Penayangan bulan lalu

MENYATUKAN ISLAM DALAM PERBEDAAN

Rabu, 30 November 2011

MENGENAL AJARAN KAUM SUFI

Resensi Buku "MENGENAL AJARAN KAUM SUFI"

Judul Buku : An Introduction to Sufi Doctrine
Penulis : Titus Burckhardt
Penerbit : The Aquarian Press, Wellingborough, Great Britain 1981
Edisi terj. : Mengenal Ajaran Kaum Sufi
Penerjemah : Azyumardi Azra
Penerbit : PT. Dunia Pustaka Jaya
Cetakan : Pertama 1984

Pendahuluan
Buku ini merupakan pengantar dalam penelaahan ajaran –ajaran kaum Sufisme. Karena itu diperlukan pertama-tama perumusan sudut pandang untuk mendekati masalah ini. Sudut pandang itu tidaklah murni ilmiah, walau apapun yang menjadi kepentingan ilmiah atas kesimpulan-kesimpulan ajaran sufisme yang dilukiskan dalam buku ini, tujuan utama Titus Burckhardt dalam penulisan buku ini adalah untuk memberikan sumbangan kepada orang-orang yang dewasa ini berusaha memahami kebenaran-kebenaran universal yang bersifat abadi yang merupakan salah satu dari pencerminan setiap ajara yang suci.
Dapat ditegaskan sejak awal pembahasan ini, bahwa pengetahuan akademis hanya untuk digunakan sebagai bantuan sekunder dan tidak langsung dalam memadukan kanduga intelektual dengan ajaran-ajaran dunia timur.
Dalam buku ini usaha-usaha dilakukan untuk menjelaskan perspektif intelektual sufisme. Untuk itu cara-caranya sendiri dalam mengekspresikan berbagai hal diangkat pula dengan berbagai tambahan, dimana mungkin, penjelasan-penjelasanyang dibutuhkan oleh para pembaca. Bersamaan dengan itu ditunjukan pula perbandingan-perbandingan antara gagasan-gagasan tertentu dengan gagasan-gagasan doktrin-doktrin tradisional lainnya.
Sebagai seorang pengagum Muhyidin Ibnu A’rabi, Titus Burckhardt selalu mencantumkan perenungan-perenungan yang telah di dapatkan oleh Ibnu A’rabi, baik dalam bentuk kutipan kata-kata atau menukil tulisannya secara langsung dalam buku ini, sehingga karyanya seakan-akan hasil pemikiran Ibnu A’rabi sendiri.

Metode Penulisan
Dalam penulisan karya ini, Titus Burckhardt mengunakan metode induktif. Hal itu dapat dilihat dari tulisnya yang menerangkan mulai dari hal yang umum kepada hal yang khusus.

Kadungan Buku
Karya “An Introduction to Sufi Doctrine” yang dalam edisi terjemahan indonesia berjudul “Mengenal Ajaran Kaum Sufi” karya Titus Burckhardt ini, fokus utamanya adalah pada pengenalan tentang dasar-dasar ajaran dalam sufisme yang dikenalkan dan diajarkan oleh Muhyidin Ibnu A’rabi.
Buku ini di bagi menjadi tiga bagian dimana setiap bagian mempunyai beberapa bab yang menjelaskan tentang tiap-tiap bagian tersebut. Bagian pertama buku ini menjelaskan tentang watak sufisme yang dibagi menjadi enam bab, dengan pengetahuan mengenai tasawuf sebagai bab pertama, kemudian dilanjutkan mengenai beberapa watak yang harus dimiliki seorang sufi sebagai landasan dan dasar dalam sufisme. Dalam bagian kedua di dalam buku ini Titus Burckhardt mencoba menjelaskan mengenai Dasar-dasar Ajaran dalam sufi, dalam bagian ini ia membagi menjadi tujuh bab, dimana setiap bab menjelaskan dengan gamblang mengenai inti dari ajaran-ajaran sufisme. Dan yang terakhir dalam bagian ke tiga mengenai kesadaran rohani, dimana ia menerangkan tentang ibadat, meditasi dan perenungan.

Bagian Pertama : Watak Sufisme
Tasawwuf yang merupakan aspek batin atau esoterik Islam dibedakan dari aspek luar atau eksoterik Islam sebagaimana perenungan langsung atas realitas ketuhanan dan kerohanian dapat dibedakan dari pemenuhan hukum yang menerjemahkannya ke dalam kehidupan pribadi dalam hubungannya dengan kondisi suatu fase tertentu kemanusiaan. Semantara jalan hidup orang-orang beriman pada umumnya ditujukan untuk mendapatkan kebahagiana setelah kematian, suatu keadaan yang dapat dicapai melalui cara yang tidak langsung dan keikutsertaan simbolis dalam kebenaran Tuhan dengan melaksanakan perbuatan-perbuatan yang telah ditentukan, sufisme mengandung tujuan dalam dirinya sendiri dengan pengertian bahwa ia dapat memberikan jalan masuk bagi pengetahuan langsung tentang keabadian.
Pengetahuan ini, yang menjadi satu dengan tujuannya, melepaskan diri dari keterbatasan dan perubahan keadaan ego yang tak terelakkan. Keadaan rohani yang disebut baqa’ (“substensi” murni diatas segala bentuk) dimana sufi bertafakur untuk mencapainya adalah sama dengan keadaan moksha atau “pembebasan” dalam ajaran Hindu.
Bagi sufisme untuk membolehkan suatu kemungkinan semacam itu, ia harus dikenali dengan kebenaran hakiki ( al-lubb). Sufisme tidak dapat disebut sebagai sesuatu yang tambah-tambahkan kepada islam, karena dengan demikian ia akan menjadi sesuatu yang bersifat pinggiran dalam hubungannya dengan sarana-sarana rohani islam. Sebaliknya , sufisme dalam kenyataannya lebih dekat dengan sumber manusia utama dari pada eksoterisme agama dan ia secara aktif ikut kendatipun sepenuhnya dalam ajaran cara batiniah, dalam mendayagunakan wahyu yang dimanifestasikan dalam bentuk tradisional serta terus memeliharanya agar tetap hidup.
Sekarang ini, peranana sufisme dalam dunia islam, benar-banar seperti hati dalam diri manusia, karena hati merupakanpusat vital organisme kehidupan dan juga , dalam kenyataan yang lebih halus, merupakan “tempat duduk” dari suatu hakikat yang mengatasi setiap bentuk pribadi.
Para oreintalis yang memegang pendapat bahwa sufisme bukan berasal dari islam dan selalu menghubungkan asal-usul sufisme kepada Persia, Hindu, sumber-sumber Neo Platonik atau Kristen, bahkan mereka banyak membuat fakta-fakta bahwa dalan abad-abad pertama islam ajaran-ajaran sufi tidak muncul dengan segala perkembangan pemikiran metafisisnya sebagaimana ditemukan waktu-waktu belakangan.
Para sufi pertama mengekspresikan diri mereka dalam suatu bahasa yang sangat dekat kepada apa yang ada dalam Al-Qur’an, dan ekspresi ringkas terpadu mereka yang telah mencakup seluruh esensi ajaran. Jika pada tahapan berikutnya, ajaran-ajaran tersebut menjadi lebih tegas dan digali lebih lanjut, hal ini adalah sangat wajar yang sama dengan apa yang dapat ditemukan dalan setiap tradisi rohaniah lainnya. Ajaran sufime tumbuh tidak begitu banyak mendapat tambahan dari pengetahuan baru, karena adanya kebutuhan untuk menoleh kesalahan-kesalahan dan untuk menghidupkan kembali satu kekuatan intuisi yang semakin berkurang. Walaupun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa antara para sufi pertama dengan rahib-rahib kristen ada yang terjadi kontak antara mereka, sebagaimana terbukti pada seorang Sufi Ibrahim ibnu Adham, tetapi penjelasan paling akhir tentang tali hubungan antara sufisme dan monastesisme kristen tidak terletak pada peristiwa-peristiwa sejarah.
Dalam pengertian tertentu mengenai dogma-dogma kristen, yang seluruhnya dapat dikurangi menjadi ajaran tentang dua sifat Kristus, Tuhan dan Manusia, tersimpul dalam suatu bentuk historis, bahwa seluruh sufisme mengajarkan bersatu (union) dengan Tuhan. Lebih jauh, kaum sufi berpendapat bahwa Tuhan Yesus (Sayyidina Isa) adalah suatu bentuk sempurna dari orang suci yang berkontemplasi di antara para “Utusan Tuhan” (Rasul). Memberikan pipi kiri kepada orang yang menampar pipi kanan merupakan pembebasan rohani sebenarnya; ini merupakan suatu penarikan diri secara sukarela dari pengaruh aksi dan reaksi kosmik. Meskipun demikian adalah benar bahwa bagi para sufi, pribadi Kristus tidak terdiri dari perspektif yang sama sebagaimana diajarkan oleh orang-orang kristen. Meskipun banyak persamaan, cara sufi mempunyai perbedaan mencolok dari cara-cara rahib-rahib kristen.
Saripati ajaran sufi datang dari Nabi, tetapi karena tidak ada esoterisme tanpa inspirasi tertentu, maka ajaran itu terus di manifestasikan kembali melalui mulut para guru sufi. Pengajaran lisan dengan demikian sangat kuat, karena ia bersifat langsung dan pribadi dibandingkan dengan apa yang dapat dikumpulkan sedikit demi sedikit dari tulisan-tulisan, karena tulisan hanya memainkan peran sekunder persiapan, perlengkapan, atau suatu bantuan untuk membantu mengingat ajaran, dan karena alasan inilah kontinuitas sejarah ajaran sufi kadang-kadang luput dari penelitian para sarjana.
Inisiasi dalam sufisme terkandung dalam pemindahan pengaruh rohani (barakah) yang harus anugerahkan oleh seorang wakil dari suatu “rantai” (silsilah) yang sampai kepada Nabi. Dalam kebanyakan kasus, barakah itu dipindahkan oleh guru yang juga menjelaskan metode dan menganugerahkan sarana-sarana konsentrasi rohani yang sesuai dengan bakat murid. Kerangka umum metode tiu adalah hukum islam, walaupun disana selalu terdapat sufi-sufi yang diasingkan , karena alasan sifat keadaan perenungan mereka menyimpang dan tidak sesuai dengan ibadah biasa dalam islam.
Inisiasi pada umumnya mengambil bentuk perjanjian (bay’ah) diantara calom murid dengan pembimbing rohani (mursyid) yang mewakili Nabi. Perjanjian ini menunjukan penyerahan sempurna seorang murid kepasa gurunya dalam semua hal yang menyangkut kehidupan rohani dan tidak dapat dibatalakan secara sepihak atas kemauan murid.
Dalam hubungan ini harus dicatat bahwa, jika islam dapat tetap utuh dalam perjalanannya selama berabad-abad di tengah perubahan-perubahan psikologi dan etnis manusia diantara masyarakat islam, hal ini terjamin bukan karena watak yang cukup dinamis yang dimilikinya sebagai suatu bantuk kolektif, tetapi karena dalam inti ajarannya terkandung kemungkinan- kemungkinan untuk perenungan akal yang dapat mengatasi arus afektif jiwa manusia.
Adalah karakteristik Sufisme bahwa ekspresi-ekspresinya sering berpegang pada keseimbangan antara cinta dan pengetahuan. Bahasa cinta memungkinkannya untuk menegaskan kebenaran-kebenaran esoterispaling dalam tanpa masuk dalam konflik dengan ajaran telogi dogmatis. Akhirnya cinta itu secara simbolisberkaitan dengan keadaan pengatuhuan yang berada atas pokoran yang satu sama lain tidak bersambung..
Beberapa penulis sufi memberikan bukti tentang suatu sikap yang secara mendasar bersifat intelektual. Mereka melihat wujud tuhan sebagai hakikat universal dari seluruh pengetahuan. Sedangkan beberapa penulis sufi lain, mengekpresikan diri mereka dalam bahasa cinta, bagi mereka wujud Tuhan, pertama-tama adalah objek yang tak terbatas dari keinginan. Tetapi keanekaragaman sikap ini tidak berkaitan sama sekali dengan perbedaan apapun antara berbagai aliran sufismeyang berbeda, seperti sementara orang percaya bahwa para sufi yang mengunakan bahasa intelektual telah dipengaruhi oleh ajaran-ajaran yang asing bagi islam, seperti Neo-Platonisme, dan bahwa hanya mereka yang menampilkan sikap emisionallah yang menjadi muara mistisme sebenarnya yang timbul dari perspektif monoteisme.
Pada kenyataannya, keanekaragaman masalah timbul dari suatu berbedaan keahlian; berbagai keahlian yang berbeda secara cukup alamiah mencabangkan diri mereka kepadabermacam jenis kecerdasan manusia dan akhirnya mereka semua menemukan temoat dalam tasawwuf yang benar, berbeda antara sikap intelektual dan emosional merupakan hal terpenting dan paling umum dari berbagai perbedaan yang akan ditemukan dalam bidang ini.
Hal ini membawa kita kembali kepada pendapat bahwa hanya para sufi yang menyatakan sikap cinta, yang sebenarnya menampilkan aspek mitis agama islam. Dalam mendukung pandapat ini, beberapa keriteria salah dikenakan kepada sufisme, padahal kriteria ini hanya berlaku dalam hubungannya dengan agama kristen. Tema dasar kriteria ini adalah kasih tuhan, sehingga orang-orang yang menjadi corong mulut gnosis dalam kristen- walaupun ada kekecualian yang culup jarang – mengekspresikan diri mereka melalui simbolisme (cinta).
Bagian Kedua : Dasar- Dasar Ajaran
Ajaran islam sebagai suatu keseluruhan terkandung dalam tauhid, yaitu pengakuan terhadap keesaan Tuhan, bagi muslim awam, penegasan ini merupan poros yang jelas dan sederhana dari agama islam. Sedangakan bagi para perenung, tauhid adalah pintu yang terbuka untuk memahami dan masuk dalam realitas esensial. Semakin jauh pikiran para perenung menembus kesederhanaan rasional yang nampak dari keesaan tuhan, semakin akan menjadi kompleks kesederhanaan tersebut hingga mencapai titik dimana aspek-aspek yang berbeda tidak dapat lagi dirujukan dengan pikiran yang terpenggal-penggal saja. Meditasi atas perbedaan ini, dalam kenyataannya akan mengunakan indra pemikiran sampai pada batas-batas yang paling jauh. Dan, akal dalam hal ini terbuka bagi suatu sintesa yang terletak di atas seluruh konsepsi formal. Dengan kata lain , ini hanya intuisi tanpa bentuk yang dapat masuk dalam keesaan tuhan.
Hal in berlaku pada perumusan dasar islam ; kesaksian (syahadah) bahwa “tidak ada tuhan kecuali Allah” (la ilaha illallah). Dengan demikian dapat dikatakan “menentukan” keesaan tuhan. Rumusan ini harus diterjemahkan sepeti ditunjukan disini dan bukan seperti biasanya “tidak ada tuhan selain Allah”, karena rumusan ini dapat memelihara konsep tersebut dari pleonasme atau paradoks.
Menuru persaksian ini, Allah berbeda dengan segala sesuatu dan tidak ada sesuatu yang dapat diperbandingkan dengan-Nya. Karena diantara realitas-realitas yang dapat diperbandingkan harus terdapat kesamaan umum dalam sofat maupun persyaratan yang seimbang, sedangkan tuhan adalah transenden dalam kedua segi itu. Sekarang sesuatu yang sama sekali tak dapat dibandingkan itu menghendaki bahwa tidak ada sesuatu yang dapat di bandingkan dan mempunyai hubungan apa pun dengannya. Ini semua berpuncak padaungkapan bahwa tidak ada sesuatu yang ada dihadapan realitas Tuhan. Demikian bahwa dalam tuhan , segala sesuatu tidak ada artinya.”Allah ada dan tidak ada yang sesutu yang menyertai-Nya dan kini pun Ia ada sebagaimana Ia pernah ada.”(hadist Qudsi).
Guru –guru sufi menyebut keesaan Tuhan yang tidak dapat dibagi-bagi dengan istilah al-Ahadiyah, suatu istilah yang berasal dari kata ‘ahad’ yang merupakan kata benda yang berarti ‘satu’. Sedangkan bagi keesaan, sebagaimana ia muncul dalam aspek-aspek universalnya,mereka namakan dengan al-Wahidiyah,berasal dari kata ‘Wahid’ kata sifat yang berarti satu-satunya (unique). Istilah terakhir ini di dalam pembahasan diterjemahkan sebagai ‘keunikan’.
Selain dari segi keesaan tuhan, dalam dasar-dasar ajaran sufi juga merenungkan tentang penciptaan. Gagasan penciptaan pada umumnya mempunyai penmpilan bertentangan dengan kesatuan hakikat semua wujud, karena creatio ex nihilo kelihatannya menolak adanya kemungkinan –kemungkina pra-eksistensi dlam hakikat tuhan. Dan sebagai konsekuensinya ,menolak pula subsistensi wujud didalam hakikat-Nya. Padahal gagasan tentang perwujudan seperti diajarkan dalam agama hinduisme menghubungkan wujud nisbi kepada hakikat yang mutlak sebagai refleksi yang berkaitan dengan sumbernya yang terang.
Bagaimana pun, kedua konsepsi atau simbolisme ini mendekati satu sama salin, jika memandang bahwa arti metafisis ‘ketiadaan’(udum) daripada pencipta melukiskan benda-benda hanya dapat berupa ketiadaan dari bukan wujud (non-existence) ; yaitu dari bukan merupakan perwujudan atau keadaan awal. Karena kemungkinan –kemungkinan yang pada dasarnya terkandung dalam hakikat tuhan tidaklah berbeda didalam-Nya, sebelum mereka itu tersebar dalam suatubentuk-bentuk nisbi. Kemungkinan –kemungkinan itu juga tidak diwujudkan, karena eksistensi salalu menyatakan secara tak langsung kondisi pertama dan perbedaan sebenarnya antara ‘pengenal’ dan ‘yang dikenal’. Karena tindakan penciptaan dalam pengertian bahasa arab khalaqa –adalah sinonim dengan menempatkan setiap sesuatu pada ukurannya yang layak. Ini berubah ketika benda itu masuk kedalam tata aturan metafisis dan sesuai dengan ketentuan pertama dari kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam akal tuhan. Menurut arti kata khalq ‘penciptaan secara logis dapat digambarkan sebagai awal penciptaan eksistensi (ijad) dari kemungkinan-kemungkinan yang sama ini.
Dengan demikian asal-usul alam(cosmogony) dapat dirumuskan dalam cara ini: pertama, Tuhan meletakaan kemungkinan-kemungkinan yang mudah untuk diwujudkan dalam suatu keadaan serentak yang sempurna dan menentukan setiap ciptaan itu ‘kekuatan’ (qadar) nya untk berkembang dalam suatu bentuk nisbi,kemungkinan Dia membawa semua ciptaaan itu kedalam eksistensi dengan mengejawantahkan (dhahara) diri-Nya sendiri di dalam ciptaan-ciptaan tersebut. Dengan demikian , dalam kualitas sebagai pencipta (Khaliq) , Tuhan melakukan suatu pemilihan atas kemungkinan-kemungkinan untuk diwujudkan. Begitulah penciptaan tersebut muncul karena ia berkaitan dengan kedirian Tuhan (an-nafs) yang digambarkan secara analogi dengan kedirian manusia dan ditunjukan dengan sifat-sifat seperti ketentuan (al-Hukum) kehendak (al-Iradah) dan perbuatan (al- Fi’l). Kini bentuk antropomorfisme dari ekspresi-ekspersi ini hanyalah merupakan kiasan (isyarah) dan bukanlah perbatasan perspektif persolan tersebut.
Meskipun demikian, terdapat pula suatu perspektif metafisika yang lebih luas ,dan memperhitungkan setiap benda-benda dalam hubungannya dengan Tuhan yang maha sempurna. Dalam pengetahuan tuhan yang maha sempurna segala kemungkinan adalah apa-apa yang yang wujud secara abadi. Dan demikianlah pemilihan kemungkina-kemungkinan yang terwujud itu bersesuaian dengan sifat mereka sebenarnya,atau lebih tegas lagi dari suatu aspek yang melengkapi kemungkinan-kemungkinan tersebut, wujud Tuhan tersebut memanifestasikan diri-Nya sendiri sesuai dengan bentuk bentuk yang semua bentuk-bentuk yang mungkin, dan sama sekali tidak ada batasan bagi kemungkinan-kemungkinan Tuhan.
Dari seluruh sudut pandang yang berbeda ini, dunia pada hakikatanya merupakan perwujudan Tuhan bagi diri-Nya sendiri. Demikianlah hal itu dinyatakan dalam sabda suci nabi (hadist qudsi) yang mengembalikan gagasan penciptaan kepada gagasan pengetahuan, seperti dinyatakan “aku adalah harta benda yang tersembunyi ;aku ingin diketahui maka ak menciptakan dunia” dalam pengertian yang sama, kakum sufi membandingkan alam dengan suatu kombinasi kaca-kaca dimana hakikat Yang Maha Sempurna merenungi diri sendiri dalam bentuk-bentuk yang beragam atau yang mencerminkan diri dalam berbagai tingkat perwujudan wujud tunggal. Kaca-kaca in melambangkan kemungkinan-kemungkinan hakikat (Dzat) untuk menentukan dirinya sendiri. Memungkinkan apa yang dikandung-Nya dengan sifat kesempurnaan-Nya (kamal).
‘Kemungkinan-kemungkinan dasar’ atau ‘ Hakikat-hakikat abadi’ (al-a’yan ats-tsabitah) meskioun terkandung dalam hakikat tuhan yang tidak ada perbedaan, adalah juga , sejauh mereka tercermin dalam akal Universal, merupakan ‘ide-ide’ atau pola dasar yang diperbandingkan dengan Plato dalam cerita tamsilnya tentang gua, kepada objek-objek riil tempat para tahanan dalam gua tersebut hanya merasakan bayang –bayang.
Dalam pengertian ini-karena sufi mengambik teori pola dasar- maka mereka semua sebenarnya adalah Platonis ajaran pola dasar lebih lanjut, secara terpadu berkaitan dengan Kemahatahuan Tuhan. Alasan –alasan yang dikemukakan para filosof tertentu untuk menentang eksistensi ‘ide-ide’ kaum Platonis sepenuhnya gugur jika dipahami bahwa ‘ide-ide’ tersebut tidak mempunyai eksistensi, seperti yang nyatakan Ibnu A’rabi, atau dengan kata lain ide-ide itu bukanlah sifat dari substansi yang berbedadan hanya merupakam kemungkinan-kemungkinan yang inheren dalam akal Tuhan, dan pada dasarnya inheren dalam hakikat Tuhan. Lebih lanjut seluruh pembicaraan filosofis tentang hal-hal Universal berlangsung dari suatu kerancuan antaa pola-pola dasar dan refleksinya pada tingakaan rohani murni. Jelaslah bahwa bentuk-bentuk rohani, ide-ide umum hanyalah merupakan abstraksi murni. Tetapi untuk menetapkan hal ini , berarti tidak menyentuh pola dasar platonis atau ide-idenya, karena semuanya itu hanyalah disposisi-disposisi intelektual atau kemungkinan-kemungkinan yang diperkirakan dengan abtraksi-abstraksi yang tanpa abtraksi-abtraksi ini akan terjadi kekurangan secara menyeluruh tanpa kebenaran interistik.
Untuk menolak adanya hakikat abadi, sumber seluruh pengetahuan nisbi, akan berarti seperti menolak adanya ruang dengan dalih ia tidak mempunya bentuk spesial. Dalam kenyataannya ,pola-pola dasar semacam itu tidak pernah terwujutkan baik dalam dunia indrawi atau bidang rohani. Meskipun demikian , segala sesuatu yang ada dalam kedua bidang itu pada daarnya kembali kepada hakikat –hakikat abadi tadi. Jika kita mencoba menguasainya, maka hakikat –hakikat abadi itu daoat mengelakkan pandangan-pandangan khusus. Hakikat-hakikat abadi tersebut hanya dapat diketahuai dengan cara intuitif, baik melalui simbol-simbolnya maupun melalui identifikasi dengan hakikat Tuhan.


Bagian Ketiga : Kesadaran Rohani
Sufisme yanag berlaku ‘Operatif’, seperti juga setiap jalan perenungan – terlepas dari perbedaaannya yang pada berbagai jalan- mengandung tiga elemen dasar atau aspek pokok. Aspek-aspek pokok itu ialah; ajaran kebajikan rohani dan suatu seni memusatkan pikiran (konsentrasi) yang akan kita sebut memakai pernyataan beberapa sufi tertentu –sebagai al-Kimia rohani.
Pembauran kebenaran-kebenaran ajaran sangat diperlukan, tetapi pembauran itu sendiri tidak membawa perubahan terhadap jiwa,kecuali dalam kasusu-kasus yang benar-benar merupakan pengecualian yang jiwa begitu terencana baik untuk melakukan perenungan, sehingga sekilas ajaran saja tidak cukup untuk memasukan jiwa ke dalam perenungan. Hal ini seperti larutan yang tiba-tiba dapat berubah menjadi kristal walaupun dengan kejutan paling alus sekalipun. Dalan ajaran itu sendiri, akal sama sekali bersifat statis. Akal boleh jadi dapat melepaskan jiwa dari ketegangan –ketegangan tertentu, tetapi sebenarnya tidak dapat merubahnya tanpa persetujuan kemauan yang merupakan elemen dinamis dalam jalan sufi. Akal pun boleh jadi dapat secara mudah merubah intuisi dengan kebenaran –kebenaran metafisis. Perubahan itu pertama kali timbul dengan mempelajari ajaran. Intuisi itupun sedikit demi sedikit hilang dalam diriseseorang yang mengenggap bahwa ia memiliki kebenaran metafisis tersebut, dan ia pun kemudian hanya mengikuti kebenaran metafisis itu dalam pikirannya. Ini terjadi jika pikiran tidak mempunyai tempat untuk bermain dalam hubungannya dengan kebenaran-kebenaran tersebut.
Sesuai denga sifat khusus ‘jalan’- mempunyai banyak jalan , sesuai dengan banyaknya jiwa manusia- maka pemahaman ajaran dapat memainkan peran lebih besar atau bahkan mungkin malah menjadi kurang penting. Suatu keadaan belajar yang benar-benar ekstensif dalam masalah doktrin sufisme tidaklah dimaksudkan bahwa pemahaman haruslah dikembangkan kedalam jiwa bukan dalam segi-segi lahiriah. Bagi seorang yang ingin mencapai pengetahuan yang haq tentang Tuhan (ma’rifah), maka yang harus menjadi persoalan utama adalah bahwa ia haruslah sadar tentang kedalaman arti ibadah yang dilakukannya sebagai mana yang diperbolehkan intuisinya. Dalam bidang ini, suatu usaha yang semata-mata kualitatif dan upaya kemauan serampangan tidak akan dapat mencapai suatu hasil apapun. Karena pengetahuan Haq hanya dapat dicapai dengan cara-cara yang sama dengan sifat-sifat pengetahuan itu sendiri. Atas uraian tersebut perlu ditambahkan bahwa dalam praktek-praktek rohani selalu terdapat elemen-elemen yang tidak memberikan tumpuan berpijak kepada akal pikiran.
Adalah benar-benar bersifat intelektual ,orang-orang yang sejak pertama kali telah mengakui sifat nisbi semua pernyataan teoritis. Aspek intelektual jalan sufisme mencakup tudi tentang ajaran, dan ini dapat diperoleh tanpa intuisi. Jika kesalahan yang ketat selalu dapat dikeluarkan, maka pikiran- yang merupakan alat untuk mencari kebenaran dan sekaligus membatasi kebenaran tersebut – harus juga dikurangi dalam perenungan untuk penyatuan dengan Tuhan. Dalam keseluruhan sifat seorang sufi, pengetahuan pada hakikatnya merupakan suatu hal yang bersifat supra-individual karena ia adalah universal.

Minggu, 27 November 2011

Liberalisasi Pemikiran Islam

Pendahuluan
Dunia pemikiran Islam kini memasuki "wajah baru" menyusul membanjirnya arus pemikiran Barat dalam studi keislaman (Islamic studies). Berbagai perguruan tinggi, baik Islam maupun Kristen, menawarkan program Religious Islamic Studies yang banyak mengacu pada pola kajian Barat. Sekitar dua dekade lalu, banyak sarjana Islam mulai berbondong-bondong pergi ke Barat untuk belajar Islam.
Lepas dari soal pro-kontra keunggulan dan kelemahan "metode Barat", dukungan dana dan fasilitas akademik yang baik menyebabkan gelombang sarjana Muslim yang belajar Islamic studies ke Barat, sulit dibendung. Setiap tahun, ratusan sarjana Muslim menyerbu McGill University, University of Leiden, Chicago University, Melbourne University, Hamburg University, dan sebagainya.
Soal belajar memang bisa dimana saja. Yang penting adalah sikap dan daya kritis sarjana Muslim terhadap "sajian" Barat. Prof HM Rasjidi, misalnya, meskipun lulusan Sorbonne University, Prancis, ia mampu mengembangkan daya kritisnya terhadap gagasan-gagasan sekulerisasi. Prof Naquib al-Attas juga jebolan Barat (University of London), tetapi justru berhasil menyusun pola-pola kajian Islam untuk "menandingi" Barat.
Yang menjadi pertanyaan, perlukah mengambil metode kajian keislaman (Islamic studies) dari Barat? Para penyokong gagasan ini biasanya beralasan bahwa metode Barat diperlukan untuk mengembangkan dan memecahkan kebekuan studi Islam, khususnya di lembaga-lembaga pendidikan tinggi Islam.
Diantaranya, dengan memperkenalkan metode penelitian empiris (seperti yang biasa dipakai dalam sosiologi dan antropologi agama), teori-teori baru, dan pemikiran-pemikiran kontemporer dalam ilmu sosial dan humaniora, seperti "teori interaksi simbol" (symbolic interaction)-nya Herbert Mead, teori tindakan komunikatif (theory of communicative action)-nya Habermas, "arkeologi ilmu" (archeology of knowledge)-nya Foucault, "strategi dekonstruksi"-nya Derrida, atau hermeneutiknya Gadamer -untuk menyebut sejumlah contoh saja.

Pembahasan
A. Asal- usul Liberalisasi Pemikiran Islam
Istilah 'liberalisme' berasal dari bahasa latin, liber, yang artinya 'bebas' atau 'merdeka'. Hingga penghujung abad ke-18 masehi, istilah ini terkait erat dengan konsep manusia merdeka, bisa merdeka semenjak lahir ataupun merdeka setelah di bebaskan, yakni mantan budak. Dari sinilah muncul istilah 'liberal arts' yang berarti ilmu yang berguna dan sepatutnya dimiliki oleh setiap manusia merdeka, yaitu aritmatika, geografi, astronomi, dan musik serta gramatika, retorika dan logika.
Pakar sejatah barat biasanya menunjuk moto Revolusi Perancis 1789- kebebasan, kesetaraan, persaudaraan, sebagai piagam agung liberalisme modern. Sebagaimana yang diungapkan oleh H.Gruber, prinsip liberalisme yang paling mendasar adalah pernyataan bahwa tunduk kepada otoritas apapun namanya-adalah bertentangan dengan hak asasi, kebebasan dan harga diri manusia- yakni otoritas yang akarnya, aturannya, ukurannya dan ketetapannya ada diluar dirinya. Disini kita mencium bau sophisme dan relativisme ala falsafah Protagoras yang mengajarkan bahwa "manusia adalah ukuran dari segalanya"- doktrin yang kemudian dirayakan oleh para penganut nihilisme Nietzsche.
Dalam ranah urusan agama, liberalisme berarti kebebasan menganut, meyakini, dan mengamalkan apa saja, sesuai kecenderungan, kehendak, dan selera masing-masing. Bahkan lebih jauh dari itu,liberalisme mereduksi agama menjadi urusan privat. Artinya konsep amar ma'ruf maupun nahi munkar bukan saja dinilai tidak relevan, bahkan dianggap bertentangan dengan semangat liberalisme.

Pemikiran Islam adalah suatu bidang ilmu baru. Istilah pemikiran Islam itu sendiri adalah istilah baru. Kenyataan ini sangat jelas dimana tidak ditemukan sebuah karya turats (klasik) Islam yang berjudul "Al-fikr al-islami" atau tulisan yang mengandung istilah tersebut.
Proses liberalisasi sebenarnya telah terjadi pada berbagai bidang kehidupan, baik bidang politik, ekonomi, politik, maupun sosial, termasuk juga bidang agama. Khususnya yang terjadi dalam agama Islam yang dikenal dengan Islam Liberal.
Menurut Kurzman, ungkapan "Islam Liberal" mungkin terdengar seperti sebuah kontradiksi dalam peristilahan. Mungkin ia binggung dengan istilahnya sendiri: Islam kok Liberal? Meski ia jawab sendiri di akhir tulisannya bahwa istilah Islam Liberal itu tidak kontradiktif, tapi ketidak jelasn uraiannya masih tampak di sana-sini.
Islama sendiri secara lughawi bermakna "pasrah" tunduk kepada Tuhan (Allah) dan terikat dengan hukum-hukum yang dibawa Nabi Muhammad saw. Dalam hal ini Islam tidak bebas. Tetapi, disamping Islam tunduk kepada Allah SWT, Islam sebenarnya membebaskan manusia dari belenggu peribadahan kepada manusia ataupun makhluk lainnya. Bisa disimpulkan bahwa Islam itu "bebas" dan "tidak bebas".
Seorang sarjana hukum India, Ali Asghar Fyzee mengunakan istilah lain untuk Islam Liberal dengan sebutan Islam Protestan, dengan Istilah ini, Fyzee ingin menyampaikan pesan perlunya menghadirkan wajah Islam yang lain, yaitu Islam yang nonortodoks; Islam yang kompetibel terhadap perubahan zaman; dan Islam yang berorientasi ke masa depan dan bukan ke masa silam.
Kemunculan istilah Islam Liberal ini menurut Luthfi, salah seorang pengajar Universitas Paramadina, mulai di populerkan tahun 1950-an. Tapi mulai berkembang pesat pada tahun 1980-an. Selanjutnya Luthfi menjelaskan tentang agenda-agenda Islam liberal, setidaknya ada empat agenda pokok yang dibahas oleh para pembaharu dan intelektual muslim selama ini. Yakni, agenda politik, toleranasi agama, emansipasi wanita, dan kebebasan berekspresi. Selain itu Islam Liberal sangat "mendewakan modernitas", sehingga islam harus disesuikan dengan kemodernan. " jika terjadi konflik antara ajaran Islam dan pencapaian modernitas, maka yang harus dilakukan,menurut mereka bukanlah menolak modernitas, tetapi menafsirkan kembali ajaran tersebut. Di sinilah inti sikap dan doktrin Islam Liberal" kata Luthfi.
B. Arti Liberalisasi Pemikiran Islam
Dinamika pemikiran Islam pada satu dasawarsa terakhir ini, terutama yang berkembang pada intelektual muda sebenarnya berakar pada dua isu mainstream yaitu "tradisi dan modernitas".
Tren pemikiran Islam liberal merupakan fenomena global yang belakangan ini mulai menggejala di hampir seluruh belahan dunia Islam. Ia menyebar dan menjalar ke setiap lini kehidupan masyarakat Muslim pada khususnya seiring dengan derasnya ekspansi-neo imperaliasme barat yang dibuat atas nama globalisasi. Bila diteliti denan cermat, hampir seluruh gerakan liberal di dunia Islam termasuk di Indonesia lahir sebagai respon ideologis terhadap berbagai persoalan, politik, ekonomi, sosial yang sedang melanda masyarakat.
Kaum liberal berusaha ingin membuat terobosan baru untuk membangkitkan kembali masyarakat yang mereka anggap telah tertinggal jauh dari Barat dalam pemikiran. Dan terobosan itu, kata mereka hendaknya dimulai dari agama. Karena Agama (Islam) selama ini menjadi penghalang kemajuan dan akselerasi pembangunan di tengah-tengah masyarakat muslim. Keyakinan inilah yang dapat dairekan dari seorang pemikir arab abad dua puluh yang lalu, Muhammad Nuwaihy. Dalam artikelnya dia menyatakan, "kalau kita betul serius ingin berusaha mencapai "Revolusi budaya Arab Komprehensif", maka kita harus memulainya untuk berhdapan dengan fakta, bahwa penghalang pertama perjalanan ini adalah Agama (Islam).
Secara khusus kelompok ini telah menempatkan dirinya sebagai respon dan reaksi terhadap fenomena baru yang mereka beri label sebagai 'radikalisme dan fundamentalisme Islam'. Ada juga yang melihat gerakan islam liberal ini tak lain adalah kelanjutan dari udaha pembaruan yang pernah di gagas oleh cendekiawan-cendekawan muslim. Dalam posisi seperti ini umat Islam diposisikan untuk mengadopsi demokrasi, kebebasan beragama dan berpendapat, dan persamaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan, pemisahan agama dari ruang publik, dan lain sebagainya. Karena hanya dengan begitu, masyarakat Islam akan terlepas dari ketepurukan yang sedang dialami.
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa arti Liberalisai Pemikiran Islam adalah suatu usaha untuk memisahkan bahkan membuang dasar-dasar Islam baik aqidah maupun syari'ah.
C. Dampaknya Terhadap Aqidah Islam
Proses liberalisasi pemikiran Islam dilakukan melalui 3 bidang penting dalam ajaran Islam, Yaitu (1) Liberalisasi bidang aqidah dengan paham Pluralisme Agama, (2) liberalisasi bidang syari'ah dengan melakukan perubahan metodologi ijtihad, (3) liberalisasi konsep wahyu dengan melakukan dekonstruksi terhadap al-Qur'an.
Dr. Greg Barton dalam disertasinya memberikan sejumlah program dalam mengembangkan liberalisasi pemikiran islam, yaitu: (a) pentingnya konstekstualisasi ijtihad, (b) komitmen terhadap rasionalitas dan pembaharuan, (c) penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama-agama, (d) pemidahan agama dan partai politik dan adanya posisi non sektarian negara.
Dari disertasi Barton tersebut dapat diketahui, bahwa memang ada strategi dan progaram yang sistematis dan metodologis dalam liberalisasi Islam. Penyebaran paham pluralisme agama- yang jelas-jelas merupakan paham syirik modern, karena membenarkan semua tindakan syirik- dilakukan dengan cara masif, melalui berbagai saluran, dan dukungan dana yang luar biasa. Dari berbagai program tersebut terdapat program khusus yang menjadi aspek dasar dari gerakan liberalisasi Islam yaitu, liberalisasi aqidah Islam.
Liberalisasi aqidah Islam dilakukan dengan menyebarkan paham Pluralisme Agama. Paham ini, pada dasarnya menyatakan, bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama. Jadi menurut penganut paham ini, semua agama adalah jalan yang berbeda-beda menuju Tuhan yang sama. Atau mereka menyatakan, bahwa agama adalah persepsi relatif terhadap Tuhan yang mutlak. Sehingga- karena kerelativannya- maka setiap pemeluk agama tidak bolehmengklaim atau menyakini bahwa agamanya sendiri yang paling benar atau lebih baik dari agama yang lainnya. Bahkan menurut Charles Kimball, salah satu ciri agama jahat adalah agama yang memiliki klaim kebenaran mutlak atas agamanya sendiri.
Pada dataran diskursus akademik, makna religion di Barat memang problematik. Bertahun-tahun mereka mencoba mendefinisikan religion tapi gagal. Mereka tetap tidak mampu menjangkau hal-hal yang khusus. Jikapun mampu mereka terpaksa menafikan agama lain. Ketika agama didefinisikan sebagai kepercayaan, atau kepercayaan kepada yang Maha Kuasa (Supreme Being), kepercayaan primitif di Asia menjadi bukan agama. Sebab agama primitif tidak punya kepercayaan formal, apalagi doktrin.
F. Schleiermacher kemudian mendefinisan agama dengan tidak terlalu doktriner, agama adalah "rasa ketergantungan yang absolut" (feeling of absolute dependence). Demikian pula Whitehead, agama adalah "apa yang kita lakukan adalah kesendirian". Di sini faktor-faktor terpentingnya adalah emosi, pengalaman, intuisi dan etika. Tapi definisi ini hanya sesuai untuk agama primitif yang punya tradisi penuh dengan ritus-ritus, dan tidak cocok untuk agama yang punya stuktur keimanan, ide-ide dan doktrin-doktrin.
Konsep Tuhan di Barat kini sudah hampir sepenuhnya rekayasa akal manusia. Bukti Tuhan 'harus' mengikuti peraturan akal manusia. Ia 'tidak boleh' menjadi tiran, 'tidak boleh' ikut campur dalam kebebasan dan kreativitas manusia. Tuhan yang ikut mengatur alam semesta adalah absurd. Tuhan yang personal dan tiranik itulah yang pada abad ke19 'dibunuh' Nietzche dari pikiran manusia. Tuhan Pencipta tidak wujud pada nalar manusia produk kebudayaan Barat. Agama disana akhirnya tanpa Tuhan atau bahkan Tuhan tanpa Tuhan.
Manusia-manusia yang hidup dalam alam pikiran liberal dan kenisbian nilai akan senantiasa mengalami kegelisahan hidup dan ketidaktenangan jiwa. Mereka pada hakekatnya berada dalam kegelapan, jauh dari cahaya kebenaran. Karena itu, mereka akan senantiasa mengejar bayangan kebahagiaan, fatomorgana, melalui berbagai bentuk kepuasan fisik dan jasmaniyah; ibarat meminum air laut, yang tidak akan pernah menghilangkan rasa haus. Tidak ada kebahagian abadiyang dapat mereka reguk, karena mereka sudah membuang jauh-jauh keimanan dan keyakinan akan nilai-nilai yang abadi, kebenaran yang hakiki, mereka tidak percaya lagi kepada wahyu Tuhan, dan menjadikan akal dan hawa nafsu-nya sebagai Tuhan.
Dengan demikian pada akhirnya manusia tidak akan mengakui lagi akan adanya Tuhan, karena bagi mereka Tuhan adalah hasil ciptaan manusia dari akal pikiran mereka sendiri. Jadi yang mengatur kehidupan bukan Tuhan melainkan kita yang menggatur Tuhan. Dan paham ini sangat bertentangan dengan aqidah dalam Islam.
Penutup
Gerakan liberalisasi pemikiran Islam dengan menjadikan barat sebagai rujukan utama sebenarnya sudah lama di praktekan, hal itu di lakukan barat agar terjadi penyimpangan dalam pemikiran Islam bahkan aqidah, sehingga umat Islam akan kehilangan jiwa, ruh yang menjadi landasan dan pondasi Islam. Dan ketika pondasi itu telah hancur maka akan dengan mudah Islam dileburkan.
Sebagai umat Islam sudah seharusnya kita lebih selektif lagi dalam menggunakan pemikiran yang dibawa oleh barat, sehingga tidak akan terjadi penyimpangan pemikiran bahkan aqidah yang telah dibawa oleh Rasulullah yaitu aqidah tauhid.
Daftar Pustaka
" Arif. Syamsudin, "Jejak Kristen dalam Islamic Studies", artikel Mikail Huda Melawan JIL: Dalang di Balik Gerakan Islam Liberal YAPISDA Corporation.
" Arif. Syamsudin, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran,(Jakarta: GIP: 2008).
" Wan adli Wan Ramli, "Studi Pemikiran Islam di perguruan tinggi negeri di Malaysia: realitas, tantangan dan masa depan" Metodologi Pengkajian Islam Pengalaman Indonesia dan Malaysia,(Gontor: ISID, 2008).
" Husaini. Adian, Hidayat. Nuim, Islam Liberal: sejarah, konsepsi, penyimpangan dan jawabannya, (Jakarta:2006, Gema Insani).
" Nirwan. Syarif, "Kritik Terhadap Paham Liberalisme Syariat Islam" Jurnal tsaqofah, vol IV.
" Husaini. Adian, Liberalisasi Pemikiran Islam di Indonesia, makalah di sampaikan dalam acara Rakorda Majelis Ulama se-Jawa dan Lampung di Serang-Benten 11 Agustus 2009.
" Zarkasyi. Hamid Fahmy, "Kajian Pemikiran Islam" ", artikel Mikail Huda Melawan JIL: Dalang di Balik Gerakan Islam Liberal YAPISDA Corporation.