal manusia. Ia 'tidak boleh' menjadi tiran, 'tidak boleh' ikut campur dalam kebebasan dan kreativitas manusia. Tuhan yang ikut mengatur alam semesta adalah absurd. Tuhan yang personal dan tiranik itulah yang pada abad ke19 'dibunuh' Nietzche dari pikiran manusia. Tuhan Pencipta tidak wujud pada nalar manusia produk kebudayaan Barat. Agama disana akhirnya tanpa Tuhan atau bahkan Tuhan tanpa Tuhan.
Manusia-manusia yang hidup dalam alam pikiran liberal dan kenisbian nilai akan senantiasa mengalami kegelisahan hidup dan ketidaktenangan jiwa. Mereka pada hakekatnya berada dalam kegelapan, jauh dari cahaya kebenaran. Karena itu, mereka akan senantiasa mengejar bayangan kebahagiaan, fatomorgana, melalui berbagai bentuk kepuasan fisik dan jasmaniyah; ibarat meminum air laut, yang tidak akan pernah menghilangkan rasa haus. Tidak ada kebahagian abadiyang dapat mereka reguk, karena mereka sudah membuang jauh-jauh keimanan dan keyakinan akan nilai-nilai yang abadi, kebenaran yang hakiki, mereka tidak percaya lagi kepada wahyu Tuhan, dan menjadikan akal dan hawa nafsu-nya sebagai Tuhan.
Dengan demikian pada akhirnya manusia tidak akan mengakui lagi akan adanya Tuhan, karena bagi mereka Tuhan adalah hasil ciptaan manusia dari akal pikiran mereka sendiri. Jadi yang mengatur kehidupan bukan Tuhan melainkan kita yang menggatur Tuhan. Dan paham ini sangat bertentangan dengan aqidah dalam Islam.
Penutup
Gerakan liberalisasi pemikiran Islam dengan menjadikan barat sebagai rujukan utama sebenarnya sudah lama di praktekan, hal itu di lakukan barat agar terjadi penyimpangan dalam pemikiran Islam bahkan aqidah, sehingga umat Islam akan kehilangan jiwa, ruh yang menjadi landasan dan pondasi Islam. Dan ketika pondasi itu telah hancur maka akan dengan mudah Islam dileburkan.
Sebagai umat Islam sudah seharusnya kita lebih selektif lagi dalam menggunakan pemikiran yang dibawa oleh barat, sehingga tidak akan terjadi penyimpangan pemikiran bahkan aqidah yang telah dibawa oleh Rasulullah yaitu aqidah tauhid.
Daftar Pustaka
" Arif. Syamsudin, "Jejak Kristen dalam Islamic Studies", artikel Mikail Huda Melawan JIL: Dalang di Balik Gerakan Islam Liberal YAPISDA Corporation.
" Arif. Syamsudin, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran,(Jakarta: GIP: 2008).
" Wan adli Wan Ramli, "Studi Pemikiran Islam di perguruan tinggi negeri di Malaysia: realitas, tantangan dan masa depan" Metodologi Pengkajian Islam Pengalaman Indonesia dan Malaysia,(Gontor: ISID, 2008).
" Husaini. Adian, Hidayat. Nuim, Islam Liberal: sejarah, konsepsi, penyimpangan dan jawabannya, (Jakarta:2006, Gema Insani).
" Nirwan. Syarif, "Kritik Terhadap Paham Liberalisme Syariat Islam" Jurnal tsaqofah, vol IV.
" Husaini. Adian, Liberalisasi Pemikiran Islam di Indonesia, makalah di sampaikan dalam acara Rakorda Majelis Ulama se-Jawa dan Lampung di Serang-Benten 11 Agustus 2009.
" Zarkasyi. Hamid Fahmy, "Kajian Pemikiran Islam" ", artikel Mikail Huda Melawan JIL: Dalang di Balik Gerakan Islam Liberal YAPISDA Corporation.

Senin, 07 November 2011

ForZa UniTY

Sebuah kebersamaan tidak akan pernah bisa di nilai dengan apapun, baik dengan harta, tahta. banyak hal tak terungkapkan dari sebuah kata " kebersamaan" ada rasa sedih, bahagia, susah, senang, semua bercampur menjadi satu menjadi sebuah kenangan indah sulit terlupakan.
mengawali sebuah kebersamaan di perlukan perjuangan, kerja keras serta do'a. semuanya itu akan sulit tanpa tekat kuat dan niat tulus dalam mengapainya, tidak akan ada seorang yang memahami arti kebersamaan jika dia tidak pernah merasakan bagaimana usaha tuk mwujutkan itu semua.
semoga semua hal yang kita alami menjadi pelajaran berharga untuk meraih sebuah kebersamaan menuju sebuah prestasi yang kan terukir dengan tinta emas sepanjang masa, menjadi kenangan terindah tak terlupakan hingga akhir hayat.....

BRAVO FORZA

Selasa, 18 Oktober 2011

KEADILAN ISLAM

ISLAM sangat memperhatikan Keadilan, dan mengajak ummat manusia kearah Keadilan. Keadilan merupakan salah satu sifat Allah S.W.T. Syariat Ilahi yang terkandung dalam al-Quranul karim menggambarkan Keadilan yang sebenarnya.

Perhatikan beberapa firman Allah berkenaan Keadilan. Allah berfirman yang maksudnya:

"Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang-orang yang benar-benar menegakkan Keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri ataupun ibu bapamu dan kaum keluargamu. Jika ia kaya ataupun miskin, Allah lebih mengetahui keadaan keduanya, maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, sehingga kamu tidak berlaku adil. Jika kamu memutar belikkan, atau engggan menjadi saksi, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan."
(Q.S.Annisak:135)

Keadilan Islam adalah Keadilan yang sebenarnya, tidak kira siapa, meskipun terhadap diri sendiri, ibu bapak, keluarga ,teman rapat ataupun terhadap musuh sekalipun kita dituntut supaya tetap berlaku adil. Tidak seperti kata peribahasa Melayu: bila tiba dimata dipicingkan, bila tiba diperut dikempiskan.

Pernah terjadi dimasa hayat Nabi Muhammad s.a.w. seorang yang terhormat dan mempunyai kedudukan yang tinggi telah melakukan kesalahan mencuri, maka datanglah beberapa orang menemui Nabi s.a.w. supaya orang tadi dibebaskan dari hukuman, maka Nabi s.a.w.bersabada:

"Sesungguhnya telah binasa orang-orang yang sebelum kamu yaitu sekiranya yang mencuri itu yang berpangkat tinggi, lalu mereka dibiarkan saja.Tetapi jika yang mencuri itu mereka yang lemah, lalu dengan segera dijatuhkan hukuman keatasnya. Demi Allah yang aku di dalam kekuasaan-Nya, kalaulah Fatimah binti Muhammad (anak nabi s.a.w. yang sangat dikasihi) mencuri, niscaya kukudungkan tangannya."

Inilah sebahagian kecil contoh berkenaan keadilan Islam yang tidak pandang bulu, meskipun terhadap diri sendiri ataupun keluarga sendiri, kita tetap mesti melaksanakan Keadilan, meskipun terhadap orang yang kita benci sekalipun kita dituntut supaya berlaku adil perhatikan firman Allah yang bermaksud:

"Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil dan janganlah sekali-kali kebencian kamu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk tidak berlaku adil. Berlakulah adil, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, seungguhnya Allah Maha Mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan." (Q.S.al-Maidah:8)

Keadilan seperti inilah yang telah mengangkat nama baik ummat Islam pada zaman Rasulullah s.a.w. dan seterusnya pada zaman sahabat yang benar-benar melaksankan Keadilan mengikut ajaran Islam yang sebenarnya.

Islam melarang kita berlaku zalim terhadap sesiapa sahaja, meskipun terhadap musuh yang kita benci sekalipun.

Hal ini jelas dapat kita lihat, ketika Nabi s.a.w.dan ummat Islam memasuki kota Makkah dimana musuh telah menyerah kalah. Ramai dari mereka yang menyerah yang telah dimaafkan, dan dibebaskan, termasuk mereka yang berlaku kejam dan
zalim terhadap ummat Islam, ketika mereka berkuasa.

Ketika itu tentera Islam masuk ke dalam Kota Makkah dengan mengucapkan takbir dan tahmid mensyukuri kemenangan yang telah diperoleh. Mereka dilarang melakukan apapun kerusakan seperti membunuh mereka yang lemah seperti wanita, kanak-kanak orang tua dan mereka; yang tidak melakukan perlawanan, malah tentera Islam dilarang memusnahkan pohon kayu. Inilah Keadilan yang telah membawa Rahmat bagi seluruh alam.

Rasulullah s.a.w. malah telah melaksanakan keadilan semenjak beliau masih muda lagi. Ketika hampir-hampir berlaku pertumpahan darah karena masing-masing golongan merasa diri ataupun suku mereka lebih berhak meletakkan hajaral aswad pada tempatnya di Kakbah. Pemuda calon Rasulullah s.a.w. ketika itu berusia 35 tahun.

Nabi s.a.w.meletakkan hajaral aswad di atas sehelai kain, dan meminta semua golongan ikut mangangkat bersama-sama sehingga dengan demikian semua pihak merasa puas hati.

Jadi Keadilan akan membawa kedamaian dan ketenteraman dalam asyarakat. Inilah sebahagian dari Keadilan Islam.

Minggu, 25 September 2011

Keadilan Islam

ISLAM sangat memperhatikan Keadilan, dan mengajak ummat manusia kearah Keadilan. Keadilan merupakan salah satu sifat Allah S.W.T. Syariat Ilahi yang terkandung dalam al-Quranul karim menggambarkan Keadilan yang sebenarnya.

Perhatikan beberapa firman Allah berkenaan Keadilan. Allah berfirman yang maksudnya:

"Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang-orang yang benar-benar menegakkan Keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri ataupun ibu bapamu dan kaum keluargamu. Jika ia kaya ataupun miskin, Allah lebih mengetahui keadaan keduanya, maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, sehingga kamu tidak berlaku adil. Jika kamu memutar belikkan, atau engggan menjadi saksi, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan."
(Q.S.Annisa':135)

Keadilan Islam adalah Keadilan yang sebenarnya, tidak kira siapa, meskipun terhadap diri sendiri, ibu bapak, keluarga ,teman rapat ataupun terhadap musuh sekalipun kita dituntut supaya tetap berlaku adil. Tidak seperti kata peribahasa Melayu: bila tiba dimata dipicingkan, bila tiba diperut dikempiskan.

Pernah terjadi dimasa hayat Nabi Muhammad s.a.w. seorang yang terhormat dan mempunyai kedudukan yang tinggi telah melakukan kesalahan mencuri, maka datanglah beberapa orang menemui Nabi s.a.w. supaya orang tadi dibebaskan dari hukuman, maka Nabi s.a.w.bersabada:

"Sesungguhnya telah binasa orang-orang yang sebelum kamu yaitu sekiranya yang mencuri itu yang berpangkat tinggi, lalu mereka dibiarkan saja.Tetapi jika yang mencuri itu mereka yang lemah, lalu dengan segera dijatuhkan hukuman keatasnya. Demi Allah yang aku di dalam kekuasaan-Nya, kalaulah Fatimah binti Muhammad (anak nabi s.a.w. yang sangat dikasihi) mencuri, niscaya kukudungkan tangannya."

Inilah sebahagian kecil contoh berkenaan keadilan Islam yang tidak pandang bulu, meskipun terhadap diri sendiri ataupun keluarga sendiri, kita tetap mesti melaksanakan Keadilan, meskipun terhadap orang yang kita benci sekalipun kita dituntut supaya berlaku adil perhatikan firman Allah yang bermaksud:

"Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil dan janganlah sekali-kali kebencian kamu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk tidak berlaku adil. Berlakulah adil, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, seungguhnya Allah Maha Mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan." (Q.S.al-Maidah:8)

Keadilan seperti inilah yang telah mengangkat nama baik ummat Islam pada zaman Rasulullah s.a.w. dan seterusnya pada zaman sahabat yang benar-benar melaksankan Keadilan mengikut ajaran Islam yang sebenarnya.

Islam melarang kita berlaku zalim terhadap siapa saja, meskipun terhadap musuh yang kita benci sekalipun.

Hal ini jelas dapat kita lihat, ketika Nabi s.a.w.dan ummat Islam memasuki kota Makkah dimana musuh telah menyerah kalah. Ramai dari mereka yang menyerah yang telah dimaafkan, dan dibebaskan, termasuk mereka yang berlaku kejam dan
zalim terhadap ummat Islam, ketika mereka berkuasa.

Ketika itu tentera Islam masuk ke dalam Kota Makkah dengan mengucapkan takbir dan tahmid mensyukuri kemenangan yang telah diperoleh. Mereka dilarang melakukan apapun kerusakan seperti membunuh mereka yang lemah seperti wanita, kanak-kanak orang tua dan mereka; yang tidak melakukan perlawanan, malah tentera Islam dilarang memusnahkan pohon kayu. Inilah Keadilan yang telah membawa Rahmat bagi seluruh alam.

Rasulullah s.a.w. malah telah melaksanakan keadilan semenjak beliau masih muda lagi. Ketika hampir-hampir berlaku pertumpahan darah karena masing-masing golongan merasa diri ataupun suku mereka lebih berhak meletakkan hajaral aswad pada tempatnya di Ka'bah. Pemuda calon Rasulullah s.a.w. ketika itu berusia 35 tahun.

Nabi s.a.w.meletakkan hajaral aswad di atas sehelai kain, dan meminta semua golongan ikut mangangkat bersama-sama sehingga dengan demikian semua pihak merasa puas hati.

Jadi Keadilan akan membawa kedamaian dan ketenteraman dalam masyarakat. Inilah sebagian dari Keadilan Islam.

Senin, 12 September 2011

Keutamaan / Keistimewaan Zakat Dan Hikmah Zakat Dalam Kehidupan Umat Islam Di Dunia

1. Zakat merupakan rukun Islam ketiga setelah shalat, terletak di tengah-tengah antara lima rukun Islam yang lain, didahului dengan syahadah dan shalat, lalu diikuti dengan puasa dan menuaikan haji bagi mereka yang berkemampuan, sebagai rukun terakhir.

2. Apabila diteliti, kita mendapati bahwa zakat berbeda dari rukun-rukun Islam yang lain. Kesemua rukun Islam merupakan amalan ta’abudiyah kepada Allah. Akan tetapi, kita lihat, zakat tidak hanya berhubungan dengan Allah (habluminallah), tetapi juga berhubungan dengan manusia (habluminannaas) secara langsung.

3. Zakat merupakan rukun istimewa yang Allah turunkan dan tetapkan sebagai rukun Islam yang menyentuh secara langsung tentang penghidupan atau ekonomi umat Islam. Inilah satu-satunya amalan ibadah yang Allah wajibkan dan tetapkan sebagai rukun Islam.

4. Zakat memiliki kontribusi dan peran besar dalam dakwah dan jihad yang mutlak membutuhkan harta. Urgensi keterkaitan antara dakwah dan harta, tercermin secara implisit di dalam Al-Qur`an, tatkala menyebutkan batas pengorbanan seorang muslim kepada Islam, umumnya kata "amwal" (harta) selalu diiringi dengan kata "anfus" (jiwa). “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, jiwa dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka....” (QS At-Taubah[9]: 111). Dari sini, tampaknya tidak berlebihan bila dikatakan bahwa zakat merupakan sebuah kewajiban yang memiliki efek peran integral, meliputi pembinaan pribadi, keluarga, masyarakat, negara dan terwujudnya khilafah sebagai sasaran akhir dakwah Islam.

B. Hikmah Zakat

Pertama, sebagai perwujudan iman kepada Allah SWT, mensyukuri nikmat-Nya, menumbuhkan akhlak mulia dengan memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi, menghilangkan sifat kikir dan rakus, menumbuhkan ketenangan hidup, sekaligus mengembangkan harta yang dimiliki. Selain itu, zakat juga bisa dijadikan sebagai neraca, guna menimbang kekuatan iman seorang mukmin serta tingkat kecintaannya yang tulus kepada Rabbul ‘izzati. Sebagai tabiatnya, jiwa manusia senantiasa dihiasi oleh rasa cinta kepada harta, sebagaimana firman Allah,

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS Ali Imran[3]:14)

Kedua, menolong, membantu dan membina kaum dhu’afa (orang yang lemah secara ekonomi) maupun mustahiq lainnya ke arah kehidupannya yang lebih baik dan lebih sejahtera, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan layak, dapat beribadah kepada Allah SWT, terhindar dari bahaya kekufuran, sekaligus memberantas sifat iri, dengki dan hasad yang mungkin timbul ketika mereka (orang-orang fakir miskin) melihat orang kaya yang berkecukupan hidupnya tidak memedulikan mereka.

Ketiga, Sebagai sumber dana bagi pembangunan sarana maupun prasarana yang dibutuhkan oleh ummat Islam, seperti saran ibadah, pendidikan, kesehatan, sosial dan ekonomi, sekaligus sarana pengembangan kualitas sumber daya manusia (SDM) muslim.

Keempat, Untuk mewujudkan keseimbangan dalam kepemilikan dan distribusi harta, sehingga diharapkan akan lahir masyarakat makmur dan saling mencintai (marhammah) di atas prinsip ukhuwah Islamiyyah dan takaful ijtima'i.

Kelima, menyebarkan dan memasyarakatkan etika bisnis yang baik dan benar.

Keenam, menghilangkan kebencian, iri, dan dengki dari orang-orang sekitarnya kepada yang hidup berkecukupan, apalagi kaya raya serta hidup dalam kemewahan. Sementara, mereka tidak memiliki apa-apa, sedang tidak ada uluran tangan dari orang kaya kepadanya.

Ketujuh, dapat menyucikan diri dari dosa, memurnikan jiwa (tazkiyatun nafs), menumbuhkan akhlak mulia, murah hati, peka terhadap rasa kemanusiaan, dan mengikis sifat bakhil atau kikir serta serakah. Dengan begitu, suasana ketenangan batin karena terbebas dari tuntutan Allah SWT dan kewajiban kemasyarakatan, akan selalu melingkupi hati.

Kedelapan, menjadi unsur penting dalam mewujudkan keseimbangan dalam distribusi harta (social distribution), dan keseimbangan tanggung jawab individu dalam masyarakat.

Kesembilan, zakat adalah ibadah mâliyah yang mempunyai dimensi dan fungsi sosial ekonomi atau pemerataan karunia Allah SWT dan merupakan perwujudan solidaritas sosial, rasa kemanusiaan, pembuktian persaudaraan Islam, pengikat persatuan umat dan bangsa, sebagai pengikat batin antara golongan kaya dengan golongan miskin dan sebagai penimbun jurang yang menjadi pemisah antara golongan yang kuat dengan yang lemah.

Kesepuluh, mewujudkan tatanan masyarakat yang sejahtera, di mana hubungan seseorang dengan yang lainnya menjadi rukun, damai, dan harmonis yang akhirnya dapat menciptakan situasi yang aman, tenteram lahir batin. Dalam masyarakat seperti itu tidak akan ada lagi kekhawatiran akan hidupnya kembali bahaya atheisme dan paham atau ajaran yang sesat dan menyesatkan. Sebab, dengan dimensi dan fungsi ganda zakat, persoalan yang dihadapi kapitalisme dan sosialisme dengan sendirinya sudah terjawab. Akhirnya sesuai dengan janji Allah SWT, akan terciptalah sebuah masyarakat yang baldatun thoyibatun wa rabbun ghafûr (lingkungan masyarakat yang ideal; berkah; maju, dan dirahmati Allah)

Kesebelas, menunjang terwujudnya sistem kemasyarakatan Islam yang berdiri atas prinsip-prinsip: umatan wahidah (umat yang bersatu), musâwah (umat yang memiliki persamaan derajat dan kewajiban), ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam), dan takâful ijtima’i (sama-sama bertanggung jawab).

* Dikutip dari buku "Panduan Pintar Zakat" QultumMedia. Jakarta. 2008. (http://www.qultummedia.com)

10 Hikmah Silaturrahim

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang pentingnya membina hubungan silaturahim, sebagaimana dalam sabda beliau :“Seseorang berkata: ‘Ya Rasulullah, beritahukan kepadaku amalan yang akan memasukkan aku ke surga dan menjauhkanku dari neraka.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan sesuatu dengan-Nya, menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan menyambung silaturahim’.” (HR. Al-Bukhari, 3/208-209, Muslim no. 13).
Dalam hadits lain juga disebutkan keutamaan lain dari silaturahim, yaitu akan dipanjangkan umur dan dilapangkan rizkinya. Betapa besar keutamaan dari silaturahim.
Berikut ini sepuluh perkara terpuji (hikmah) dari silaturahim menurut Faqih Abu Laits Samarqandi rahimahullah:
1. Di dalamnya terdapat keridhaan Allah swt., karena silaturahim adalah perintah-Nya.
2. Menggembirakan sanak saudara. Rasulullah saw. bersabda, "Amal yang paling utama adalah menyenangkan hati orang yang beriman."
3. Malaikat merasa senang.
4. Orang Islam akan memujinya.
5. Setan sangat bersedih.
6. Silaturahim dapat memanjangkan umur.
7. Silaturahim menyebabkan keberkahan rizki.
8. Orang-orang yang telah meninggal, yakni kakek atau orangtuanya, merasa senang bila mengetahui perbuatannya itu.
9. Dengan bersilaturahim, hubungan antar sesama akan kuat. Jika kita menolong seseorang dan bermurah hati terhadap seseorang, maka pada waktu kita mengalami kesusahan dan mempunyai keperluan, ia akan menolong kita dengan sepenuh hati.
10. Setelah meninggal, kita akan selalu memperoleh pahala karena siapa saja yang kita tolong, ia akan selalu mengingat kita dan mendoakan kita.

Hikmah Sedekah

KEMATIAN BISA DIUNDUR

Kematian memang di tangan Allah. Maka ada satu hal yang bisa membuat kematian menjadi sesuatu yang bisa ditunda, yaitu kemauan bersedekah, kemauan berbagi dan peduli.

SUATU hari, Malaikat Kematian mendatangi Nabiyallah Ibrahim, dan bertanya, “Siapa anak muda yang tadi mendatangimu wahai Ibrahim?”

“Yang anak muda tadi maksudnya?” tanya Ibrahim. “Itu sahabat sekaligus muridku.”

“Ada apa dia datang menemuimu?”
“Dia menyampaikan bahwa dia akan melangsungkan pernikahannya besok pagi.”

“Wahai Ibrahim, sayang sekali, umur anak itu tidak akan sampai besok pagi.” Habis berkata seperti itu, Malaikat Kematian pergi meninggalkan Nabiyallah Ibrahim. Hampir saja Nabiyallah Ibrahim tergerak untuk rriemberitahu anak muda tersebut, untuk menyegerakan pernikahannya malam ini, dan memberitahu tentang kematian anak muda itu besok. Tapi langkahnya terhenti. Nabiyallah Ibrahim memilih kematian tetap menjadi rahasia Allah.

Esok paginya, Nabiyallah Ibrahim ternyata melihat dan menyaksikan bahwa anak muda tersebut tetap bisa melangsungkan pernikahannya.

Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun, Nabiyallah Ibrahim malah melihat anak muda ini panjang umurnya.

Hingga usia anak muda ini 70 tahun, Nabiyallah Ibrahim bertanya kepada Malaikat Kematian, apakah dia berbohong tempo hari sewaktu menyampaikan bahwa anak muda itu umurnya tidak akan sampai besok pagi? Malaikat Kematian menjawab bahwa dirinya memang akan mencabut nyawa anak muda tersebut, tapi Allah menahannya.

“Apa gerangan yang membuat Allah menahan tanganmu untuk tidak mencabut nyawa anak muda tersebut, dulu?”

“Wahai Ibrahim, di malam menjelang pernikahannya, anak muda tersebut menyedekahkan separuh dari kekayaannya. Dan ini yang membuat Allah memutuskan untuk memanjangkan umur anak muda tersebut, hingga engkau masih melihatnya hidup.”

Kematian memang di tangan Allah. justru itu, memajukan dan memundurkan kematian adalah hak Allah. Dan Allah memberitahu lewat kalam Rasul-Nya, Muhammad shalla `alaih bahwa sedekah itu bisa memanjangkan umur. jadi, bila disebut bahwa ada sesuatu yang bisa menunda kematian, itu adalah…sedekah.

Maka, tengoklah kanan-kiri Anda, lihat-lihatlah sekeliling Anda. Bila Anda menemukan ada satu-dua kesusahan tergelar. maka sesungguhnya Andalah yang butuh pertolongan. Karena siapa tahu kesusahan itu digelar Allah untuk memperpanjang umur Anda. Tinggal apakah Anda bersedia menolongnya atau tidak. Bila bersedia, maka kemungkinan besar memang Allah akan memanjangkan umur Anda.

Saudara-saudaraku sekalian, tidak ada seorang pun yang mengetahui kapan ajalnya akan sampai. Dan, tidak seseorangpun yang mengetahui dalam kondisi apa ajalnya tiba. Maka mengeluarkan sedekah bukan saja akan memperpanjang umur, melainkan juga memungkinkan kita meninggal dalam keadaan baik. Bukankah sedekah akan mengundang cintanya Allah? Sedangkan kalau seseorang sudah dicintai oleh Allah, maka tidak ada masalahnya yang tidak diselesaikan, tidak ada keinginannya yang tidak dikabulkan, tidak ada dosanya yang tidak diampunkan, dan tidak ada nyawa yang dicabut dalam keadaan husnul khatimah.

Mudah-mudahan Allah berkenan memperpanjang umur, sehingga kita semua berkesempatan untuk mengejar ampunan Allah dan mengubah segala kelakuan kita, sambil mempersiapkan kematian datang.

Sampai ketemu di pembahasan berikutnya. Insya Allah, kita masih membahas “sedikit tentang menunda umur, tapi kaitannya dengan kesulitan-kesulitan hidup yang kita hadapi “.

Salam, Yusuf Mansur.
Salam Wisata Hati.

“Dan Dialah yang menidurkan kamu di malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan di siang hari, kemudian Dia membangunkan kamu pada siang hari untuk disempurnakan umur yang telah ditentukan, kemudian kepada Allah-lah kamu kembali, lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang dahulu kamu kerjakan” (An-Nisaa: 78)

( di salin dari: Ust. Yusuf Mansur – Wisatahati )

Minggu, 11 September 2011

Abu Bakar As Siddiq

Abu Bakar As Siddiq ayah dari Aisyah istri Nabi Muhammad SAW. Namanya yang sebenarnya adalah Abdul Ka'bah (artinya 'hamba Ka'bah'), yang kemudian diubah oleh Rasulullah Saw menjadi Abdullah (artinya 'hamba Allah'). Abu Bakar As Siddiq atau Abdullah bin Abi Quhafah (Usman) bin Amir bin Amru bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ai bin Ghalib bin Fihr al-Quraisy at-Taimi. Bertemu nasabnya dengan Nabi saw kakeknya Murrah bin Ka’ab bin Lu’ai, kakek yang keenam. Dan ibunya, Ummul-Khair, sebenarnya bernama Salma binti Sakhr bin Amir bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim. Nabi Muhammad Saw juga memberinya gelar As Siddiq (artinya 'yang berkata benar'), sehingga ia lebih dikenal dengan nama Abu Bakar as-Siddiq.
Abu Bakar As Siddiq tumbuh dan besar di Mekah dan tidak pernah keluar dari Mekah kecuali untuk tujuan dagang dan bisnis. Beliau memiliki harta kekayaan yang sangat banyak dan kepribadian yang sangat menarik, memiliki kebaikan yang sangat banyak, dan sering melakukan perbuatan-perbuatan yang terpuji. Sebagaimana hal ini dikatakan oleh Ibnu Dughunnah, sesungguhnya engkau selalu menyambung tali kasih dan keluarga, bicaramu selalu benar, dan kau menanggung banyak kesulitan, kau bantu orang-orang yang menderita dan kau hormati tamu.
An-Nawawi berkata: Abu Bakar As Siddiq termasuk tokoh Quraisy dimasa Jahiliyah, orang yang selalu dimintai nasehat dan pertimbangannya, sangat dicintai dikalangan mereka, sangat mengetahui kode etik dikalangan mereka. Tatkala, Islam datang Abu Bakar As Siddiq mengedepankan Islam atas yang lain, dan beliau masuk Islam dengan sempurna.
Zubair bin Bakkar bin Ibnu Asakir meriwayatkan dari Ma’ruf bin Kharbudz dia berkata: Sesungguhnya Abu Bakar As Siddiq adalah salah satu dari 10 orang Quraisy yang kejayaannya dimasa Jahiliyah bersambung hingga zaman Islam. Abu Bakar As Siddiq mendapat tugas untuk melaksanakan diyat (tebusan atas darah kematian) dan penarikan hutang. Ini terjadi karena orang-orang Quraisy tidak memiliki raja dimana mereka bisa mengembalikan semua perkara itu kepada raja. Pada setiap kabilah dikalangan Quraisy saat itu, ada satu kekuasaan umum yang memiliki kepala suku dan kabilah sendiri.
Istri-istri dan anak Abu Bakar.
Abu Bakar pernah menikahi Qutailah binti Abdul Uzza bin Abd bin As’ad pada masa jahiliyyah dan dari pernikahan tersebut lahirlah Abdullah dan Asma’.
Beliau juga menikah dengan Ummu Ruman binti Amir bin Uwaimir bin Zuhal bin Dahman dari Kinanah, dari pernikahan tersebut lahirlah Abdurrahman dan ‘Aisyah.
Beliau juga menikah dengan Asma’ binti Umais bin ma’add bin Taim al-Khatts’amiyyah, dan sebelumnya Asma’ diperistri oleh Ja’far bin Abi Thalib. Dari hasil pernikahannya ini lahirlah bin Abu Bakar, dan kelahiran tersebut terjadi pada waktu haji Wada’ di Dzul Hulaifah.
Beliau juga menikah dengan Habibah binti Kharijah bin Zaid bin Zuhair dari Bani al-Haris bin al-Khazraj.
Abu Bakar pernah singgah di rumah Kharijah ketika beliau datang ke Madinah dan kemudian mempersunting putrinya, dan beliau masih terus berdiam dengannya di suatu tempat yang disebut dengan as-Sunuh hingga Rasullullah saw wafat dan beliau kemudian diangkat menjadi khalifah sepeninggal Rasulullah saw. Dari pernikahan tersebut lahirlah Ummu Khultsum.

Orang yang paling bersih di masa Jahilliyah
Ibnu Asakir meriwayatkan dengan sanadnya yang shahih dari Aisyah, dia berkata: demi Allah, Abu Bakar As Siddiq tidak pernah melantunkan satu syairpun di masa Jahiliyah dan tidak pula dimasa Islam. Abu Bakar As Siddiq dan Utsman bin Affan tidak pernah minum minuman keras di zaman Jahiliyah.

Ibnu Asakir meriwayatkan dari Abdullah bin Zubair, dia berkata, Abu Bakar As Siddiq sama sekali tidak pernah mengucapkan syair.
Ibnu Asakir meriwayatkan dari Abu Al-Aliyyah Ar-rayahi, dia berkata: Dikatakan kepada Abu Bakar As Siddiq ditengah sekumpulan sahabat Rasulullah: Apakah kamu pernah meminum minuman keras di zaman Jahiliyah? Beliau berkata, ”Saya berlindung kepada Allah dari perbuatan itu!”

Sifat Abu Bakar As Siddiq
Ibnu Saad meriwayatkan dari Aisyah bahwa seorang laki-laki berkata kepadanya: Coba sebutkan kepada saya gambaran tentang Abu Bakar As Siddiq! Kata Aisyah: dia adalah laki-laki kulit putih, kurus, tidak terlalu lebar bentuk tubuhnya,sedikit bungkuk, tidak bisa untuk menahan pakaiannya turun dari pinggangnya, tulang-tulang wajahnya menonjol, dan pangkal jemarinya datar.
Ibnu Asakir meriwayatkan dari Aisyah, bahwa Abu Bakar As Siddiq mewarnai rambutnya dengan 'daun pacar' dan katam (nama jenis tumbuhan). Dia juga meriwayatkan dari Anas, dia berkata, Rasulullah datang ke Madinah, dan tidak ada salah seorang dari para sahabatnya yang beruban kecuali Abu Bakar As Siddiq, maka dia menyemirnya dengan daun pacar dan katam.
Abu Bakar As Siddiq dilahirkan di Mekah dari keturunan Bani Tamim ( Attamimi ), suku bangsa Quraisy. Berdasarkan beberapa sejarawan Islam, ia adalah seorang pedagang, hakim dengan kedudukan tinggi, seorang yang terpelajar serta dipercayai sebagai orang yang bisa menafsirkan mimpi.

Era bersama Nabi saw
Sebagaimana yang juga dialami oleh para pemeluk Islam pada masa awal. Ia juga mengalami penyiksaan yang dilakukan oleh penduduk Mekkah yang mayoritas masih memeluk agama nenek moyang mereka. Namun, penyiksaan terparah dialami oleh mereka yang berasal dari golongan budak. Sementara para pemeluk non budak biasanya masih dilindungi oleh para keluarga dan sahabat mereka, para budak disiksa sekehendak tuannya. Hal ini mendorong Abu Bakar As Siddiq membebaskan para budak tersebut dengan membelinya dari tuannya kemudian memberinya kemerdekaan. Sehingga diriwayatkan bahwa Abu Bakar As Siddiq memiliki 9 toko yang semuanya habis dibuat untuk tegaknya agama islam. Beberapa budak yang ia bebaskan antara lain :
Bilal bin Rabbah
Abu Fakih
Ammar
Abu Fuhaira
Lubainah
An Nahdiah
Ummu Ubays
Zinnira
Ketika peristiwa Hijrah, saat Nabi Muhammad SAW pindah ke Madinah (622 M), Abu Bakar As Siddiq adalah satu-satunya orang yang menemaninya. Abu Bakar As Siddiq juga terikat dengan Nabi Muhammad secara kekeluargaan. Anak perempuannya, Aisyah menikah dengan Nabi Muhammad beberapa saat setelah Hijrah.

Menjadi Khalifah
Selama masa sakit Rasulullah SAW saat menjelang ajalnya, dikatakan bahwa Abu Bakar As Siddiq ditunjuk untuk menjadi imam shalat menggantikannya, banyak yang menganggap ini sebagai indikasi bahwa Abu Bakar As Siddiq akan menggantikan posisinya. Segera setelah kematiannya (632), dilakukan musyawarah di kalangan para pemuka kaum Anshar dan Muhajirin di Madinah, yang akhirnya menghasilkan penunjukan Abu Bakar As Siddiq sebagai pemimpin baru umat Islam atau khalifah Islam.
Apa yang terjadi saat musyawarah tersebut menjadi sumber perdebatan. Penunjukan Abu Bakar As Siddiq sebagai khalifah adalah subyek yang sangat kontroversial dan menjadi sumber perpecahan pertama dalam Islam, dimana umat Islam terpecah menjadi kaum Sunni dan Syi'ah. Di satu sisi kaum Syi'ah percaya bahwa seharusnya Ali bin Abi Thalib (menantu nabi Muhammad), yang menjadi pemimpin dan dipercayai ini adalah keputusan Rasulullah SAW sendiri sementara kaum sunni berpendapat bahwa Rasulullah SAW menolak untuk menunjuk penggantinya. Kaum sunni berargumen bahwa Rasulullah mengedepankan musyawarah untuk penunjukan pemimpin. Sementara muslim syi'ah berpendapat kalau Rasulullah saw dalam hal-hal terkecil seperti sebelum dan sesudah makan, minum, tidur, dll, tidak pernah meninggalkan umatnya tanpa hidayah dan bimbingan apalagi masalah kepemimpinan umat terahir, dan juga banyak hadits di Sunni maupun Syi'ah tentang siapa khalifah sepeninggal Rasulullah saw, serta jumlah pemimpin islam yang dua belas. Terlepas dari kontroversi dan kebenaran pendapat masing-masing kaum tersebut, Ali bin Abu Thalib sendiri secara formal menyatakan kesetiaannya (berbai'at) kepada Abu Bakar As Siddiq dan dua khalifah setelahnya (Umar bin Khattab dan Usman bin Affan). Kaum sunni menggambarkan pernyataan ini sebagai pernyataan yang antusias dan Ali bin Abu Thalib menjadi pendukung setia Abu Bakar As Siddiq dan Umar bin Khattab. Sementara kaum syi'ah menggambarkan bahwa Ali bin Abu Thalib melakukan baiat tersebut secara "pro forma," mengingat beliau berbaiat setelah sepeninggal Fatimah istri beliau yang berbulan bulan lamanya dan setelah itu ia menunjukkan protes dengan menutup diri dari kehidupan publik.

Perang Ridda
Segera setelah menjabat Abu Bakar As Siddiq, beberapa masalah yang mengancam persatuan dan stabilitas komunitas dan negara Islam saat itu muncul. Beberapa suku Arab yang berasal dari Hijaz dan Nejed membangkang kepada khalifah baru dan sistem yang ada. Beberapa diantaranya menolak membayar zakat walaupun tidak menolak agama Islam secara utuh. Beberapa yang lain kembali memeluk agama dan tradisi lamanya yakni penyembahan berhala. Suku-suku tersebut mengklaim bahwa hanya memiliki komitmen dengan Nabi Muhammad SAW dan dengan kematiannya komitmennya tidak berlaku lagi. Berdasarkan hal ini Abu Bakar menyatakan perang terhadap mereka yang dikenal dengan nama perang Ridda. Dalam perang Ridda peperangan terbesar adalah memerangi "Ibnu Habib al-Hanafi" yang lebih dikenal dengan nama Musailamah Al-Kazab (Musailamah si pembohong), yang mengklaim dirinya sebagai nabi baru menggantikan Nabi Muhammad SAW. Musailamah kemudian dikalahkan pada pertempuran Akraba oleh Khalid bin Walid.

Al Quran
Abu Bakar As Siddiq juga berperan dalam pelestarian teks-teks tertulis Al Quran. Dikatakan bahwa setelah kemenangan yang sangat sulit saat melawan Musailamah dalam perang Ridda, banyak penghafal Al Qur'an yang ikut tewas dalam pertempuran. Abu Bakar As Siddiq lantas meminta Umar bin Khattab untuk mengumpulkan koleksi dari Al Qur'an. Setelah lengkap koleksi ini, yang dikumpulkan dari para penghafal Al-Quran dan tulisan-tulisan yang terdapat pada media tulis seperti tulang, kulit dan lain sebagainya, oleh sebuah tim yang diketuai oleh sahabat Zaid bin Tsabit, kemudian disimpan oleh Hafsah, anak dari Umar bin Khattab dan juga istri dari Nabi Muhammad SAW. Kemudian pada masa pemerintahan Ustman bin Affan koleksi ini menjadi dasar penulisan teks al Qur'an hingga yang dikenal hingga saat ini.
Abu Bakar As Siddiq meninggal pada tanggal 23 Agustus 634/ 8 Jumadil Awwal 13 H di Madinah pada usia 63 tahun. Beliau berwasiat agar jenazahnya dimandikan oleh Asma` binti Umais, istri beliau. Kemudian beliau dimakamkan di samping makam Rasulullah. Umar mensholati jenazahnya diantara makam Nabi dan mimbar (ar-Raudhah) . Sedangkan yang turun langsung ke dalam liang lahat adalah putranya yang bernama Abdurrahman (bin Abi Bakar), Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Thalhah bin Ubaidillah.

MY CLASS 1H

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Posted by Picasa

Jumat, 09 September 2011

Hikmah Idul Fitri

Rasulullah.saw bersabda : “Puasa dan Al-Qur'an akan memberi syafaat bagi hamba pada hari kiamat. Puasa berkata, 'Ya Rabbi, aku mencegahnya makanan dan syahwat, maka berilah aku syafaat karenanya.' Al-Qur'an berkata, 'Aku mencegahnya tidur pada malam hari, maka berilah aku syafaat karenanya'. Beliau bersabda, 'Maka keduanya diberi syafaat',” (Diriwayatkan Ahmad) Ketika mendengar kata Idul Fitri, tentu dalam benak setiap orang yang ada adalah kebahagiaan dan kemenangan. Dimana pada hari itu, semua manusia merasa gembira dan senang karena telah melaksanakan ibadah puasa sebulan penuh. Dalam Idul Fitri juga ditandai dengan adanya ”mudik (pulang kampung)” yang notabene hanya ada di Indonesia. Selain itu, hari raya Idul Fitri juga kerap ditandai dengan hampir 90% mereka memakai sesuatu yang baru, mulai dari pakaian baru, sepatu baru, sepeda baru, mobil baru, atau bahkan istri baru (bagi yang baru menikah tentunya...). Maklum saja karena perputaran uang terbesar ada pada saat Lebaran. Kalau sudah demikian, bagaimana sebenarnya makna dari Idul Fitri itu sendiri. Apakah Idul Fitri cukup ditandai dengan sesuatu yang baru, atau dengan mudik untuk bersilaturrahim kepada sanak saudara dan kerabat?. Idul Fitri, ya suatu hari raya yang dirayakan setelah umat Islam melaksanakan ibadah puasa Ramadhan satu bulan penuh. Dinamakan Idul Fitri karena manusia pada hari itu laksana seorang bayi yang baru keluar dari dalam kandungan yang tidak mempunyai dosa dan salah. Idul Fitri juga diartikan dengan kembali ke fitrah (awal kejadian). Dalam arti mulai hari itu dan seterusnya, diharapkan kita semua kembali pada fitrah. Di mana pada awal kejadian, semua manusia dalam keadaan mengakui bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan. Dalam istilah sekarang ini dikenal dengan ”Perjanjian Primordial” sebuah perjanjian antara manusia dengan Allah yang berisi pengakuan ke Tuhan-nan. Allah.swt berfirman : وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ "(Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhan-mu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”)". (al-A’raf 7 :172) Seiring dengan perkembangan itu sendiri, banyak di antara manusia dalam perjalanan hidupnya yang melupakan Allah serta telah melakukan dosa dan salah kepada Allah dan kepada sesama manusia. Untuk itu, memahami kembali makna Idul Fitri (kembali ke fitrah) dengan membangun kembali pengabdian hanya kepada Allah adalah sebuah keharusan sehingga kita semua dapat menjadi hamba-hamba muttaqin dan hamba yang tidak mempunyai dosa. Dosa kepada Allah terhapus dengan jalan bertaubat dan dosa kepada sesama manusia dapat terhapus dengan silaturrahim. Idul Fitri atau kembali ke fitrah akan sempurna tatkala terhapusnya dosa kita kepada Allah diikuti dengan terhapusnya dosa kita kepada sesama manusia. Terhapusnya dosa kepada sesama manusia dengan jalan kita memohon maaf dan memaafkan orang lain. (Dari al-Hasan bin Ali dan Muhammad bin al-Mutawakkil keduanya dari Abd al-Razaq dari al-Ma’mar dari al-Hasan dan Malik bin Anas dari al-Zuhri dari Abi Salamah dari Abi Hurairah berkata bahwa Rasulullah SAW senang melaksanakan Qiyam Ramadhan (Tarawih) meskipun tidak mewajibkannya. Kemudian bersabda : ”Barangsiapa melaksanakan Qiyam ramadhan (tarawih) karena Allah dan mencari pahala dari Allah akan diampuni dosanya yang telah lalu". Kemudian Rasulullah wafat, sedang masalah Qiyam Ramadhan tetap seperti sediakala pada pemerintahan Sayyidina Abu Bakar.ra dan pada awal pemerintahan Sayyidina Umar bin Khattab.ra). (Dari Muhammad bin Salam dari Muhammad bin Faudhail dari Yahya bin Sa’id dari Abi Salamah dari Abi Hurairah berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda : "Barangsiapa yang berpuasa pada bulan ramadhan dengan kepercayaan bahwa perintah puasa itu dari Allah dan hanya mengharap pahala dari Allah akan diampuni dosanya"). Dosa merupakan catatan keburukan di sisi Allah yang telah dilakukan oleh setiap manusia karena mereka tidak menjalankan perintah atau karena mereka melanggar larangan Allah dan RasulNya. Bulan Ramadhan merupakan bulan khusus yang dikhususkan Allah untuk Umat Islam. Di bulan ini terdapat maghfirah, rahmah dan itqun minan nar. Selain itu, bulan Ramadhan juga menjadi sarana umat manusia untuk memohon dan meminta pengampunan dari Allah dengan jalan melaksanakan ibadah puasa dan shalat tarawih Syeikh Abdul Qadir al-Jailany dalam al-Gunyah-nya berpendapat, merayakan Idul Fitri tidak harus dengan baju baru, tapi jadikanlah Idul fitri ajang tasyakur, refleksi diri untuk kembali mendekatkan diri pada Alah Swt. Momen mengasah kepekaan sosial kita. Ada pemandangan lain yang harus kita cermati, betapa disaat kita berbahagia , saudara-saudara kita di tempat-tempat lain masih banyak menangis menahan lapar. Bersyukurlah kita!