Resensi Buku "MENGENAL AJARAN KAUM SUFI"
Judul Buku : An Introduction to Sufi Doctrine
Penulis : Titus Burckhardt
Penerbit : The Aquarian Press, Wellingborough, Great Britain 1981
Edisi terj. : Mengenal Ajaran Kaum Sufi
Penerjemah : Azyumardi Azra
Penerbit : PT. Dunia Pustaka Jaya
Cetakan : Pertama 1984
Pendahuluan
Buku ini merupakan pengantar dalam penelaahan ajaran –ajaran kaum Sufisme. Karena itu diperlukan pertama-tama perumusan sudut pandang untuk mendekati masalah ini. Sudut pandang itu tidaklah murni ilmiah, walau apapun yang menjadi kepentingan ilmiah atas kesimpulan-kesimpulan ajaran sufisme yang dilukiskan dalam buku ini, tujuan utama Titus Burckhardt dalam penulisan buku ini adalah untuk memberikan sumbangan kepada orang-orang yang dewasa ini berusaha memahami kebenaran-kebenaran universal yang bersifat abadi yang merupakan salah satu dari pencerminan setiap ajara yang suci.
Dapat ditegaskan sejak awal pembahasan ini, bahwa pengetahuan akademis hanya untuk digunakan sebagai bantuan sekunder dan tidak langsung dalam memadukan kanduga intelektual dengan ajaran-ajaran dunia timur.
Dalam buku ini usaha-usaha dilakukan untuk menjelaskan perspektif intelektual sufisme. Untuk itu cara-caranya sendiri dalam mengekspresikan berbagai hal diangkat pula dengan berbagai tambahan, dimana mungkin, penjelasan-penjelasanyang dibutuhkan oleh para pembaca. Bersamaan dengan itu ditunjukan pula perbandingan-perbandingan antara gagasan-gagasan tertentu dengan gagasan-gagasan doktrin-doktrin tradisional lainnya.
Sebagai seorang pengagum Muhyidin Ibnu A’rabi, Titus Burckhardt selalu mencantumkan perenungan-perenungan yang telah di dapatkan oleh Ibnu A’rabi, baik dalam bentuk kutipan kata-kata atau menukil tulisannya secara langsung dalam buku ini, sehingga karyanya seakan-akan hasil pemikiran Ibnu A’rabi sendiri.
Metode Penulisan
Dalam penulisan karya ini, Titus Burckhardt mengunakan metode induktif. Hal itu dapat dilihat dari tulisnya yang menerangkan mulai dari hal yang umum kepada hal yang khusus.
Kadungan Buku
Karya “An Introduction to Sufi Doctrine” yang dalam edisi terjemahan indonesia berjudul “Mengenal Ajaran Kaum Sufi” karya Titus Burckhardt ini, fokus utamanya adalah pada pengenalan tentang dasar-dasar ajaran dalam sufisme yang dikenalkan dan diajarkan oleh Muhyidin Ibnu A’rabi.
Buku ini di bagi menjadi tiga bagian dimana setiap bagian mempunyai beberapa bab yang menjelaskan tentang tiap-tiap bagian tersebut. Bagian pertama buku ini menjelaskan tentang watak sufisme yang dibagi menjadi enam bab, dengan pengetahuan mengenai tasawuf sebagai bab pertama, kemudian dilanjutkan mengenai beberapa watak yang harus dimiliki seorang sufi sebagai landasan dan dasar dalam sufisme. Dalam bagian kedua di dalam buku ini Titus Burckhardt mencoba menjelaskan mengenai Dasar-dasar Ajaran dalam sufi, dalam bagian ini ia membagi menjadi tujuh bab, dimana setiap bab menjelaskan dengan gamblang mengenai inti dari ajaran-ajaran sufisme. Dan yang terakhir dalam bagian ke tiga mengenai kesadaran rohani, dimana ia menerangkan tentang ibadat, meditasi dan perenungan.
Bagian Pertama : Watak Sufisme
Tasawwuf yang merupakan aspek batin atau esoterik Islam dibedakan dari aspek luar atau eksoterik Islam sebagaimana perenungan langsung atas realitas ketuhanan dan kerohanian dapat dibedakan dari pemenuhan hukum yang menerjemahkannya ke dalam kehidupan pribadi dalam hubungannya dengan kondisi suatu fase tertentu kemanusiaan. Semantara jalan hidup orang-orang beriman pada umumnya ditujukan untuk mendapatkan kebahagiana setelah kematian, suatu keadaan yang dapat dicapai melalui cara yang tidak langsung dan keikutsertaan simbolis dalam kebenaran Tuhan dengan melaksanakan perbuatan-perbuatan yang telah ditentukan, sufisme mengandung tujuan dalam dirinya sendiri dengan pengertian bahwa ia dapat memberikan jalan masuk bagi pengetahuan langsung tentang keabadian.
Pengetahuan ini, yang menjadi satu dengan tujuannya, melepaskan diri dari keterbatasan dan perubahan keadaan ego yang tak terelakkan. Keadaan rohani yang disebut baqa’ (“substensi” murni diatas segala bentuk) dimana sufi bertafakur untuk mencapainya adalah sama dengan keadaan moksha atau “pembebasan” dalam ajaran Hindu.
Bagi sufisme untuk membolehkan suatu kemungkinan semacam itu, ia harus dikenali dengan kebenaran hakiki ( al-lubb). Sufisme tidak dapat disebut sebagai sesuatu yang tambah-tambahkan kepada islam, karena dengan demikian ia akan menjadi sesuatu yang bersifat pinggiran dalam hubungannya dengan sarana-sarana rohani islam. Sebaliknya , sufisme dalam kenyataannya lebih dekat dengan sumber manusia utama dari pada eksoterisme agama dan ia secara aktif ikut kendatipun sepenuhnya dalam ajaran cara batiniah, dalam mendayagunakan wahyu yang dimanifestasikan dalam bentuk tradisional serta terus memeliharanya agar tetap hidup.
Sekarang ini, peranana sufisme dalam dunia islam, benar-banar seperti hati dalam diri manusia, karena hati merupakanpusat vital organisme kehidupan dan juga , dalam kenyataan yang lebih halus, merupakan “tempat duduk” dari suatu hakikat yang mengatasi setiap bentuk pribadi.
Para oreintalis yang memegang pendapat bahwa sufisme bukan berasal dari islam dan selalu menghubungkan asal-usul sufisme kepada Persia, Hindu, sumber-sumber Neo Platonik atau Kristen, bahkan mereka banyak membuat fakta-fakta bahwa dalan abad-abad pertama islam ajaran-ajaran sufi tidak muncul dengan segala perkembangan pemikiran metafisisnya sebagaimana ditemukan waktu-waktu belakangan.
Para sufi pertama mengekspresikan diri mereka dalam suatu bahasa yang sangat dekat kepada apa yang ada dalam Al-Qur’an, dan ekspresi ringkas terpadu mereka yang telah mencakup seluruh esensi ajaran. Jika pada tahapan berikutnya, ajaran-ajaran tersebut menjadi lebih tegas dan digali lebih lanjut, hal ini adalah sangat wajar yang sama dengan apa yang dapat ditemukan dalan setiap tradisi rohaniah lainnya. Ajaran sufime tumbuh tidak begitu banyak mendapat tambahan dari pengetahuan baru, karena adanya kebutuhan untuk menoleh kesalahan-kesalahan dan untuk menghidupkan kembali satu kekuatan intuisi yang semakin berkurang. Walaupun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa antara para sufi pertama dengan rahib-rahib kristen ada yang terjadi kontak antara mereka, sebagaimana terbukti pada seorang Sufi Ibrahim ibnu Adham, tetapi penjelasan paling akhir tentang tali hubungan antara sufisme dan monastesisme kristen tidak terletak pada peristiwa-peristiwa sejarah.
Dalam pengertian tertentu mengenai dogma-dogma kristen, yang seluruhnya dapat dikurangi menjadi ajaran tentang dua sifat Kristus, Tuhan dan Manusia, tersimpul dalam suatu bentuk historis, bahwa seluruh sufisme mengajarkan bersatu (union) dengan Tuhan. Lebih jauh, kaum sufi berpendapat bahwa Tuhan Yesus (Sayyidina Isa) adalah suatu bentuk sempurna dari orang suci yang berkontemplasi di antara para “Utusan Tuhan” (Rasul). Memberikan pipi kiri kepada orang yang menampar pipi kanan merupakan pembebasan rohani sebenarnya; ini merupakan suatu penarikan diri secara sukarela dari pengaruh aksi dan reaksi kosmik. Meskipun demikian adalah benar bahwa bagi para sufi, pribadi Kristus tidak terdiri dari perspektif yang sama sebagaimana diajarkan oleh orang-orang kristen. Meskipun banyak persamaan, cara sufi mempunyai perbedaan mencolok dari cara-cara rahib-rahib kristen.
Saripati ajaran sufi datang dari Nabi, tetapi karena tidak ada esoterisme tanpa inspirasi tertentu, maka ajaran itu terus di manifestasikan kembali melalui mulut para guru sufi. Pengajaran lisan dengan demikian sangat kuat, karena ia bersifat langsung dan pribadi dibandingkan dengan apa yang dapat dikumpulkan sedikit demi sedikit dari tulisan-tulisan, karena tulisan hanya memainkan peran sekunder persiapan, perlengkapan, atau suatu bantuan untuk membantu mengingat ajaran, dan karena alasan inilah kontinuitas sejarah ajaran sufi kadang-kadang luput dari penelitian para sarjana.
Inisiasi dalam sufisme terkandung dalam pemindahan pengaruh rohani (barakah) yang harus anugerahkan oleh seorang wakil dari suatu “rantai” (silsilah) yang sampai kepada Nabi. Dalam kebanyakan kasus, barakah itu dipindahkan oleh guru yang juga menjelaskan metode dan menganugerahkan sarana-sarana konsentrasi rohani yang sesuai dengan bakat murid. Kerangka umum metode tiu adalah hukum islam, walaupun disana selalu terdapat sufi-sufi yang diasingkan , karena alasan sifat keadaan perenungan mereka menyimpang dan tidak sesuai dengan ibadah biasa dalam islam.
Inisiasi pada umumnya mengambil bentuk perjanjian (bay’ah) diantara calom murid dengan pembimbing rohani (mursyid) yang mewakili Nabi. Perjanjian ini menunjukan penyerahan sempurna seorang murid kepasa gurunya dalam semua hal yang menyangkut kehidupan rohani dan tidak dapat dibatalakan secara sepihak atas kemauan murid.
Dalam hubungan ini harus dicatat bahwa, jika islam dapat tetap utuh dalam perjalanannya selama berabad-abad di tengah perubahan-perubahan psikologi dan etnis manusia diantara masyarakat islam, hal ini terjamin bukan karena watak yang cukup dinamis yang dimilikinya sebagai suatu bantuk kolektif, tetapi karena dalam inti ajarannya terkandung kemungkinan- kemungkinan untuk perenungan akal yang dapat mengatasi arus afektif jiwa manusia.
Adalah karakteristik Sufisme bahwa ekspresi-ekspresinya sering berpegang pada keseimbangan antara cinta dan pengetahuan. Bahasa cinta memungkinkannya untuk menegaskan kebenaran-kebenaran esoterispaling dalam tanpa masuk dalam konflik dengan ajaran telogi dogmatis. Akhirnya cinta itu secara simbolisberkaitan dengan keadaan pengatuhuan yang berada atas pokoran yang satu sama lain tidak bersambung..
Beberapa penulis sufi memberikan bukti tentang suatu sikap yang secara mendasar bersifat intelektual. Mereka melihat wujud tuhan sebagai hakikat universal dari seluruh pengetahuan. Sedangkan beberapa penulis sufi lain, mengekpresikan diri mereka dalam bahasa cinta, bagi mereka wujud Tuhan, pertama-tama adalah objek yang tak terbatas dari keinginan. Tetapi keanekaragaman sikap ini tidak berkaitan sama sekali dengan perbedaan apapun antara berbagai aliran sufismeyang berbeda, seperti sementara orang percaya bahwa para sufi yang mengunakan bahasa intelektual telah dipengaruhi oleh ajaran-ajaran yang asing bagi islam, seperti Neo-Platonisme, dan bahwa hanya mereka yang menampilkan sikap emisionallah yang menjadi muara mistisme sebenarnya yang timbul dari perspektif monoteisme.
Pada kenyataannya, keanekaragaman masalah timbul dari suatu berbedaan keahlian; berbagai keahlian yang berbeda secara cukup alamiah mencabangkan diri mereka kepadabermacam jenis kecerdasan manusia dan akhirnya mereka semua menemukan temoat dalam tasawwuf yang benar, berbeda antara sikap intelektual dan emosional merupakan hal terpenting dan paling umum dari berbagai perbedaan yang akan ditemukan dalam bidang ini.
Hal ini membawa kita kembali kepada pendapat bahwa hanya para sufi yang menyatakan sikap cinta, yang sebenarnya menampilkan aspek mitis agama islam. Dalam mendukung pandapat ini, beberapa keriteria salah dikenakan kepada sufisme, padahal kriteria ini hanya berlaku dalam hubungannya dengan agama kristen. Tema dasar kriteria ini adalah kasih tuhan, sehingga orang-orang yang menjadi corong mulut gnosis dalam kristen- walaupun ada kekecualian yang culup jarang – mengekspresikan diri mereka melalui simbolisme (cinta).
Bagian Kedua : Dasar- Dasar Ajaran
Ajaran islam sebagai suatu keseluruhan terkandung dalam tauhid, yaitu pengakuan terhadap keesaan Tuhan, bagi muslim awam, penegasan ini merupan poros yang jelas dan sederhana dari agama islam. Sedangakan bagi para perenung, tauhid adalah pintu yang terbuka untuk memahami dan masuk dalam realitas esensial. Semakin jauh pikiran para perenung menembus kesederhanaan rasional yang nampak dari keesaan tuhan, semakin akan menjadi kompleks kesederhanaan tersebut hingga mencapai titik dimana aspek-aspek yang berbeda tidak dapat lagi dirujukan dengan pikiran yang terpenggal-penggal saja. Meditasi atas perbedaan ini, dalam kenyataannya akan mengunakan indra pemikiran sampai pada batas-batas yang paling jauh. Dan, akal dalam hal ini terbuka bagi suatu sintesa yang terletak di atas seluruh konsepsi formal. Dengan kata lain , ini hanya intuisi tanpa bentuk yang dapat masuk dalam keesaan tuhan.
Hal in berlaku pada perumusan dasar islam ; kesaksian (syahadah) bahwa “tidak ada tuhan kecuali Allah” (la ilaha illallah). Dengan demikian dapat dikatakan “menentukan” keesaan tuhan. Rumusan ini harus diterjemahkan sepeti ditunjukan disini dan bukan seperti biasanya “tidak ada tuhan selain Allah”, karena rumusan ini dapat memelihara konsep tersebut dari pleonasme atau paradoks.
Menuru persaksian ini, Allah berbeda dengan segala sesuatu dan tidak ada sesuatu yang dapat diperbandingkan dengan-Nya. Karena diantara realitas-realitas yang dapat diperbandingkan harus terdapat kesamaan umum dalam sofat maupun persyaratan yang seimbang, sedangkan tuhan adalah transenden dalam kedua segi itu. Sekarang sesuatu yang sama sekali tak dapat dibandingkan itu menghendaki bahwa tidak ada sesuatu yang dapat di bandingkan dan mempunyai hubungan apa pun dengannya. Ini semua berpuncak padaungkapan bahwa tidak ada sesuatu yang ada dihadapan realitas Tuhan. Demikian bahwa dalam tuhan , segala sesuatu tidak ada artinya.”Allah ada dan tidak ada yang sesutu yang menyertai-Nya dan kini pun Ia ada sebagaimana Ia pernah ada.”(hadist Qudsi).
Guru –guru sufi menyebut keesaan Tuhan yang tidak dapat dibagi-bagi dengan istilah al-Ahadiyah, suatu istilah yang berasal dari kata ‘ahad’ yang merupakan kata benda yang berarti ‘satu’. Sedangkan bagi keesaan, sebagaimana ia muncul dalam aspek-aspek universalnya,mereka namakan dengan al-Wahidiyah,berasal dari kata ‘Wahid’ kata sifat yang berarti satu-satunya (unique). Istilah terakhir ini di dalam pembahasan diterjemahkan sebagai ‘keunikan’.
Selain dari segi keesaan tuhan, dalam dasar-dasar ajaran sufi juga merenungkan tentang penciptaan. Gagasan penciptaan pada umumnya mempunyai penmpilan bertentangan dengan kesatuan hakikat semua wujud, karena creatio ex nihilo kelihatannya menolak adanya kemungkinan –kemungkina pra-eksistensi dlam hakikat tuhan. Dan sebagai konsekuensinya ,menolak pula subsistensi wujud didalam hakikat-Nya. Padahal gagasan tentang perwujudan seperti diajarkan dalam agama hinduisme menghubungkan wujud nisbi kepada hakikat yang mutlak sebagai refleksi yang berkaitan dengan sumbernya yang terang.
Bagaimana pun, kedua konsepsi atau simbolisme ini mendekati satu sama salin, jika memandang bahwa arti metafisis ‘ketiadaan’(udum) daripada pencipta melukiskan benda-benda hanya dapat berupa ketiadaan dari bukan wujud (non-existence) ; yaitu dari bukan merupakan perwujudan atau keadaan awal. Karena kemungkinan –kemungkinan yang pada dasarnya terkandung dalam hakikat tuhan tidaklah berbeda didalam-Nya, sebelum mereka itu tersebar dalam suatubentuk-bentuk nisbi. Kemungkinan –kemungkinan itu juga tidak diwujudkan, karena eksistensi salalu menyatakan secara tak langsung kondisi pertama dan perbedaan sebenarnya antara ‘pengenal’ dan ‘yang dikenal’. Karena tindakan penciptaan dalam pengertian bahasa arab khalaqa –adalah sinonim dengan menempatkan setiap sesuatu pada ukurannya yang layak. Ini berubah ketika benda itu masuk kedalam tata aturan metafisis dan sesuai dengan ketentuan pertama dari kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam akal tuhan. Menurut arti kata khalq ‘penciptaan secara logis dapat digambarkan sebagai awal penciptaan eksistensi (ijad) dari kemungkinan-kemungkinan yang sama ini.
Dengan demikian asal-usul alam(cosmogony) dapat dirumuskan dalam cara ini: pertama, Tuhan meletakaan kemungkinan-kemungkinan yang mudah untuk diwujudkan dalam suatu keadaan serentak yang sempurna dan menentukan setiap ciptaan itu ‘kekuatan’ (qadar) nya untk berkembang dalam suatu bentuk nisbi,kemungkinan Dia membawa semua ciptaaan itu kedalam eksistensi dengan mengejawantahkan (dhahara) diri-Nya sendiri di dalam ciptaan-ciptaan tersebut. Dengan demikian , dalam kualitas sebagai pencipta (Khaliq) , Tuhan melakukan suatu pemilihan atas kemungkinan-kemungkinan untuk diwujudkan. Begitulah penciptaan tersebut muncul karena ia berkaitan dengan kedirian Tuhan (an-nafs) yang digambarkan secara analogi dengan kedirian manusia dan ditunjukan dengan sifat-sifat seperti ketentuan (al-Hukum) kehendak (al-Iradah) dan perbuatan (al- Fi’l). Kini bentuk antropomorfisme dari ekspresi-ekspersi ini hanyalah merupakan kiasan (isyarah) dan bukanlah perbatasan perspektif persolan tersebut.
Meskipun demikian, terdapat pula suatu perspektif metafisika yang lebih luas ,dan memperhitungkan setiap benda-benda dalam hubungannya dengan Tuhan yang maha sempurna. Dalam pengetahuan tuhan yang maha sempurna segala kemungkinan adalah apa-apa yang yang wujud secara abadi. Dan demikianlah pemilihan kemungkina-kemungkinan yang terwujud itu bersesuaian dengan sifat mereka sebenarnya,atau lebih tegas lagi dari suatu aspek yang melengkapi kemungkinan-kemungkinan tersebut, wujud Tuhan tersebut memanifestasikan diri-Nya sendiri sesuai dengan bentuk bentuk yang semua bentuk-bentuk yang mungkin, dan sama sekali tidak ada batasan bagi kemungkinan-kemungkinan Tuhan.
Dari seluruh sudut pandang yang berbeda ini, dunia pada hakikatanya merupakan perwujudan Tuhan bagi diri-Nya sendiri. Demikianlah hal itu dinyatakan dalam sabda suci nabi (hadist qudsi) yang mengembalikan gagasan penciptaan kepada gagasan pengetahuan, seperti dinyatakan “aku adalah harta benda yang tersembunyi ;aku ingin diketahui maka ak menciptakan dunia” dalam pengertian yang sama, kakum sufi membandingkan alam dengan suatu kombinasi kaca-kaca dimana hakikat Yang Maha Sempurna merenungi diri sendiri dalam bentuk-bentuk yang beragam atau yang mencerminkan diri dalam berbagai tingkat perwujudan wujud tunggal. Kaca-kaca in melambangkan kemungkinan-kemungkinan hakikat (Dzat) untuk menentukan dirinya sendiri. Memungkinkan apa yang dikandung-Nya dengan sifat kesempurnaan-Nya (kamal).
‘Kemungkinan-kemungkinan dasar’ atau ‘ Hakikat-hakikat abadi’ (al-a’yan ats-tsabitah) meskioun terkandung dalam hakikat tuhan yang tidak ada perbedaan, adalah juga , sejauh mereka tercermin dalam akal Universal, merupakan ‘ide-ide’ atau pola dasar yang diperbandingkan dengan Plato dalam cerita tamsilnya tentang gua, kepada objek-objek riil tempat para tahanan dalam gua tersebut hanya merasakan bayang –bayang.
Dalam pengertian ini-karena sufi mengambik teori pola dasar- maka mereka semua sebenarnya adalah Platonis ajaran pola dasar lebih lanjut, secara terpadu berkaitan dengan Kemahatahuan Tuhan. Alasan –alasan yang dikemukakan para filosof tertentu untuk menentang eksistensi ‘ide-ide’ kaum Platonis sepenuhnya gugur jika dipahami bahwa ‘ide-ide’ tersebut tidak mempunyai eksistensi, seperti yang nyatakan Ibnu A’rabi, atau dengan kata lain ide-ide itu bukanlah sifat dari substansi yang berbedadan hanya merupakam kemungkinan-kemungkinan yang inheren dalam akal Tuhan, dan pada dasarnya inheren dalam hakikat Tuhan. Lebih lanjut seluruh pembicaraan filosofis tentang hal-hal Universal berlangsung dari suatu kerancuan antaa pola-pola dasar dan refleksinya pada tingakaan rohani murni. Jelaslah bahwa bentuk-bentuk rohani, ide-ide umum hanyalah merupakan abstraksi murni. Tetapi untuk menetapkan hal ini , berarti tidak menyentuh pola dasar platonis atau ide-idenya, karena semuanya itu hanyalah disposisi-disposisi intelektual atau kemungkinan-kemungkinan yang diperkirakan dengan abtraksi-abstraksi yang tanpa abtraksi-abtraksi ini akan terjadi kekurangan secara menyeluruh tanpa kebenaran interistik.
Untuk menolak adanya hakikat abadi, sumber seluruh pengetahuan nisbi, akan berarti seperti menolak adanya ruang dengan dalih ia tidak mempunya bentuk spesial. Dalam kenyataannya ,pola-pola dasar semacam itu tidak pernah terwujutkan baik dalam dunia indrawi atau bidang rohani. Meskipun demikian , segala sesuatu yang ada dalam kedua bidang itu pada daarnya kembali kepada hakikat –hakikat abadi tadi. Jika kita mencoba menguasainya, maka hakikat –hakikat abadi itu daoat mengelakkan pandangan-pandangan khusus. Hakikat-hakikat abadi tersebut hanya dapat diketahuai dengan cara intuitif, baik melalui simbol-simbolnya maupun melalui identifikasi dengan hakikat Tuhan.
Bagian Ketiga : Kesadaran Rohani
Sufisme yanag berlaku ‘Operatif’, seperti juga setiap jalan perenungan – terlepas dari perbedaaannya yang pada berbagai jalan- mengandung tiga elemen dasar atau aspek pokok. Aspek-aspek pokok itu ialah; ajaran kebajikan rohani dan suatu seni memusatkan pikiran (konsentrasi) yang akan kita sebut memakai pernyataan beberapa sufi tertentu –sebagai al-Kimia rohani.
Pembauran kebenaran-kebenaran ajaran sangat diperlukan, tetapi pembauran itu sendiri tidak membawa perubahan terhadap jiwa,kecuali dalam kasusu-kasus yang benar-benar merupakan pengecualian yang jiwa begitu terencana baik untuk melakukan perenungan, sehingga sekilas ajaran saja tidak cukup untuk memasukan jiwa ke dalam perenungan. Hal ini seperti larutan yang tiba-tiba dapat berubah menjadi kristal walaupun dengan kejutan paling alus sekalipun. Dalan ajaran itu sendiri, akal sama sekali bersifat statis. Akal boleh jadi dapat melepaskan jiwa dari ketegangan –ketegangan tertentu, tetapi sebenarnya tidak dapat merubahnya tanpa persetujuan kemauan yang merupakan elemen dinamis dalam jalan sufi. Akal pun boleh jadi dapat secara mudah merubah intuisi dengan kebenaran –kebenaran metafisis. Perubahan itu pertama kali timbul dengan mempelajari ajaran. Intuisi itupun sedikit demi sedikit hilang dalam diriseseorang yang mengenggap bahwa ia memiliki kebenaran metafisis tersebut, dan ia pun kemudian hanya mengikuti kebenaran metafisis itu dalam pikirannya. Ini terjadi jika pikiran tidak mempunyai tempat untuk bermain dalam hubungannya dengan kebenaran-kebenaran tersebut.
Sesuai denga sifat khusus ‘jalan’- mempunyai banyak jalan , sesuai dengan banyaknya jiwa manusia- maka pemahaman ajaran dapat memainkan peran lebih besar atau bahkan mungkin malah menjadi kurang penting. Suatu keadaan belajar yang benar-benar ekstensif dalam masalah doktrin sufisme tidaklah dimaksudkan bahwa pemahaman haruslah dikembangkan kedalam jiwa bukan dalam segi-segi lahiriah. Bagi seorang yang ingin mencapai pengetahuan yang haq tentang Tuhan (ma’rifah), maka yang harus menjadi persoalan utama adalah bahwa ia haruslah sadar tentang kedalaman arti ibadah yang dilakukannya sebagai mana yang diperbolehkan intuisinya. Dalam bidang ini, suatu usaha yang semata-mata kualitatif dan upaya kemauan serampangan tidak akan dapat mencapai suatu hasil apapun. Karena pengetahuan Haq hanya dapat dicapai dengan cara-cara yang sama dengan sifat-sifat pengetahuan itu sendiri. Atas uraian tersebut perlu ditambahkan bahwa dalam praktek-praktek rohani selalu terdapat elemen-elemen yang tidak memberikan tumpuan berpijak kepada akal pikiran.
Adalah benar-benar bersifat intelektual ,orang-orang yang sejak pertama kali telah mengakui sifat nisbi semua pernyataan teoritis. Aspek intelektual jalan sufisme mencakup tudi tentang ajaran, dan ini dapat diperoleh tanpa intuisi. Jika kesalahan yang ketat selalu dapat dikeluarkan, maka pikiran- yang merupakan alat untuk mencari kebenaran dan sekaligus membatasi kebenaran tersebut – harus juga dikurangi dalam perenungan untuk penyatuan dengan Tuhan. Dalam keseluruhan sifat seorang sufi, pengetahuan pada hakikatnya merupakan suatu hal yang bersifat supra-individual karena ia adalah universal.
Rabu, 30 November 2011
MENGENAL AJARAN KAUM SUFI
23.16
No comments
0 komentar:
Posting Komentar