Penayangan bulan lalu

MENYATUKAN ISLAM DALAM PERBEDAAN

Minggu, 17 Juli 2011

Kritik Ibn Taimiyyah Terhadap Filsafat Al-Ghazali



Pendahuluan
Disamping fitrah untuk beragama yang ditanamkan Tuhan dalam jiwa manusia semenjak masih berada dalam rahim, manusia juga dibekali fitrah untuk berfikir yang merupakan sebuah potensi dahsyat dalam diri manusia, potensi ini bukan hanya membedakan manusia dengan makluk Tuhan yang lainnya, sebutlah tumbuhan, hewan, benda-benda mati, atau bahkan malaikat dan jin, lebih dari itu sekaligus mengantarkan manusia pada capaian-capaian kehidupan yang sangat mengagumkan secara spiritual maupun material, tersirat secara jelas dalam firman Allah SWT.:
وإذ قال ربك للملائكة إنى جاعل فى اللأرض خليفة قالوا أتجعل فيها من  يفسد فيها ويسفك الدماء ونحن نسبح بحمدك ونقدس لك قال إنى أعلم ما لا تعلمون
 ( البقرة: 30)[1]
Dalam ayat ini Allah menjawab keraguan malaikat yang mengkhawatirkan akibat negatif dari penciptaan manusia sebagai penguasa (khalîfah) di dunia, dengan ucapannya: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui", kata-kata ini mengisyaratkan adanya potensi yang besar dalam diri manusia yang bahkan tidak diketahui para malaikat, sampai kemudian Allah SWT.memerintahkan Adam untuk membuktikannya dengan firman-Nya:
قال يا أدم أنبئهم بأسمائهم……(البقرة: 33)[2]
Bahwa potensi itu adalah rasionalitas yang berpadu dengan spiritualitas, rasionisasi yang menggerakkan spiritualitas ini, juga yang menggerakkan manusia untuk bertanya dan mencari sekian juta hal yang memenuhi kehidupannya; tentang alam, kehidupan, kematian, pencipta, masa depan dan sebagainya. Namun tidak berarti fitrah rasionalitas ini berjalan tanpa problem, dimana pada perjalanannya kita bisa melihat kasus-kasus historis yang menghadapkan kepada kita betapa kegagalan rasionalitas itu pula yang menjerumuskan manusia kedalam liang-liang penghancuran dirinya sendiri, kita bisa ambil contoh dari pengandaian sebagian manusia bahwa kemampuan akal manusia dapat mengurai dan memecahkan segala sesuatu telah melahirkan kaum atheis yang mengingkari keberadaan Tuhan.
Pembahasan
A.    Sekilas Filsafat Islam
Filsafat Islam muncul sebagai imbas dari gerakan penerjemahan besar-besaran dari buku-buku peradaban Yunani dan peradaban-peradaban lainnya pada masa kejayaan Daulah Abbasiah, dimana pemerintahan yang berkuasa waktu itu memberikan sokongan penuh terhadap gerakan penerjemahan ini, sehingga para ulama bersemangat untuk melakukan penerjemahan dari berbagai macam keilmuan yang dimiliki peradaban Yunani kedalam bahasa Arab, dan prestasi yang paling gemilang dari gerakan ini adalah ketika para ulama berhasil menerjemahkan ilmu filsafat yang mejadi maskot dari peradaban Yunani waktu itu, baik filsafat Plato, Aristoteles, maupun yang lainnya.
Sebenarnya gerakan penerjemahan ini dimulai semenjak masa Daulah Umawiyyah atas perintah dari Khalid bin Yazid Al-Umawî untuk menerjemahkan buku-buku kedokteran, kimia dan geometria dari Yunani, akan tetapi para Ahli Sejarah lebih condong bahwa gerakan ini benar-benar dilaksanakan pada masa pemerintahan Daulah Abbasiah saja, dan mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Al-Manshur (136-158 H) hingga masa pamerintahan Al-Ma'mun (198-218 H).[3]
Sebagaimana kajian Islam mengambil berbagai tema untuk bahan kajian tentang logika, etika, politik, metafisika dan lainnya, yang telah lebih dulu dikaji oleh bangsa Yunani, sehingga sangat dimungkinkan bahwa kajian-kajian filsafat islam dalam tema-tema ini dipengaruhi oleh filsafat Yunani, akan tetapi sesungguhnya filsafat Islam dalam beberapa sisi secara independen memiliki karakteristik yang berbeda dari filsafat Yunani.
Filsafat Islam bukanlah filsafat Aristotelian yang tertulis dalam bahasa Arab ataupun filsafat Platonisme. Hal tersebut dapat dibuktikan dari upaya ahli kalam dari kelompok Mu'tazilah maupun Asyâ’irah untuk menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang rasional, bahwa akal merupakan unsur penting dalam agama ini, sehingga mereka membungkus filsafat dalam baju keagamaan, dan dari situ mereka memahami agama Islam dengan corak filosofis.
Akan tetapi selanjutnya keinginan para filosof Islam untuk memperlihatkan agama Islam dalam suatu gambaran rasional menyebabkan mereka menafsirkan sebagian persoalan ke-islam-an yang bersifat ideologis (akidah) dengan teori-teori filsafat, hal ini oleh sebagian umat islam dipandang menyalahi cara berpikir dan akidah agama Islam, maka mulailah mereka mewaspadai dan mengkritik para filosof Islam tersebut.[4]

B.     Ke-Filosofan-an Ibnu Taimiyah
Sejak awal mula Ibn Taimiyyah menggeluti filsafat, tujuannya bukanlah untuk mendalami dan memahami ilmu ini untuk kemudian mengambil manfaat yang mungkin bisa diambil darinya, akan tetapi sebaliknya untuk mencari sisi-sisi kesalahannya untuk kemudian merubuhkan bangunannya, karena dalam pandangannya filsafat telah menjadi semacam penyakit yang menyerang pemikiran orang-orang Islam, bahkan ia berpendapat bahwa sebelum seseorang mendalami akidah Islam maka ia harus membersihkan diri dari segala hal yang berbau filasafat yang menurutnya dihasilkan dari kebohongan angan-angan dan bayangan , sikap Ibn Taimiyyah ini kalau kita telusuri lebih jauh merupakan dampak dari kondisi politik dan sosio-kultural masyarakat muslim pada waktu itu[5]
1.      Kondisi Politik
Pada abad ketujuh dan kedelapan yang merupakan masa penghabisan Daulah Abbasiah, kaum muslimin telah terpecah-belah dalam kerajaan-kerajaan kecil yang antara satu dengan yang lainnya saling memusuhi. Lebih dari itu, kerajaan-kerajaan kecil ini mendapat ancaman besar dari tiga sisi: serangan bangsa Tartar dari arah timur (Mongolia), serangan pasukan Perang Salib yang terus mendesak dari arah barat, serta ancaman akibat perpecahan dari umat Islam sendiri, sampai-sampai Ibn Al-Atsir dalam kitabnya "Al-Kamil" mengatakan: "Agama Islam dan kaum Muslimin pada waktu ini benar-benar ditimpa oleh musibah yang belum pernah menimpa satupun dari umat-umat sebelumnya…".
2.      Kondisi Masyarakat
Sejak perang salib berkecamuk pada awal abad kelima Hijriah, terjadilah berturan-benturan peradaban antara barat (Eropa) dan timur (Arab), benturan-benturan ini dengan dahsyatnya berpengaruh terhadap kebudayaan, adat, pemikiran, bahkan kehidupan beragama. Begitu juga ketika bangsa Tartar mulai masuk dari arah timur dengan membawa kebiasaan, pemikiran, dan tabiat-tabiatnya. Benturan-benturan tersebut mengakibatkan disosialis yang berkepanjangan dalam berbagai aspek kehidupan kaum Muslim, ketakutan akan terjadinya perang menyebabkan terjadinya gelombang-gelombang pengungsi yang mengakibatkan bercampur-aduknya penduduk daerah satu dengan daerah yang lainnya, seperti penduduk Irak yang mengungsi ke Syam ketika bangsa Tartar menyerangnya, penduduk Mughol mengungsi ke Damaskus, yang kemudian bersama penduduk Damaskus mengungsi ke Mesir dan bahkan ada yang mengungsi sampai ke Maroko.[6]
Percampuran-percampuran secara terpaksa ini mau tidak mau ikut pula mencampur-adukkan corak kejiwaan, pemikiran, dan kemasyarakatan kedalam suatu adat (kebiasaan) yang berbeda, sehingga dari sini munculah suatu kumpulan "masyarakat terpaksa" yang tidak mempunyai pegangan dan ketenangan, dan kumpulan masyarakat ini terpusat di satu titik, yaitu Mesir.
3.      Kondisi Pemikiran
Sebelum masa Ibn Taimiyyah sudah banyak tersebar aliran-aliran pemikiran yang antara satu dengan yang lainnya tidak jarang terjadi perselisihan-perselisihan, hal ini menyebabkan terbentangnya jarak antara pengikut aliran yang satu dengan yang lainnya. Perpecahan tersebut mencapai puncaknya pada masa Ibn Taimiyyah (abad ketujuh sampai awal abad kedelapan), dimana pertentangan-pertentangan tersebut mengakibatkan terpecah-belahnya para ulama dalam berbagai golongan.
Di tengah keadaan ini, mencuatlah para filosof Islam yang berusaha mensinkronkan antara filsafat dengan agama sebagaimana dilakukan oleh para pengikut Ikhwan As-Shofa, Al-Ghazali dan Ibn Rusyd. Di sisi lain muncul pula para ulama yang berusaha menggabungkan antara akal dan teks seperti Muhyiddin An-Nawawi dan Fakhruddin Ar-Razi, kemudian disusul dengan munculnya para sufi yang berusaha menggabungkan antara metode filsafat akal dengan kemurnian jiwa sampai kemudian berakhir pada filsafat jiwa (spiritisme), dimana ajaran-ajaran kesufian disokong penuh oleh pemerintahan yang berkuasa waktu itu sampai kemudian banyak bermunculan apa yang disebut Ibn Taimiyyah sebagai "khurafat", masyarakat yang terlalu mendewakan ulama, dan pengagung-agungan terhadap kuburan. [7]
Dari kondisi semacam ini timbul-lah perdebatan pemikiran yang amat sengit diantara para ulama, perang dalil dengan mengatasnamakan agama tidak dapat dihindari untuk mengalahkan dan menguasai lawannya demi kepentingan golongan, tanpa mencoba untuk saling mengerti dan memahami untuk kedamaian bersama.
Dalam milleu seperti inilah seorang Ibn Taimiyyah tumbuh, dengan berbekal latar belakang keluarga sederhana -pengikut Imam Ahmad bin Hambal- yang memegang teguh ajaran agama serta keceerdasannya, ia keluar dari sarangnya untuk meluruskan ajaran-ajaran agama yang dianggapnya sudah melenceng jauh dari pakem yang seharusnya dilalui, khususnya dalam bidang filsafat dan penggunaan akal manusia yang melampaui batas. iapun banyak bertentangan dengan para ulama-ulama besar waktu itu, ini dapat kita lihat dalam karya-karyanya yang banyak mengkritik Ibn Sina, al-Razi, al-Asy'ari, al-Ghazali sampai Ibn Rusyd baik dalam mantiq, filsafat maupun tasawwufnya.



C.    Kritik Ibn Taimiyah Terhadap Filsafat al-Ghazali
Berbeda dengan Ibn Taimiyyah, Al-Ghazali mempelajari dan mendalami filsafat adalah untuk menyingkap kebenaran-kebenaran yang mungkin akan ditemukan didalamnya, yang mana dalam hal ini ia berpedoman, bahwa keraguan adalah sarana untuk sampai pada keyakinan. Setelah mendalami filsafat ia mendapatkan kesalahan-kesalahan yang banyak dilakukan oleh para filosof, maka kemudian ia mencoba untuk keluar dari filsafat dan kembali kepada agama serta menenggelamkan dirinya dalam dunia kesufian untuk selanjutnya menggunakan pengetahuannya tentang filsafat untuk menyingkap kesesatan-kesesatan para filosof dalam karyanya “Tahâfut Al-Falâsifah”.
Akan tetapi pada kenyataannya Al-Ghazali tidak bisa benar-benar lepas dari filsafat, dimana dalam jiwanya masih tersisa pengaruh filsafat, karena ketika ia memutuskan untuk meninggalkan filsafat, pikirannya sudah terbentuk kedalam pola pemikiran filsafat, bahkan kemudian ia mengambil filsafat sebagai unsur dasar dalam memperlajari suatu disiplin ilmu, karena suatu disiplin ilmu tidak akan lahir kecuali dengan adanya filsafat, dan hanya dengan filsafat-lah suatu disiplin ilmu akan dapat dipahami secara sempurna.
Analisa Ibn Taimiyyah diatas agaknya lebih didasari oleh ketakutannya akan pengaruh-pengaruh luar yang ia rasa dapat mengancam kemurnian dan kesucian kepercayaan yang diyakininya, hal ini sebenarnya masih dalam batas-batas kewajaran melihat latar belakang keluarganya yang dengan teguh berjalan diatas rel madzhab Hanbali, seorang murid Asy-Syafi'i yang terkenal memegang teguh ajaran-ajaran Alqur'an dan As-Sunnah, dimana sudah sepatutnya baginya untuk mempertahankan keyakinannya dalam kondisi yang morat-marit akibat peperangan yang berkepanjangan dan benturan peradaban yang sedikit banyak mengakibatkan menimbulkan pesimisme terhadap sebagian besar kaum muslim.
D.    “Alam dan Jism” Al-Ghazali dalam Pandangan Ibn Taimiyyah
Ketika Al-Ghazali menjelaskan tentang kesalahan kaum filosof tentang pengingkaran Wujud Yang Pertama sebagai jisim, dikarenakan mereka mengeluarkan ungkapan-ungkapan yang kadangkala mengharuskan penggabungan antara dua hal yang bertentangan, atau kadangkala membuang keduanya, maka disini Ibn Taimiyyah mengkritik dalil-dalil yang digunakan Al-Ghazali dan pengikutnya yang hanya memasukkan sedikit saja dalil-dalil Qur’an dalam penjelasannya, ia menganggap Al-Ghazali dan pengikutnya seolah-olah tidak mengetahui atau mengabaikan dalil-dalil Qur’an yang dianggapnya lebih cocok untuk diterapkan.
Sebagaimana dalam masalah kejadian alam dimana Al-Ghazali dan pengikutnya hanya memfokuskan kritikannya pada dua ungkapan kaum filosof:
1. Ungkapan tentang hal lebih dulunya alam (Qidam Al-‘Alam), dimana menurut para filosof apabila hal ini muncul dari adanya sebab yang mewajibkannya, maka akibat harus bergandengan dengan sebabnya dalam hal kekekalan dan keabadiannya.
2. Ungkapan bahwa perkara yang dikerjakan munculnya dibelakang penciptanya, dan bahwa pencipta tidak boleh selalu bersabda dan berbuat apa saja sesuai dengan keinginannya.
Kemudian Ibn Taimiyyah membeberkan bahwa dalam pandangannya Al-Ghazali dan pengikutnya mengabaikan ungkapan yang benar yang telah disepakati oleh ulama salaf, bahwa akibat datangnya selalu mengiringi Sang Maha Penyebab, dimana apabila ia berkehendak mencipta sesuatu, maka sesuatu itu akan muncul mengiringi penciptaan itu, sebagaimana sabda-Nya:
إنما أمره إذا أراد شيئا أن يقول له كن فيكون (يس:82)[8]
 “Sesungguhnya perintahnya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya ‘jadilah’ maka terjadilah ia”
Dan inilah yang menurut Ibn Taimiyyah bisa dicerna oleh akal, yang menurutnya hanya boleh menerima hal-hal yang sederhana dan pasti (badihi), sebagaimana jatuhnya talak beriringan dengan pentalakan dan datangnya kebebasan beriringan dengan pembebasan. Maka yang Allah SWT inginkan akan terwujud dan yang tidak ia kehendaki tak akan pernah ada. Sudut pandang lain Ibn Taimiyyah terhadap filsafat
Kita semua hampir sepakat bahwa Ibn Taimiyyah merupakan sosok ulama yang menentang filsafat dengan keras, juga terhadap segala pemikiran keagamaan yang dibumbui oleh campur tangan akal. Akan tetapi kalau kita menelusuri lebih jauh sosok ini, kita akan menemukan warna yang berbeda dalam pendapatnya, warna yang menurut penulis menunjukkan kapasitas kaulamaannya secara murni tanpa dipengaruhi oleh gejala politik dan sosio-kultural yang berkecamuk pada zamannya, hal ini terungkap ketika ia menjelaskan tentang kemungkinan masuknya akal pada kehidupan agama dalam menjelaskan makna ayat-ayat Allah SWT, dengan batasan tidak untuk mengurai Dzat Allah SWT. Coba kita simak ungkapannya berikut ini:
“Adapun pengetahuan tentang makna ayat-ayat yang disampaikan Allah SWT selagi tidak dalam lingkup ketuhanan-Nya, maka pemikiran dan perkiraan bisa masuk kedalamnya, sebagaimana dikatakan dalam Al-Qur’an. Karena itulah, banyak dari ahli ibadah dan kaum sufi yang menganjurkan untuk melanggengkan dzikir dan menjadikannya sebagai pintu untuk sampai kepada kebenaran, hal ini akan lebih bagus apabila digabungkan dengan bertadabbur atas kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan banyak juga dari para pemikir dan ahli kalam yang menganjurkan untuk selalu berpikir dan merenung sebagai jalan untuk mengetahui kebenaran. Kedua metode ini mempunyai sisi kebenaran masing-masing, akan tetapi masih membutuhkan kebenaran yang terdapat pada yang lainnya, dan keduanya harus dibersihkan dari kesesatan-kesesatan yang mungkin masuk dalam keduanya dengan cara mengikuti apa yang telah disampaikan oleh Allah SWT dan para Rasul-Nya.”
Dalam lembaran lainnya Ibn Taimiyyah kembali membuktikan kapasitasnya sebagai seorang mujaddid dengan membagi ilmu dalam dua golongan:
1. Ilmu yang didapat dari akal. Seperti matematika, kedokteran, perdagangan dan sebagainya, yang selanjutnya ia mengatakan bahwa ilmu filsafat yang berupa mantiq, ilmu alam dan astronomi yang berasal dari India dan Yunani beserta ilmu-ilmu lain dari Romawi dan Persia, ketika masuk dalam dunia Islam, orang-orang Islam mengoreksi, memperbaiki dan menyempurnakannya dengan berbekal kekuatan akal dan kefasihan bahasanya. Maka menurutnya ilmu-ilmu ini dalam tangan kaum muslim menjadi lebih sempurna, lebih mencakup dan lebih gamblang, walaupun selanjutnya ia mengecualikan permainan akal dalam masalah agama, khususnya dalam masalah ketuhanan. 2. Ilmu yang dihasilkan dari petunjuk para Nabi dan Utusan, dimana ilmu ini tidak mengalami perubahan hingga sekarang.
E.     Telaah Filsafat Ibn Taimiyah
Ibn Taimiyyah mendapatkan pengetahuan tentang Filsafat dengan mempelajari filsafat Aristoteles (322-384 SM) dimana sebagian besar ulama muslim berkiblat kepadanya, sebagaimana yang telah penulis terangakan sebelumnya bahwa ibn Taimiyyah mempelajari filsafat bukan untuk mengambil manfaatnya akan tertapi untuk mencari titik kelemahan dari ilmu ini, dan setelah ia merasa cukup ia pun mulai memberontak terhadap ilmu yang dianggapnya sebagai ilmu orang-orang murtad ini, ia menggerakkan masyarakat disekitarnya untuk menentang keberadaan ilmu ini dalam dunia Islam, dengan menjelaskan bahwa filsafat  merupakan barang asing bagi ranah pemikiran Islam, dan untuk membuktikan kebenaran ajaran Islam tidak membutuhkan ilmu ini.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa filsafat sama sekali tidak dapat digunakan sebagai timbangan kebenaran sebagaimana selama ini didengungkan oleh kaum filosof, karena menurutnya filsafat hanyalah berisi khayalan dan angan-angan.
Tidak cukup sampai disini, ia mengungkapkan bahwa sebenarnya para fuqaha sebelum masa Al-Ghazali memandang filsafat dengan pandangan kebencian dan penuh waspada terhadapnya dengan tujuan untuk menjaga ilmu Islam.
Ibn Taimiyyah menganggap bahwa Filsafat adalah pengantar kepada kesesatan, dan pengantar kesesatan adalah sesat, dan dia bersungguh-sungguh dalam mempelajarinya bukanlah perkara yang diperbolehkan oleh Pembuat Syari’at, dan tidak ada satupun dari para Sahabat, Tabi’in, dan Imam Mujtahid yang memperbolehkanya, sebagaimana pula para Ulama Salaf dan pengikutnya”
Selanjutnya Ibn Taimiyyah mengkritik pengunaan istilah-istilah filsafat dalam khazanah keilmuan Islam: “ Sesungguhnya ini ( filsafat) merupakan suatu bentuk pengingkaran yang buruk dan model baru dari kebodohan.
Dan pada dasarnya hukum syari’at tidak membutuhkan filsafat, apa yang disangka pakar filosof tentang filsafat sebagai penentu pemahaman disiplin keilmuan adalah tidak benar. kepada setiap jiwa yang sehat, lebih-lebih dalam penggunaannya sebagai teori ilmu-ilmu syari’at. Karena ilmu syari’at telah sempurna dan para ulama sudah mendalami kebenarannya dengan sedetail-detailnya sehingga tidak dibutuhkan lagi ilmu filsafat beserta para filosofnya. Dan barang siapa yang menganggap bahwa ia mendalami filsafat dengan harapan mendapatkan manfaat darinya, maka sesungguhnya ia telah tertipu oleh syetan.”[9]
Ibn Taimiyyah juga menyerang filsafat dari segi ketidakmanfaatan ilmu ini, ia mengungkapkan bahwa tidak ada gunanya bagi seseorang mempelajari ilmu ini, baik itu secara keilmuan maupun teori, dengan dalih tidak ditemukannya satupun dari penduduk bumi yang berhasil menciptakan suatu ilmu dan menjadi pemuka didalamnya dengan berbekal ilmu filsafat, baik ilmu agama maupun lainnya. Dokter, Arsitek, Penulis, Ahli Statistik dan lainnya menurutnya mendalami keilmuannya dan mengeluarkan produknya tanpa pertolongan filsafat, sebelum filsafat datang pun para ulama Islam telah berhasil menyusun ilmu-ilmu nahwu, arudh, dan fiqh beserta ushulnya.
F.     Kesimpulan
      Dalam pandangan Ibn Taimiyyah, Filsafat adalah sesuatu yang berasal dari luar tradisi islam, yang tidak diajarkan oleh Rasul, para sahabat rasul, tab’in, tabi’ut tabi’in dan ulama salaf sebelumnya, sehingga dia menolak kebaradaan filsafat dalam tradisi keilmuan islam, yang dianggapnya sebagai gerbang menuju kesesatan.
Dia juga menganggap bahwa ilmu-ilmu dalam khazanah islam telah lahir tanpa ada campur tangan filsafat, sehingga tidak membutuhkan filsafat dalam memahami ilmu tersebut.
G.    Penutup
Dari berbagai uraian diatas kita bisa mengambil kesimpulan bahwa watak dan ungkapan seseorang merupakan cerminan dari situasi politik dan sosio-kultural suatu masa, dimana semakin tinggi tingkat pressing suatu zaman terhadap apa yang dipangkunya, maka semakin kuat pula daya balik yang diakibatkannya, kondisi "masyarakat terpaksa" yang serba panik dicekam oleh ketakutan perang dan dibumbui oleh perpecahan intern sudah sewajarnya berdampak pada kejiwaan kumpulan masyarakat ini. Apalagi ditambah ruwetnya pertentangan antar pemikiran dan masuknya ilmu-ilmu dari peradaban lain. Maka yang agaknya menjadi fokus pertanyaan kita adalah:
"Tepatkah ungkapan-ungkapan atau fatwa-fatwa yang tumbuh dalam kondisi politik dan sosio-kultural semacam ini untuk diterapkan dalam kondisi yang menjadi latar belakang kita saat ini?". Sebuah pertanyaan dari penulis yang semoga bisa mengantarkan kita untuk terus mencari dan memahami berbagai kejadian histories, untuk kemudian kita bisa mengambil manfaat dari apa yang kita pahami, khususnya dari sosok Ibn Taimiyyah yang kita bahas saat ini, permohonan maaf dari saya apabila dalam tulisan ini masih terdapat banyak kesalahan.

H.    Daftar Pustaka

1.      Al-Qur’an dan Terjemahnya, Pustaka Al-Hidayah, Surabaya, 2002
2.      Fauzan Mashri Al-Muhammady, Dr. Al-Janib Al-Falsafi min Al-Hadharah Al-Islamiah, Daar Al-Hakim, Jakarta, 2004
3.      Sami bin Abdullah al-Mughluts, Atlas Perang Salib, Almahira,2009
4.      Ibnu Taimiyyah, Kaidah Ahlussunnah wal Jama’ah, (terj) Qoidatu Ahlussunnah wal Jama’ah, At-Tibyan, Solo, 2002
5.      M.M.Syarif, M.A, Para Filosof Muslim, Mizan, 1985
6.      Fuad Farid Ibrahim,Dr. & Abdul Hamid Mutawali,Dr. Cepat Menguasai Ilmu Filsafat (terj), IRCiSoD, Yogyakarta, 2003



[1] Al-Qur’an dan Terjemahnya, Pustaka Al-Hidayah, Surabaya, 2002

[2] Opcit.
[3] M.M.Syarif, M.A, Para Filosof Muslim, Mizan, 1985

[4] Fauzan Mashri Al-Muhammady, Dr. Al-Janib Al-Falsafi min Al-Hadharah Al-Islamiah, Daar Al-Hakim, Jakarta, 2004

[5] Opcit.
[6] Sami bin Abdullah al-Mughluts, Atlas Perang Salib, Almahira,2009
[7] Fuad Farid Ibrahim,Dr. & Abdul Hamid Mutawali,Dr. Cepat Menguasai Ilmu Filsafat (terj), IRCiSoD, Yogyakarta, 2003
[8] Al-Qur’an dan Terjemahnya, Pustaka Al-Hidayah, Surabaya, 2002

[9] Ibnu Taimiyyah, Kaidah Ahlussunnah wal Jama’ah, (terj) Qoidatu Ahlussunnah wal Jama’ah, At-Tibyan, Solo, 2002