Penayangan bulan lalu

MENYATUKAN ISLAM DALAM PERBEDAAN

Sabtu, 13 Agustus 2011

Kebebasan Wanita

Jika mengikuti petunjuk Nabi saw. itu merupakan sesuatu yang dituntut dan keharusan dalam upaya meluruskan jalan hidup kita dalam semua aspeknya, dalam aspek keterlibatan wanita dalam kehidupan sosial lebih dituntut dan diharuskan lagi mengingat petunjuk Nabi saw. dalam bidang ini seolah-olah mengalami sedikit perubahan yang cukup mendasar, atau bahkan cukup parah. Penerapan konkret terhadap keterlibatan wanita pada zaman Nabi saw. merupakan sunnah yang pantas diikuti dan teladan indah yang patut ditiru. Ironisnya sunnah-sunnah yang sebetulnya patut ditiru dan contoh-contoh yang pantas diteladani dalam bentuk penerapan-penerapan baru, mengingat perkembangan dan pertumbuhan masyarakat serta karena dorongan dan arahan ajaran agama yang mulia, justru dalam penerapan konkretnya sekarang ini semakin lemah dan memudar, bahkan dapat dikatakan hampir sirna sama sekali. Sementara nash-nash yang bercerita tentang sunnah tersebut tinggal di dalam buku-buku agama sebagai goresan tinta belaka. Sinarnya --sebagaimana yang diinginkan oleh Pembuat syariat-- sudah tidak ada. Tanda-tandanya sudah terkikis atau tertutup di hadapan akal dan hati manusia karena kabut tebal dari penafsiran dan pendapat para tokoh serta ulama. Hal ini didukung oleh beberapa faktor, diantaranya sebagai berikut:

a. Sisa adat dan tradisi jahiliah, baik jahiliah bangsa Arab maupun jahiliah bangsa-bangsa lain yang masuk ke dalam Islam. Kemudian adat dan tradisi jahiliah yang sudah melekat di dalam otak, hati, dan perilaku mereka tetap terbawa sepanjang masa.

b. Munculnya aliran-aliran ekstremis dan sikap berlebihan di kalangan sebagian umat Islam, seperti sikap ekstrem mereka mengenai masalah mencegah keburukan terhadap godaan wanita. Saya telah menyediakan pasal khusus untuk menjelaskan sikap mereka yang berlebihan dalam menerapkan kaidah pencegahan atas keburukan (saddu dzari'ah) tersebut.25

c. Ijtihad-ijtihad yang salah atau marjuhah (kurang kuat) yang disampaikan oleh sebagian ulama salaf --dan sedikit sekali orang yang tidak pernah berbuat salah. Pengaruh ijtihad tersebut semakin besar dan dampaknya semakin jauh karena telah diwarisi secara turun-temurun selama berabad-abad akibat kejumudan dalam berpikir dan taklid buta. Semoga Allah SWT mencurahkan rahmatNya kepada Syekh Islam Ibnu Taimiyyah yang mengatakan: "Sesungguhnya tidak seorang pun dari para ulama, baik dari generasi pertama maupun yang berikutnya, kecuali mempunyai perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan yang tidak berlandaskan pada sunnah .... Ini adalah suatu masalah yang luas dan tidak ada tepinya. Namun demikian, hal itu tidak mengurangi martabatnya. Selain itu, kita tidak perlu mengikuti perkataan dan perbuatan mereka yang keliru tersebut. Sebab Allah SWT sudah berfirman: 'Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya).'"Mujahid, al-Hukum bin Utaibah, Malik, dan lainnya berkata: "Tidak seorang pun dari makhluk Allah ini kecuali ucapannya dapat dipegang dan dapat pula ditinggalkan kecuali Nabi saw."26 Semoga Allah SWT mencurahkan rahmat-Nya kepada asy-Syaukani yang mengatakan: "Fanatik (kepada seorang imam) dengan menjadikan setiap pendapat yang dia keluarkan dan ijtihad yang dia riwayatkan sebagai pegangan bagimu dan bagi semua hamba, maka jika kamu lakukan seperti itu, berarti kamu telah menjadikan imam itu sebagai pembuat syariat, bukan pelaksana. Atau sebagai pemberi tugas (mukallif), bukan sebagai orang yang diberi tugas (mukallaf)."27 Apapun kesalahan dan penyimpangannya, sungguh merupakan karunia dan rahmat Allah bagi kaum muslimin bahwa di tengah-tengah mereka masih terdapat orang-orang yang adil dan melaksanakan perintah Allah. Mengenai hal ini Rasulullah saw. bersabda:

"Senantiasa dari umatku terdapat suatu umat yang menegakkan agama Allah, tidak akan memberi mudharat kepada mereka orang yang mengecewakan mereka atau yang menentang mereka, sehingga perkara Allah (kiamat) datang, sedangkan mereka tetap dalam keadaan demikian." (HR Bukhari)28
"Ilmu (agama) ini diemban dalam setiap generasi khalaf (belakangan) oleh orang-orang adil yang menyingkirkan penyimpangan orang-orang yang berlebihan, pemalsuan orang-orang yang suka berbuat batil, dan pentakwilan orang-orang jahil." (HR al-Baihaqqi)29

"Sesungguhnya Allah mengutus kepada umat ini di permulaan setiap seratus tahun orang yang memperbarui agamanya." (HR Abu Daud)30

d. Penelitian sanad-sanad hadits oleh Bukhari dan orang-orang yang setelahnya terjadi setelah imam yang empat membangun mahzab fiqih mereka. Oleh karena itu, para ulama mengatakan tentang keharusan mengoreksi pendapat para imam dengan hadits yang sahih. Akan tetapi, sebagian besar pengikut mereka tidak mengoreksinya dengan timbangan tersebut. Mereka telah melanggar wasiat para imam dan menyalahi ketentuan hadits.

Imam asy-Syafi'i telah berkata dengan jelas: "Diriwayatkan sebuah hadits yang isinya bahwa kaum wanita dibiarkan menghadiri dua hari raya. Kalau hal ini benar, aku pasti mengatakannya." Mengomentari ucapan asy-Syafi'i ini, al-Baihaqqi berkata: "Hal itu benar. Hadits itu diriwayatkan oleh kedua orang syekh hadits --yaitu hadits Ummu Athiyyah-- lalu asy-Syafi'i mengatakannya."31 Hadits Ummu Athiyyah tersebut berbunyi sebagai berikut: "Kami diperintahkan supaya keluar (pada hari raya), hingga kami mengeluarkan wanita haid, gadis belia, dan gadis-gadis pingitan. Adapun wanita haid, hadir bersama jamaah muslimin dan mengikuti khotbah mereka, tetapi mereka agak menjauh dari mushalla (tempat shalat)." (HR Bukhari dan Muslim)32

Hal-hal yang membuat saya semakin bersemangat untuk melanjutkan pekerjaan ini adalah sabda Rasulullah saw. yang berbunyi:

"Semoga Allah memberikan cahaya bagi orang yang mendengarkan ucapanku, lalu menyampaikannya. Boleh jadi pengemban fiqih bukan ahli fiqih dan boleh jadi seorang membawa fiqih kepada orang yang lebih ahli daripadanya." (HR Ibnu Majah)33
Dari penulisan buku ini saya berharap telah menyampaikan ucapan Rasulullah saw. kepada para ahli fiqih dan orang-orang yang lebih ahli dalam bidang ini. Selain itu, saya berharap semoga Allah memasukkan saya ke dalam kelompok orang-orang yang diberi kabar gembira sebagaimana dalam hadits tersebut.

Jika kita lihat orang-orang saleh dahulu kala, mereka mengembara berhari-hari dan bermalam-malam untuk memperoleh sebuah hadits. Contohnya dapat kita lihat dalam kisah Jabir bin Abdullah --salah seorang sahabat-- yang melakukan perjalanan selama satu bulan ke tempat Abdullah bin Anis untuk mendapatkan sebuah hadits.34 Juga dalam kisah Amir asy-Sya'bi --salah seorang tabi'in-- yang berkata kepada seseorang dari Kabilah Khurasan setelah mengajarkan kepadanya satu hadits Rasulullah saw.: "Kami memberikannya padamu tanpa apa-apa, padahal dia sudah berkendaraan ke Madinah untuk mendapatkannya."35 Contoh lain adalah perkataan Bisir bin Ubaidillah: "Aku berkendaraan dari kota ke kota untuk mendapatkan sebuah hadits."36

Saya mengharapkan cucuran rahmat Allah, semoga Dia memberikan kemudahan bagi kaum muslimin dalam membaca dan memahami hadits-hadits yang terdapat dalam buku ini karena hadits-hadits tersebut besar sekali manfaatnya dalam kehidupan mereka.

D. HASIL-HASIL KAJIAN

1. Karakteristik Wanita

Wanita Muslimah pada zaman Nabi saw. memahami karakteristiknya sebagaimana yang telah digariskan oleh agama Islam yang murni sehingga dia melalui berbagai bidang kehidupannya dengan dasar pemahaman tersebut.
Karakteristik wanita tersimpul dalam sabda Rasulullah saw. yang menetapkan dasar-dasar persamaan antara laki-laki dan wanita dengan sedikit kekhususan dalam beberapa bidang. Sabda Rasulullah saw. yang dimaksud adalah: "Sebenarnya wanita itu adalah saudara kandung laki-laki." (HR Abu Daud)37
Hadits yang mengatakan bahwa wanita itu "kurang akal dan agama" adalah hadits sahih yang dipahami dan diterapkan secara keliru oleh banyak orang, sehingga mereka menghapus karakteristik wanita yang telah digariskan oleh Allah SWT dalam Kitab-Nya dan diterangkan oleh Rasulullah saw. dalam Sunnahnya.
2. Pakaian dan Perhiasan

Membuka wajah sudah umum dilakukan pada zaman Nabi saw. Kondisi seperti ini merupakan kondisi awalnya. Adapun memakai cadar, sehingga yang terlihat hanya kedua bola mata, merupakan salah satu tradisi atau mode/cara berdandan yang menjadi trend pada sebagian wanita sebelum dan sesudah kedatangan Islam.
Berdandan secara wajar pada muka, kedua telapak tangan, dan pakaian diperbolehkan agama dalam batas-batas yang pantas dilakukan oleh seorang wanita mukminat.
Tidak pernah diwajibkan mengikuti satu mode tertentu dalam berpakaian. Yang diwajibkan adalah menutupi badan. Tidaklah berdosa mengikuti beberapa mode sesuai dengan kondisi cuaca dan lingkungan sosial.
Kriteria-kriteria di atas membantu wanita untuk lebih bebas bergerak dan memudahkannya dalam mengikuti kegiatan sosial.
3. Keterlibatan Wanita dalam Kehidupan Sosial

Sudah tetap/jelas bahwa menetap di rumah dan memakai hijab merupakan kekhususan untuk istri-istri Nabi saw. sebagaimana juga sudah tetap/jelas bahwa sahabat-sahabat wanita (shahabiyat) yang mulia tidak mengikuti perbuatan istri-istri Rasulullah saw. tersebut.
Wanita ikut dalam kehidupan sosial dan seringkali bertemu dengan kaum laki-laki dalam semua bidang kehidupan, baik yang bersifat umum maupun khusus, guna memenuhi tuntutan dan kebutuhan hidup yang serius dan untuk memberi kemudahan bagi semua orang mukmin, baik laki-laki maupun wanita.
Keterlibatan ini tidak ada syaratnya selain beberapa tuntunan dan aturan yang mulia dan sifatnya memelihara, bukan menghambat.
Wanita terlibat dalam bidang sosial, politik, dan profesi sesuai dengan kondisi serta kebutuhan hidup pada masa kerasulan. Dalam bidang sosial misalnya, wanita muslimah terlibat dalam beberapa bidang seperti kebudayaan, pendidikan, jasa/pelayanan sosial, dan hiburan yang bersih. Dalam bidang politik, wanita muslimah memiliki keyakinan yang berbeda dengan keyakinan masyarakat dan pihak penguasa. Wanita muslimah menghadapi tekanan dan siksaan, kemudian dia berhijrah untuk membela dan menyelamatkan keyakinannya itu. Di samping itu, wanita muslimah mempunyai perhatian dan rasa peduli terhadap urusan masyarakat umum, mengemukakan pendapat dalam berbagai isu politik, dan kadang-kadang bersikap oposisi dalam bidang politik. Sementara dalam bidang profesi, wanita ikut terlibat dalam bidang pertanian, peternakan, kerajinan tangan, administrasi, perawatan, pengobatan, kebersihan, dan pelayanan rumah tangga. Kegiatan tersebut membantu wanita mewujudkan dua hal. Pertama, mewujudkan kehidupan yang layak bagi diri dan keluarganya dalam keadaan suaminya sudah tiada, lemah, atau miskin. Kedua, mencapai kehidupan yang lebih mulia dan terhormat, sebab dengan hasil usahanya itu dia mampu bersedekah di jalan Allah.
Mengingat semakin seriusnya kondisi sosial pada masa kita sekarang yang menuntut semakin ditingkatkannya partisipasi wanita dalam bidang sosial, politik, dan profesi, maka kaidah-kaidah dan aturan-aturan yang telah digariskan syariat haruslah menjadi pengatur kondisi tersebut sampai akhir zaman.

Di antara hasil dari keterlibatan dalam kehidupan sosial tersebut adalah timbulnya kesadaran wanita, semakin matangnya cara berpikir, dan mampunya wanita melaksanakan berbagai kegiatan yang bermanfaat.

4. Keluarga

a. Menegaskan bahwa wanita berhak memilih suami dan berhak meminta cerai jika dia memang tidak menyukai suaminya, walaupun dia tidak dirugikan oleh suaminya dengan syarat dia mengembalikan apa yang dia ambil dari suaminya dengan ketetapan dari suami atau hakim setelah dibuktikan bahwa dia benar-benar sudah tidak menyukai suaminya.

b. Berbagai tanggung jawab pasangan suami istri dan melakukan kerjasama yang baik demi sempurnanya pelaksanaan tanggung jawab tersebut.

c. Hak suami istri sama. Allah SWT berfirman:

"... Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya ..." (al-Baqarah: 228)
Derajat atau tingkatan yang dimaksud adalah kepemimpinan suami dalam rumah tangganya atau kelebihan mengalahnya suaminya dari beberapa hak yang harus dia peroleh. Di antara hak-hak tersebut adalah hak dicintai, hak disayangi dan dikasihani, hak berdandan dan menikmati hubungan seksual, serta hak untuk bersama-sama dalam kesibukan dan kesusahan seperti yang dialami oleh setiap pihak.

d. Syariat telah menentukan syarat-syarat dan peraturan-peraturan mengenai perceraian dan poligami. Keadaan sebuah keluarga muslim tidak akan berjalan benar kalau salah satu syarat dan peraturan tersebut timpang. Karena itu tidak ada salahnya jika pada masa sekarang ini ditetapkan suatu aturan yang menjamin dipenuhinya semua syarat dan peraturan.

e. Peranan wanita/istri dalam keluarga merupakan tugas utama dan pertama. Tapi hal ini tidak menafikan bahwa wanita juga mempunyai kewajiban-kewajiban lain di tengah masyarakat. Tumbuhnya kesadaran bermasyarakat dan adanya kerjasama yang erat antara suami dan istri merupakan dua faktor yang sangat penting untuk mengkoordinasikan tugas pertama wanita dengan tugas-tugasnya lain yang dibutuhkan demi kemaslahatan masyarakat muslim sehingga dalam masyarakat terwujud perkembangan dan kemajuan.

5. Bidang Seksual

Seks merupakan bagian dari kesenangan di dunia dan di akhirat. Seks itu halal dan baik. Seseorang dapat memperoleh pahala karena melakukan aktivitas seksual yang sesuai dengan batas-batas yang digariskan oleh agama. Kita perlu meluruskan persepsi kita mengenai masalah ini karena telah dikaburkan oleh pemikiran sufi yang menyimpang dan dilatarbelakangi oleh paham kerahiban (rahbaniyyah) kalangan Kristen serta sebagian agama Timur Kuno.
Rasulullah saw. bersama para sahabatnya berjalan mengikuti jalur yang menuju arah terwujudnya pendidikan seks yang benar dan pengetahuan seks yang bersih. Hal ini menghasilkan mental yang sehat di kalangan laki-laki dan wanita. Perlu kita lenyapkan tembok raksasa yang selama ini menghambat dan menutupi segala sesuatu yang ada kaitannya dengan seks.
Rasulullah saw. adalah contoh manusia yang sempurna, baik dalam kondisi beristri satu atau pun dalam keadaan berpoligami, baik dari segi sifat zuhud dan kesederhanaannya ataupun dari segi kesempurnaannya dalam bergaul dan berhubungan dengan para istri beliau. Kemudian setelah membetulkan persepsi kita mengenai seks secara umum, kita perlu pula membetulkan persepsi kita mengenai sikap Rasulullah saw. terhadap seks.
Mempermudah proses perkawinan semenjak usia dini merupakan salah satu ciri masyarakat Islam. Alangkah banyak bentuk kemudahan yang telah digariskan Sunnah dalam masalah ini. Dengan penuh tekad dan semangat kita harus membuka jalan kemudahan bagi proses perkawinan pada masa sekarang sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh Yang Maha Pencipta. Dia tentu lebih tahu mengenai ciptaan-Nya. Setiap tindakan yang sifatnya mempersulit, hanya akan membuat orang semakin jauh dari menaati Allah sehingga semakin dekat pada perbuatan yang tidak terpuji, baik yang terlihat maupun yang terselubung, bahkan mungkin terjebak ke dalamnya. Na'udzabillahi min dzalik!
Setelah kita uraikan secara ringkas hasil-hasil kajian ini, penulis ingin menekankan bahwa kita masih dituntut untuk melakukan sejumlah kajian ilmiah jika kita benar-benar ingin mengulang sajarah keikutsertaan dan dinamika wanita serta membina kembali masyarakat kita di atas fondasi yang kokoh. Penulis mengusulkan agar kajian tersebut mencakup lima bidang:

Nash-nash yang bersumber dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw., tetapi dengan catatan bahwa kajian tersebut harus meliputi seluruh kitab Sunnah.
Warisan budaya Islam, yaitu dengan mengumpulkan pendapat-pendapat dan ijtihad-ijtihad para ulama serta penerapannya secara konkret selama berabad-abad, sehingga kita betul-betul memahami sejauh mana pengaruh sejarah yang panjang ini dalam pemikiran dan realita kehidupan kita.
Tulisan-tulisan para cendekiawan muslim modern dengan cara menganalisis semua tulisan mereka dengan segala orientasinya agar kita sampai pada suatu kesimpulan yang bermanfaat dari teori-teori dan ijtihad-ijtihad modern.
Penerapan-penerapan yang sedang berlaku di tengah masyarakat sekarang ini, misalnya dengan melakukan kajian ilmiah lapangan dan statistik terhadap masalah-masalah ini sebaik mungkin sehingga kita dapat melakukan evaluasi yang benar, rinci, dan bukan berdasarkan pada perkiraan-perkiraan semata.
Penelitian-penelitian Barat modern yang berkaitan dengan wanita dalam bidang ilmu jiwa, pendidikan, pengetahuan mengenai seks, kegiatan profesi, sosial, dan politik dengan memberikan perhatian khusus terhadap studi lapangan dan statistika untuk dapat mengetahui keadaan yang sebenarnya, sehingga kita betul-betul mampu menentukan mana yang patut diambil dan mana yang harus ditinggalkan dari pengalaman-pengalaman yang telah dilalui oleh suatu bangsa --setelah menimbangnya dengan timbangan agama. Kita tidak boleh berpegang pada dugaan-dugaan semata, baik dari kaum modernis ataupun konservatif.

SIRAH NABI MUHAMMAD SAW



Muhammad adalah keturunan Nabi Ismail -nabi dengan 12 putra yang menjadi cikal bakal bangsa Arab. Para nenek moyang Muhammad adalah penjaga Baitullah sekaligus pemimpin masyarakat di Mekah, tempat yang menjadi tujuan bangsa Arab dari berbagai penjuru untuk berziarah setahun sekali. Tradisi ziarah yang sekarang, di masa Islam, menjadi ibadah haji. Salah seorang yang menonjol adalah Qusay yang hidup sekitar abad kelima Masehi.
Tugas Qusay sebagai penjaga ka'bah adalah memegang kunci ('hijabah'), mengangkat panglima perang dengan memberikan bendera simbol yang dipegangnya ('liwa'), menerima tamu ('wifadah') serta menyediakan minum bagi para peziarah ('siqayah').
Ketika lanjut usia, Qusay menyerahkan mandat terhormat itu pada pada anak tertuanya, Abdud-Dar. Namun anak keduanya, Abdul Manaf, lebih disegani warga. Anak Abdul Manaf adalah Muthalib, serta si kembar siam Hasyim dan Abdu Syam yang harus dipisah dengan pisau. Darah tumpah saat pemisahan mereka, diyakini orang Arab sebagai pertanda keturunan mereka bakal berseteru.
Anak-anak Abdul Manaf mencoba merebut hak menjaga Baitullah dari anak-anak Abdud-Dar yang kurang berwibawa di masyarakat. Pertikaian senjata nyaris terjadi. Kompromi disepakati. Separuh hak, yakni menerima tamu dan menyediakan minum, diberikan pada anak-anak Abdul Manaf. Hasyim yang dipercaya memegang amanat tersebut.
Anak Abdu Syam, Umayah, mencoba merebut mandat itu. Hakim memutuskan bahwa hak tersebut tetap pada Hasyim. Umayah, sesuai perjanjian, dipaksa meninggalkan Makkah. Keturunan Umayah -seperti Abu Sofyan maupun Muawiyah- kelak memang bermusuhan dengan keturunan Hasyim.
Hasyim lalu menikahi Salma binti Amr dari Bani Khazraj -perempuan sangat terhormat di Yatsrib atau Madinah. Mereka berputra Syaibah (yang berarti uban) yang di masa tuanya dikenal sebagai Abdul Muthalib -kakek Muhammad. Inilah ikatan kuat Muhammad dengan Madinah, kota yang dipilihnya sebagai tempat hijrah saat dimusuhi warga Mekah. Syaibah tinggal di Madinah sampai Muthalib -yang menggantikan Hasyim karena wafat-menjemputnya untuk dibawa ke Mekah. Warga Mekah sempat menyangka Syaibah sebagai budak Muthalib, maka ia dipanggil dengan sebutan Abdul Muthalib.
Abdul Muthalib mewarisi kehormatan menjaga Baitullah dan memimpin masyarakatnya. Namanya semakin menjulang setelah ia dan anaknya, Harits, berhasil menggali dan menemukan kembali sumur Zamzam yang telah lama hilang. Namun ia juga sempat berbuat fatal: berjanji akan mengorbankan (menyembelih) seorang anaknya bila ia dikaruniai 10 anak. Begitu mempunyai 10 anak, maka ia hendak melaksanakan janjinya. Nama sepuluh anaknya dia undi ('kidah') di depan arca Hubal. Abdullah -ayah Muhammad-yang terpilih.
Masyarakat menentang rencana Abdul Muthalib. Mereka menyarankannya agar menghubungi perempuan ahli nujum. Ahli nujum tersebut mengatakan bahwa pengorbanan itu boleh diganti dengan unta asalkan nama unta dan Abdullah diundi. Mula-mula sepuluh unta yang dipertaruhkan. Namun tetap Abdullah yang terpilih oleh undian. Jumlah unta terus ditambah sepuluh demi sepuluh. Baru setelah seratus unta, untalah yang keluar dalam undian, meskipun itu diulang tiga kali. Abdullah selamat.
Peristiwa besar yang terjadi di masa Abdul Muthalib adalah rencana penghancuran Ka'bah. Seorang panglima perang Kerajaan Habsyi (kini Ethiopia) yang beragama Nasrani, Abrahah, mengangkat diri sebagai Gubernur Yaman setelah ia menghancurkan Kerajaan Yahudi di wilayah itu. Ia terganggu dengan reputasi Mekah yang menjadi tempat ziarah orang-orang Arab. Ia membangun Ka'bah baru dan megah di Yaman, serta akan menghancurkan Ka'bah di Mekah. Abrahah mengerahkan pasukan gajahnya untuk menyerbu Mekah.
Mendekati Mekah, Abrahah menugasi pembantunya -Hunata-untuk menemui Abdul Muthalib. Hunata dan Abdul Muthalib menemui Abrahah yang berjanji tak akan mengganggu warga bila mereka dibiarkan menghancurkan Baitullah. Abdul Muthalib pasrah. Menjelang penghancuran Ka'bah terjadilah petaka tersebut. Qur'an menyebut peristiwa yang menewaskan Abrahah dan pasukannya dalam Surat Al-Fil. "Dan Dia mengirimkan kepada mereka "Toiron Ababil", yang melempari mereka dengan batu-batu cadas yang terbakar, maka Dia jadikan mereka bagai daun dimakan ulat".
Pendapat umum menyebut "Toiron Ababil" sebagai "Burung Ababil" atau "Burung yang berbondong-bondong". Buku "Sejarah Hidup Muhammad" yang ditulis Muhammad Husain Haekal mengemukakannya sebagai wabah kuman cacar (mungkin maksudnya wabah Sampar atau Anthrax -penyakit serupa yang menewaskan sepertiga warga Eropa dan Timur Tengah di abad 14). Namun ada pula analisa yang menyebut pada tahun-tahun itu memang terjadi hujan meteor -hujan batu panas yang berjatuhan atau 'terbang' dari langit. Wallahua'lam. Yang pasti masa tersebut dikenal sebagai Tahun Gajah yang juga merupakan tahun kelahiran Muhammad.
Pada masa itu, Abdullah putra Abdul Muthalib telah menikahi Aminah. Ia kemudian pergi berbisnis ke Syria. Dalam perjalanan pulang, Abdullah jatuh sakit dan meninggal di Madinah. Muhammad lahir setelah ayahnya meninggal. Hari kelahirannya dipertentangkan orang. Namun, pendapat Ibn Ishaq dan kawan-kawan yang paling banyak diyakini masyarakat: yakni bahwa Muhammad dilahirkan pada 12 Rabiul Awal. Orientalis Caussin de Perceval dalam 'Essai sur L'Histoire des Arabes' yang dikutip Haekal menyebut masa kelahiran Muhammad adalah Agustus 570 Masehi. Ia dilahirkan di rumah kakeknya -tempat yang kini tak jauh dari Masjidil Haram.
Bayi itu dibawa Abdul Muthalib ke depan Ka'bah dan diberi nama Muhammad yang berarti "terpuji". Suatu nama yang tak lazim pada masa itu. Konon, Abdul Muthalib sempat hendak memberi nama bayi itu Qustam -serupa nama anaknya yang telah meninggal. Namun Aminah -berdasarkan ilham-mengusulkan nama Muhammad itu.
www.Pesantren.net

Ilmu Hikmah



Allah berfirman tentang hikmah ini, "Allah menganugerahkan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan, barang siapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak." (Al-Baqarah: 269).
"Dan, telah menurunkan kitab dan hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kapadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan, adalah karunia Allah sangat besar atasmu. (An-Nisaa': 113).

Allah berfirman tentang Isa a.s., "Dan, Allah akan mengajarkan kepadanya al-kitab, hikmah, dan Taurat dan Injil." (Ali Imran: 48).

Hikmah di dalam Alquran ada dua macam: yang disebutkan sendirian dan yang disusuli dengan penyebutan al-kitab. Yang disebutkan sendirian ditafsiri nubuwah, tetapi ada pula yang menafsiri ilmu Alquran.

Menurut Ibnu Abbas r.a., hikmah adalah ilmu tentang Alquran, yang nasikh dan mansukh, yang pasti maknanya dan tersamar, yang diturunkan lebih dahulu dan yang diturunkan lebih akhir, yang halal dan yang haram, dan lain sebagainya.

Menurut Adh-Dhahak, hikmah adalah Alquran dan pemahaman kandungannya. Menurut Mujahid, hikmah adalah Alquran, ilmu, dan pemahaman. Dalam riwayat lain darinya, hikmah adalah ketetapan dalam perkataan dan perbuatan.

Menurut An-Nakhai, hikmah artinya makna segala sesuatu dan pemahamannya. Menurut Al-Hasan, hikmah adalah wara' dalam agama Allah.

Adapun hikmah yang disusuli dengan penyebutan al-kitab ialah petunjuk amal, akhlak, dan keadaan. Begitulah yang dikatakan Asy-Syafii dan imam-imam yang lain. Ada pula yang berpendapat bahwa hikmah artinya ketetapan berdasarkan wahyu.

Pendapat yang paling tepat tentang makna hikmah ini seperti yang dikatakan Mujahid dan Malik, yaitu pengetahuan tentang kebenaran dan pengamalannya, ketepatan dalam perkataan dan perbuatan. Yang demikian ini tidak bisa dilakukan kecuali dengan memahami Alquran, mendalami syariat-syariat Islam serta hakikat iman.

Hikmah ada dua macam, yaitu yang bersifat ilmu dan yang bersifat amal. Yang bersifat ilmu ialah mengetahui kandungan-kandungan segala sesuatu, mengetahui kaitan sebab dan akibat, penciptaan dan perintah, takdir dan syariat. Adapun yang bersifat amal ialah seperti yang dikatakan pengarang Manazilus Sa'irin, yaitu meletakkan sesuatu pada tempat yang semestinya.

Sumber: Madaarijus Saalikiin baina Manaazili Iyyaaka Na'budu wa Iyyaaka Nasta'iin, Syekh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah

Jumat, 12 Agustus 2011

UMAR BIN KHATTAB




Seorang pemuda yang gagah perkasa berjalan dengan langkah yang mantap mencari Nabi hendak membunuhnya. Ia sangat membenci Nabi, dan agama baru yang dibawanya. Di tengah perjalanan ia bertemu dengan seseorang yang bernama Naim bin Abdullah yang menanyakan tujuan perjalanannya tersebut. Kemudian diceritakannya niatnya itu. Dengan mengejek, Naim mengatakan agar ia lebih baik memperbaiki urusan rumah tangganya sendiri terlebih dahulu. Seketika itu juga pemuda itu kembali ke rumah dan mendapatkan ipar lelakinya sedang asyik membaca kitab suci Al-Qur'an. Langsung sang ipar dipukul dengan ganas, pukulan yang tidak membuat ipar maupun adiknya meninggalkan agama Islam. Pendirian adik perempuannya yang teguh itu akhirnya justru menentramkan hatinya dan malahan ia memintanya membaca kembali baris-baris Al-Qur'an. Permintaan tersebut dipenuhi dengan senang hati. Kandungan arti dan alunan ayat-ayat Kitabullah ternyata membuat si pemuda itu begitu terpesonanya, sehingga ia bergegas ke rumah Nabi dan langsung memeluk agama Islam. Begitulah pemuda yang bernama Umar bin Khattab, yang sebelum masuk Islam dikenal sebagai musuh Islam yang berbahaya. Dengan rahmat dan hidayah Allah, Islam telah bertambah kekuatannya dengan masuknya seorang pemuda yang gagah perkasa. Ketiga bersaudara itu begitu gembiranya, sehingga mereka secara spontan mengumandangkan "Allahu Akbar" (Allah Maha Besar). Gaungnya bergema di pegunungan di sekitarnya.
Umar masuk agama Islam pada usia 27 tahun. Beliau dilahirkan di Makkah, 40 tahun sebelum hijrah. Silsilahnya berkaitan dengan garis keturunan Nabi pada generasi ke delapan. Moyangnya memegang jabatan duta besar dan leluhurnya adalah pedagang. Ia salah satu dari 17 orang Makkah yang terpelajar ketika kenabian dianugerahkan kepada Muhammad SAW.
Dengan masuknya Umar ke dalam agama Islam, kekuatan kaum Muslimin makin bertambah tangguh. Ia kemudian menjadi penasehat utama Abu Bakar selama masa pemerintahan dua setengah tahun. Ketika Abu Bakar mangkat, ia dipilih menjadi khalifah Islam yang kedua, jabatan yang diembannya dengan sangat hebat selama sepuluh setengah tahun. Ia meninggal pada tahun 644 M, dibunuh selagi menjadi imam sembahyang di masjid Nabi. Pembunuhnya bernama Feroz alias Abu Lu'lu, seorang Majusi yang tidak puas.
Ajaran-ajaran Nabi telah mengubah suku-suku bangsa Arab yang suka berperang menjadi bangsa yang bersatu, dan merupakan suatu revolusi terbesar dalam sejarah manusia. Dalam masa tidak sampai 30 tahun, orang-orang Arab yang suka berkelana telah menjadi tuan sebuah kerajaan terbesar di waktu itu. Prajurit-prajuritnya melanda tiga benua terkenal di dunia, dan dua kerajaan besar Caesar (Romawi) dan Chesroes (Parsi) bertekuk lutut di hadapan pasukan Islam yang perkasa. Nabi telah meninggalkan sekelompok orang yang tidak mementingkan diri, yang telah mengabdikan dirinya kepada satu tujuan, yakni berbakti kepada agama yang baru itu. Salah seorang di antaranya adalah Umar al-Faruq, seorang tokoh besar, di masa perang maupun di waktu damai. Tidak banyak tokoh dalam sejarah manusia yang telah menunjukkan kepintaran dan kebaikan hati yang melebihi Umar, baik sebagai pemimpin tentara di medan perang, maupun dalam mengemban tugas-tugas terhadap rakyat serta dalam hak ketaatan kepada keadilan. Kehebatannya terlihat juga dalam mengkonsolidasikan negeri-negeri yang telah di taklukkan.
Islam sempat dituduh menyebarluaskan dirinya melalui ujung pedang. Tapi riset sejarah modern yang dilakukan kemudian membuktikan bahwa perang yang dilakukan orang Muslim selama kekhalifahan Khulafaurrosyidin adalah untuk mempertahankan diri.
Sejarawan Inggris, Sir William Muir, melalui bukunya yang termasyur, Rise, Decline and Fall of the Caliphate, mencatat bahwa setelah penaklukan Mesopotamia, seorang jenderal Arab bernama Zaid memohon izin Khalifah Umar untuk mengejar tentara Parsi yang melarikan diri ke Khurasan. Keinginan jenderalnya itu ditolak Umar dengan berkata, "Saya ingin agar antara Mesopotamia dan negara-negara di sekitar pegunungan-pegunungan menjadi semacam batas penyekat, sehingga orang-orang Parsi tidak akan mungkin menyerang kita. Demikian pula kita, kita tidak bisa menyerang mereka. Dataran Irak sudah memenuhi keinginan kita. Saya lebih menyukai keselamatan bangsaku dari pada ribuan barang rampasan dan melebarkan wilayah penaklukkan. Muir mengomentarinya demikian: "Pemikiran melakukan misi yang meliputi seluruh dunia masih merupakan suatu embrio, kewajiban untuk memaksakan agama Islam melalui peperangan belum lagi timbul dalam pikiran orang Muslimin."
Umar adalah ahli strategi militer yang besar. Ia mengeluarkan perintah operasi militer secara mendetail. Pernah ketika mengadakan operasi militer untuk menghadapi kejahatan orang-orang Parsi, beliau yang merancang kopmposisi pasukan Muslim, dan mengeluarkan perintah dengan detailnya. Saat beliau menerima khabar hasil pertempurannya beliau ingin segera menyampaikan berita gembira atas kemenangan tentara kaum Muslimin kepada penduduk, lalu Khalifah Umar berpidato di hadapan penduduk Madinah: "Saudara-saudaraku! Aku bukanlah rajamu yang ingin menjadikan Anda budak. Aku adalah hamba Allah dan pengabdi hamba-Nya. Kepadaku telah dipercayakan tanggung jawab yang berat untuk menjalankan pemerintahan khilafah. Adalah tugasku membuat Anda senang dalam segala hal, dan akan menjadi hari nahas bagiku jika timbul keinginan barang sekalipun agar Anda melayaniku. Aku berhasrat mendidik Anda bukan melalui perintah-perintah, tetapi melalui perbuatan."
Pada tahun 634 M, pernah terjadi pertempuran dahsyat antara pasukan Islam dan Romawi di dataran Yarmuk. Pihak Romawi mengerahkan 300.000 tentaranya, sedangkan tentara Muslimin hanya 46.000 orang. Walaupun tidak terlatih dan berperlengkapan buruk, pasukan Muslimin yang bertempur dengan gagah berani akhirnya berhasil mengalahkan tentara Romawi. Sekitar 100.000 orang serdadu Romawi tewas sedangkan di pihak Muslimin tidak lebih dari 3000 orang yang tewas dalam pertempuran itu. Ketika Caesar diberitakan dengan kekalahan di pihaknya, dengan sedih ia berteriak: "Selamat tinggal Syria," dan dia mundur ke Konstantinopel.
Beberapa prajurit yang melarikan diri dari medan pertempuran Yarmuk, mencari perlindungan di antara dinding-dinding benteng kota Yerusalem. Kota dijaga oleh garnisun tentara yang kuat dan mereka mampu bertahan cukup lama. Akhirnya uskup agung Yerusalem mengajak berdamai, tapi menolak menyerah kecuali langsung kepada Khalifah sendiri. Umar mengabulkan permohonan itu, menempuh perjalanan di Jabia tanpa pengawalan dan arak-arakan kebesaran, kecuali ditemani seorang pembantunya. Ketika Umar tiba di hadapan uskup agung dan para pembantunya, Khalifah menuntun untanya yang ditunggangi pembantunya. Para pendeta Kristen lalu sangat kagum dengan sikap rendah hati Khalifah Islam dan penghargaannya pada persamaan martabat antara sesama manusia. Uskup agung dalam kesempatan itu menyerahkan kunci kota suci kepada Khalifah dan kemudian mereka bersama-sama memasuki kota. Ketika ditawari bersembahyang di gereja Kebaktian, Umar menolaknya dengan mengatakan: "Kalau saya berbuat demikian, kaum Muslimin di masa depan akan melanggar perjanjian ini dengan alasan mengikuti contoh saya." Syarat-syarat perdamaian yang adil ditawarkan kepada orang Kristen. Sedangkan kepada orang-orang Yahudi, yang membantu orang Muslimin, hak milik mereka dikembalikan tanpa harus membayar pajak apa pun.
Penaklukan Syria sudah selesai. Seorang sejarawan terkenal mengatakan: "Syria telah tunduk pada tongkat kekuasaan Khalifah, 700 tahun setelah Pompey menurunkan tahta raja terakhir Macedonia. Setelah kekalahannya yang terakhir, orang Romawi mengaku takluk, walaupun mereka masih terus menyerang daerah-daerah Muslimin. Orang Romawi membangun sebuah rintangan yang tidak bisa dilalui, antara daerahnya dan daerah orang Muslim. Mereka juga mengubah sisa tanah luas miliknya di perbatasan Asia menjadi sebuah padang pasir. Semua kota di jalur itu dihancurkan, benteng-benteng dibongkar, dan penduduk dipaksa pindah ke wilayah yang lebih utara. Demikianlah keadaannya apa yang dianggap sebagai perbuatan orang Arab Muslim yang biadab sesungguhnya hasil kebiadaban Byzantium." Namun kebijaksanaan bumi hangus yang sembrono itu ternyata tidak dapat menghalangi gelombang maju pasukan Muslimin. Dipimpin Ayaz yang menjadi panglima, tentara Muslim melewati Tarsus, dan maju sampai ke pantai Laut Hitam.
Menurut sejarawan terkenal, Baladhuri, tentara Islam seharusnya telah mencapai Dataran Debal di Sind. Tapi, kata Thabari, Khalifah menghalangi tentaranya maju lebih ke timur dari Mekran.
Suatu penelitian pernah dilakukan untuk menunjukkan faktor-faktor yang menentukan kemenangan besar operasai militer Muslimin yang diraih dalam waktu yang begitu singkat. Kita ketahui, selama pemerintahan khalifah yang kedua, orang Islam memerintah daerah yang sangat luas. Termasuk di dalamnya Syria, Mesir, Irak, Parsi, Khuzistan, Armenia, Azerbaijan, Kirman, Khurasan, Mekran, dan sebagian Baluchistan. Pernah sekelompok orang Arab yang bersenjata tidak lengkap dan tidak terlatih berhasil menggulingkan dua kerajaan yang paling kuat di dunia. Apa yang memotivasikan mereka? Ternyata, ajaran Nabi SAW. telah menanamkan semangat baru kepada pengikut agama baru itu. Mereka merasa berjuang hanya demi Allah semata. Kebijaksanaan khalifah Islam kedua dalam memilih para jenderalnya dan syarat-syarat yang lunak yang ditawarkan kepada bangsa-bangsa yang ditaklukan telah membantu terciptanya serangkaian kemenangan bagi kaum Muslimin yang dicapai dalam waktu sangat singkat.
Bila diteliti kitab sejarah Thabari, dapat diketahui bahwa Umar al-Faruq, kendati berada ribuan mil dari medan perang, berhasil menuntun pasukannya dan mengawasi gerakan pasukan musuh. Suatu kelebihan anugerah Allah yang luar biasa. Dalam menaklukan musuhnya, khalifah banyak menekankan pada segi moral, dengan menawarkan syarat-syarat yang lunak, dan memberikan mereka segala macam hak yang bahkan dalam abad modern ini tidak pernah ditawarkan kepada suatu bangsa yang kalah perang. Hal ini sangat membantu memenangkan simpati rakyat, dan itu pada akhirnya membuka jalan bagi konsolidasi administrasi secara efisien. Ia melarang keras tentaranya membunuh orang yang lemah dan menodai kuil serta tempat ibadah lainnya. Sekali suatu perjanjian ditandatangani, ia harus ditaati, yang tersurat maupun yang tersirat.
Berbeda dengan tindakan penindasan dan kebuasan yang dilakukan Alexander, Caesar, Atilla, Ghengiz Khan, dan Hulagu. Penaklukan model Umar bersifat badani dan rohani.
Ketika Alexander menaklukan Sur, sebuah kota di Syria, dia memerintahkan para jenderalnya melakukan pembunuhan massal, dan menggantung seribu warga negara terhormat pada dinding kota. Demikian pula ketika dia menaklukan Astakher, sebuah kota di Parsi, dia memerintahkan memenggal kepala semua laki-laki. Raja lalim seperti Ghengiz Khan, Atilla dan Hulagu bahkan lebih ganas lagi. Tetapi imperium mereka yang luas itu hancur berkeping-keping begitu sang raja meninggal. Sedangkan penaklukan oleh khalifah Islam kedua berbeda sifatnya. Kebijaksanaannya yang arif, dan administrasi yang efisien, membantu mengonsolidasikan kerajaannya sedemikian rupa. Sehingga sampai masa kini pun, setelah melewati lebih dari 1.400 tahun, negara-negara yang ditaklukannya masih berada di tangan orang Muslim. Umar al-Faruk sesungguhnya penakluk terbesar yang pernah dihasilkan sejarah.
Sifat mulia kaum Muslimin umumnya dan Khalifah khususnya, telah memperkuat kepercayaan kaum non Muslim pada janji-janji yang diberikan oleh pihak Muslimin. Suatu ketika, Hurmuz, pemimpin Parsi yang menjadi musuh bebuyutan kaum Muslimin, tertawan di medan perang dan di bawa menghadap Khalifah di Madinah. Ia sadar kepalanya pasti akan dipenggal karena dosanya sebagai pembunuh sekian banyak orang kaum Muslimin. Dia tampaknya merencanakan sesuatu, dan meminta segelas air. Permohonannya dipenuhi, tapi anehnya ia tidak mau minum air yang dihidangkan. Dia rupanya merasa akan dibunuh selagi mereguk minuman, Khalifah meyakinkannya, dia tidak akan dibunuh kecuali jika Hurmuz meminum air tadi. Hurmuz yang cerdik seketika itu juga membuang air itu. Ia lalu berkata, karena dia mendapatkan jaminan dari Khalifah, dia tidak akan minum air itu lagi. Khalifah memegang janjinya. Hurmuz yang terkesan dengan kejujuran Khalifah, akhirnya masuk Islam.
Khalifah Umar pernah berkata, "Kata-kata seorang Muslim biasa sama beratnya dengan ucapan komandannya atau khalifahnya." Demokrasi sejati seperti ini diajarkan dan dilaksanakan selama kekhalifahan ar-rosyidin hampir tidak ada persamaannya dalam sejarah umat manusia. Islam sebagai agama yang demokratis, seperti digariskan Al-Qur'an, dengan tegas meletakkan dasar kehidupan demokrasi dalam kehidupan Muslimin, dan dengan demikian setiap masalah kenegaraan harus dilaksanakan melalui konsultasi dan perundingan. Nabi SAW. sendiri tidak pernah mengambil keputusan penting tanpa melakukan konsultasi. Pohon demokrasi dalam Islam yang ditanam Nabi dan dipelihara oleh Abu Bakar mencapai puncaknya pada jaman Khalifah Umar. Semasa pemerintahan Umar telah dibentuk dua badan penasehat. Badan penasehat yang satu merupakan sidang umum yang diundang bersidang bila negara menghadapi bahaya. Sedang yang satu lagi adalah badan khusus yang terdiri dari orang-orang yang integritasnya tidak diragukan untuk diajak membicarakan hal rutin dan penting. Bahkan masalah pengangkatan dan pemecatan pegawai sipil serta lainnya dapat dibawa ke badan khusus ini, dan keputusannya dipatuhi.
Umar hidup seperti orang biasa dan setiap orang bebas menanyakan tindakan-tindakannya. Suatu ketika ia berkata: "Aku tidak berkuasa apa pun terhadap Baitul Mal (harta umum) selain sebagai petugas penjaga milik yatim piatu. Jika aku kaya, aku mengambil uang sedikit sebagai pemenuh kebutuhan sehari-hari. Saudara-saudaraku sekalian! Aku abdi kalian, kalian harus mengawasi dan menanyakan segala tindakanku. Salah satu hal yang harus diingat, uang rakyat tidak boleh dihambur-hamburkan. Aku harus bekerja di atas prinsip kesejahteraan dan kemakmuran rakyat."
Suatu kali dalam sebuah rapat umum, seseorang berteriak: "O, Umar, takutlah kepada Tuhan." Para hadirin bermaksud membungkam orang itu, tapi Khalifah mencegahnya sambil berkata: "Jika sikap jujur seperti itu tidak ditunjukan oleh rakyat, rakyat menjadi tidak ada artinya. Jika kita tidak mendengarkannya, kita akan seperti mereka." Suatu kebebasan menyampaikan pendapat telah dipraktekan dengan baik.
Ketika berpidato suatu kali di hadapan para gubernur, Khalifah berkata: "Ingatlah, saya mengangkat Anda bukan untuk memerintah rakyat, tapi agar Anda melayani mereka. Anda harus memberi contoh dengan tindakan yang baik sehingga rakyat dapat meneladani Anda."
Pada saat pengangkatannya, seorang gubernur harus menandatangani pernyataan yang mensyaratkan bahwa "Dia harus mengenakan pakaian sederhana, makan roti yang kasar, dan setiap orang yang ingin mengadukan suatu hal bebas menghadapnya setiap saat." Menurut pengarang buku Futuhul-Buldan, di masa itu dibuat sebuah daftar barang bergerak dan tidak bergerak begitu pegawai tinggi yang terpilih diangkat. Daftar itu akan diteliti pada setiap waktu tertentu, dan penguasa tersebut harus mempertanggung-jawabkan terhadap setiap hartanya yang bertambah dengan sangat mencolok. Pada saat musim haji setiap tahunnya, semua pegawai tinggi harus melapor kepada Khalifah. Menurut penulis buku Kitab ul-Kharaj, setiap orang berhak mengadukan kesalahan pejabat negara, yang tertinggi sekalipun, dan pengaduan itu harus dilayani. Bila terbukti bersalah, pejabat tersebut mendapat ganjaran hukuman.
Muhammad bin Muslamah Ansari, seorang yang dikenal berintegritas tinggi, diangkat sebagai penyelidik keliling. Dia mengunjungi berbagai negara dan meneliti pengaduan masyarakat. Sekali waktu, Khalifah menerima pengaduan bahwa Sa'ad bin Abi Waqqash, gubernur Kufah, telah membangun sebuah istana. Seketika itu juga Umar memutus Muhammad Ansari untuk menyaksikan adanya bagian istana yang ternyata menghambat jalan masuk kepemukiman sebagian penduduk Kufah. Bagian istana yang merugikan kepentingan umum itu kemudian dibongkar. Kasus pengaduan lainnya menyebabkan Sa'ad dipecat dari jabatannya.
Seorang sejarawan Eropa menulis dalam The Encyclopedia of Islam: "Peranan Umar sangatlah besar. Pengaturan warganya yang non-Muslim, pembentukan lembaga yang mendaftar orang-orang yang mendapat hak untuk pensiun tentara (divan), pengadaan pusat-pusat militer (amsar) yang dikemudian hari berkembang menjadi kota-kota besar Islam, pembentukan kantor kadi (qazi), semuanya adalah hasil karyanya. Demikian pula seperangkat peraturan, seperti sembahyang tarawih di bulan Ramadhan, keharusan naik haji, hukuman bagi pemabuk, dan hukuman pelemparan dengan batu bagi orang yang berzina."
Khalifah menaruh perhatian yang sangat besar dalam usaha perbaikan keuangan negara, dengan menempatkannya pada kedudukan yang sehat. Ia membentuk "Diwan" (departemen keuangan) yang dipercayakan menjalankan administrasi pendapatan negara.
Pendapatan persemakmuran berasal dari sumber :
1. Zakat atau pajak yang dikenakan secara bertahap terhadap Muslim yang berharta.
2. Kharaj atau pajak bumi
3. Jizyah atau pajak perseorangan. Dua pajak yang disebut terakhir, yang membuat Islam banyak dicerca oleh sejarawan Barat, sebenarnya pernah berlaku di kerajaan Romawi dan Sasanid (Parsi). Pajak yang dikenakan pada orang non Muslim jauh lebih kecil jumlahnya dari pada yang dibebankan pada kaum Muslimin.
Khalifah menetapkan pajak bumi menurut jenis penggunaan tanah yang terkena. Ia menetapkan 4 dirham untuk satu Jarib gandum. Sejumlah 2 dirham dikenakan untuk luas tanah yang sama tapi ditanami gersb (gandum pembuat ragi). Padang rumput dan tanah yang tidak ditanami tidak dipungut pajak. Menurut sumber-sumber sejarah yang dapat dipercaya, pendapatan pajak tahunan di Irak berjumlah 860 juta dirham. Jumlah itu tak pernah terlampaui pada masa setelah wafatnya Umar.
Ia memperkenalkan reform (penataan) yang luas di lapangan pertanian, hal yang bahkan tidak terdapat di negara-negara berkebudayaan tinggi di zaman modern ini. Salah satu dari reform itu ialah penghapusan zamindari (tuan tanah), sehingga pada gilirannya terhapus pula beban buruk yang mencekik petani penggarap. Ketika orang Romawi menaklukkan Syria dan Mesir, mereka menyita tanah petani dan membagi-bagikannya kepada anggota tentara, kaum ningrat, gereja, dan anggota keluarga kerajaan.
Sejarawan Perancis mencatat: "Kebijaksanaan liberal orang Arab dalam menentukan pajak dan mengadakan land reform sangat banyak pengaruhnya terhadap berbagai kemenangan mereka di bidang kemiliteran."
Ia membentuk departemen kesejahteraan rakyat, yang mengawasi pekerjaan pembangunan dan melanjutkan rencana-rencana. Sejarawan terkenal Allamah Maqrizi mengatakan, di Mesir saja lebih dari 20.000 pekerja terus-menerus dipekerjakan sepanjang tahun. Sejumlah kanal di bangun di Khuzistan dan Ahwaz selama masa itu. Sebuah kanal bernama "Nahr Amiril Mukminin," yang menghubungkan Sungai Nil dengan Laut Merah, dibangun untuk menjamin pengangkutan padi secara cepat dari Mesir ke Tanah Suci.
Selama masa pemerintahan Umar diadakan pemisahan antara kekuasaan pengadilan dan kekuasaan eksekutif. Von Hamer mengatakan, "Dahulu hakim diangkat dan sekarang pun masih diangkat. Hakim ush-Shara ialah penguasa yang ditetapkan berdasarkan undang-undang, karena undang-undang menguasai seluruh keputusan pengadilan, dan para gubernur dikuasakan menjalankan keputusan itu. Dengan demikian dengan usianya yang masih sangat muda, Islam telah mengumandangkan dalam kata dan perbuatan, pemisahan antara kekuasaan pengadilan dan kekuasaan eksekutif." Pemisahan seperti itu belum lagi dicapai oleh negara-negara paling maju, sekalipun di zaman modern ini.
Umar sangat tegas dalam penegakan hukum yang tidak memihak dan tidak pandang bulu. Suatu ketika anaknya sendiri yang bernama Abu Syahma, dilaporkan terbiasa meminum khamar. Khalifah memanggilnya menghadap dan ia sendiri yang mendera anak itu sampai meninggal. Cemeti yang dipakai menghukum Abu Syahma ditancapkan di atas kuburan anak itu.
Kebesaran Khalifah Umar juga terlihat dalam perlakuannya yang simpatik terhadap warganya yang non Muslim. Ia mengembalikan tanah-tanah yang dirampas oleh pemerintahan jahiliyah kepada yang berhak yang sebagian besar non Muslim. Ia berdamai dengan orang Kristen Elia yang menyerah. Syarat-syarat perdamaiannya ialah: "Inilah perdamaian yang ditawarkan Umar, hamba Allah, kepada penduduk Elia. Orang-orang non Muslim diizinkan tinggal di gereja-gereja dan rumah-rumah ibadah tidak boleh dihancurkan. Mereka bebas sepenuhnya menjalankan ibadahnya dan tidak dianiaya dengan cara apa pun." Menurut Imam Syafi'i ketika Khalifah mengetahui seorang Muslim membunuh seorang Kristen, ia mengijinkan ahli waris almarhum menuntut balas. Akibatnya, si pembunuh dihukum penggal kepala.
Khalifah Umar juga mengajak orang non Muslim berkonsultasi tentang sejumlah masalah kenegaraan. Menurut pengarang Kitab al-Kharaj, dalam wasiatnya yang terakhir Umar memerintahkan kaum Muslimin menepati sejumlah jaminan yang pernah diberikan kepada non Muslim, melindungi harta dan jiwanya, dengan taruhan jiwa sekalipun. Umar bahkan memaafkan penghianatan mereka, yang dalam sebuah pemerintahan beradab di zaman sekarang pun tidak akan mentolerirnya. Orang Kristen dan Yahudi di Hems bahkan sampai berdoa agar orang Muslimin kembali ke negeri mereka. Khalifah memang membebankan jizyah, yaitu pajak perlindungan bagi kaum non Muslim, tapi pajak itu tidak dikenakan bagi orang non Muslim, yang bergabung dengan tentara Muslimin.
Khalifah sangat memperhatikan rakyatnya, sehingga pada suatu ketika secara diam-diam ia turun berkeliling di malam hari untuk menyaksikan langsung keadaan rakyatnya. Pada suatu malam, ketika sedang berkeliling di luar kota Madinah, di sebuah rumah dilihatnya seorang wanita sedang memasak sesuatu, sedang dua anak perempuan duduk di sampingnya berteriak-teriak minta makan. Perempuan itu, ketika menjawab Khalifah, menjelaskan bahwa anak-anaknya lapar, sedangkan di ceret yang ia jerang tidak ada apa-apa selain air dan beberapa buah batu. Itulah caranya ia menenangkan anak-anaknya agar mereka percaya bahwa makanan sedang disiapkan. Tanpa menunjukan identitasnya, Khalifah bergegas kembali ke Madinah yang berjarak tiga mil. Ia kembali dengan memikul sekarung terigu, memasakkannya sendiri, dan baru merasa puas setelah melihat anak-anak yang malang itu sudah merasa kenyang. Keesokan harinya, ia berkunjung kembali, dan sambil meminta maaf kepada wanita itu ia meninggalkan sejumlah uang sebagai sedekah kepadanya.
Khalifah yang agung itu hidup dengan cara yang sangat sederhana. Tingkat kehidupannya tidak lebih tinggi dari kehidupan orang biasa. Suatu ketika Gubernur Kufah mengunjunginya sewaktu ia sedang makan. Sang gubernur menyaksikan makanannya terdiri dari roti gersh dan minyak zaitun, dan berkata, "Amirul mukminin, terdapat cukup di kerajaan Anda; mengapa Anda tidak makan roti dari gandum?" Dengan agak tersinggung dan nada murung, Khalifah bertanya, "Apakah Anda pikir setiap orang di kerajaanku yang begitu luas bisa mendapatkan gandum?" "Tidak," Jawab gubernur. "Lalu, bagaimana aku dapat makan roti dari gandum? Kecuali bila itu bisa dengan mudah didapat oleh seluruh rakyatku." Tambah Umar.
Dalam kesempatan lain Umar berpidato di hadapan suatu pertemuan. Katanya, "Saudara-saudara, apabila aku menyeleweng, apa yang akan kalian lakukan?" Seorang laki-laki bangkit dan berkata, "Anda akan kami pancung." Umar berkata lagi untuk mengujinya, "Beranikah anda mengeluarkan kata-kata yang tidak sopan seperti itu kepadaku?" "Ya, berani!" jawab laki-laki tadi. Umar sangat gembira dengan keberanian orang itu dan berkata, "Alhamdulillah, masih ada orang yang seberani itu di negeri kita ini, sehingga bila aku menyeleweng mereka akan memperbaikiku."
Seorang filosof dan penyair Muslim tenar dari India menulis nukilan seperti berikut untuk dia:
Jis se jigar-i-lala me thandak ho who shabnam Daryaan ke dil jis se dabel jaen who toofan
Seperti embun yang mendinginkan hati bunga lily, dan bagaikan topan yang menggelagakkan dalamnya sungai.
Sejarawan Kristen Mesir, Jurji Zaidan terhadap prestasi Umar berkomentar:
"Pada zamannya, berbagai negara ia taklukkan, barang rampasan kian menumpuk, harta kekayaan raja-raja Parsi dan Romawi mengalir dengan derasnya di hadapan tentaranya, namun dia sendiri menunjukkan kemampuan menahan nafsu serakah, sehingga kesederhanaannya tidak pernah ada yang mampu menandingi. Dia berpidato di hadapan rakyatnya dengan pakaian bertambalkan kulit hewan. Dia mempraktekkan satunya kata dengan perbuatan. Dia mengawasi para gubernur dan jenderalnya dengan cermat dan dengan cermat pula menyelidiki perbuatan mereka. Bahkan Khalid bin Walid yang perkasa pun tidak terkecuali. Dia berlaku adil kepada semua orang, dan bahkan juga bagi orang non-Muslim. Selama masa pemerintahannya, disiplin baja diterapkan secara utuh."
Referensi : SERATUS MUSLIM TERKEMUKA, Jamil Ahmad

Arti Berfikir Logis dan Argumentatif


Oleh; Hamid Fahmy Zarkasy

Dalam tradisi intelektual Islam manusia didefinisikan sebagai hewan yang berfikir (hayawan natiq). Berfikir logis dan argumentatif merupakan prasyarat dalam pencarian ilmu pengetahuan. Artinya dalam mencari ilmu pengetahuan sesorang harus mengikuti aturan befikir atau hukum-hukum berfikir yang terrangkum dalam ilmu yang disebut logika (mantiq) atau qiyas.

Secara etymologis logika berasal dari kata logos yang mempunyai dua arti 1) pemikiran 2) kata-kata. Jadi logika adalah ilmu yang mengkaji pemikiran. Karena pemikiran selalu diekspresikan dalam kata-kata, maka logika juga berkaitan dengan “kata sebagai ekspresi dari pemikiran”. Sementara itu qiyas berarti ukuran. Jika dikatikan dengan pemikiran maka qiyas berarti ukuran kebenaran berfikir. Namun secara definitif logika berarti “ilmu tentang hukum yang menentukan validitas berfikir”. Untuk mengetahui lebih jauh bagaimana hukum befikir yang valid, akan dijelaskan  difinisi logika tersebut.

Logika sebagai Ilmu Normatif
Ilmu atau sains adalah pengetahuan; tapi perlu dipahami bahwa semua sains adalah pengertahuan, dan semua pengetahuan tidak berarti sains. Seseorang bisa tahu nama-nama berbagai anggota tubuh manusia, tapi pengetahuannya itu tidak mesti ilmiyah (saintifik). Anda mungkin tahu tentang tumbuh-tumbuhan dan benda-benda di angkasa, tapi pengetahuan anda mungkin tidak saintifik. Sains, oleh karena itu tidak semata-mata pengetahuan, tapi pengetahuan yang sistimatis, akurat dan lengkap tentang sesuatu subyek. Pengetahuan yang tidak sistimatis tidak dapat disebut sains, seperti juga batu-bata yang terhampar dan tidak tersusun tidak dapat disebut bangunan. Jadi sains atau ilmu adalah pengetahuan tentang suatu subyek yang bersifat metodologis, eksak dan lengkap.

Dalam kaitannya dengan metodologi, Ilmu dibagi sedikitnya menjadi dua  1) ilmu Alam (natural sciences) dan 2) ilmu normatif (normative sciences). Yang pertama membahas tentang sesuatu sebagaimana adanya (things as thay are), sedangkan yang kedua membahas tentang bagaimana seharusnya sesuatu itu (things they should be). Logika termasuk kedalam kategori yang kedua, yaitu ilmu atau sains normatif, karena ia mengkaji pemikiran, tidak sebagaimana adanya, tapi bagaimana seharusnya.

Selain logika, terdapat ilmu normatif lainnya seperti estetika dan etika. Dalam hal ini Islam sebagai din dan pandangan hidup memiliki asas bagi berkembangnya ilmu alam, ilmu normatif, estetika dan etika.



Kaidah berfikir dan validitasnya
Karena logika merupakan ilmu normatif, maka ia memiliki kaidah befikir yang bersifat normatif, artinya logika meletakkan kaidah-kaidah atau standar bagaimana seharusnya kita berfikir. Ia tidak menjelaskan tentang bagaimana kita berfikir (karena ini menjadi topic pembahasan ilmu psikologi), tapi bagaimana seharusnya kita berfikir. Kaidah-kaidah berfikir menyerupai kaidah etika dan estetika karena semuanya bersifat normatif.

Kaidah-kaidah berfikir dalam logika diamksudkan untuk menentukan apakah suatu pemikiran itu disebut valid atau tidak, artinya benar atau tidak menurut kaidah logika. Valid atau benar menurut kaidah logika terdapat dua makna:

Pertama  tidak kontradiktif (self-contradictory) atau bebas dari sifat kontradiktif. Ini dalam logika disebut validitas formal (formal validity). Seperti misalnya mengatakan segitiga berbentuk empat persegi panjang. Segi empat berbentuk bulat. Contoh befikir yang kontradiktif adalah sbb:

Manusia adalah makhluk yang akan mati
Mahasiswa adalah manusia
Maka mahasiswa tidak akan mati

Argumentasi diatas salah karena kesimpulannya bertentangan (kontradiktif) dengan pernyataan (premis) sebelumnya. Seharusnya kesimpulannya maka mahasiswa akan mati. 

Kedua,  sesuai dengan ralitas yang sebenarnya (agree with actual reality). Ini disebut validitas material (material validity).  Seperti misalnya:
Manusia adalah meja
Buku adalah manusia
Maka manusia adalah meja

Argumentasi diatas tidak kontradiktif, karena kesimpulannya merupakan hasil dari dua pernyataan (premis) sebelumnya, tapi argument ini tidak valid. Mengapa? Karena apa yang dinyatakan dalam argumentasi tersebut tidak sesuai dengan realitas yang sebenarnya.

Dari kedua macam validitas diatas maka logika dibagi menjadi dua macam 1) Logika Deduktif 2) Logika Induktif. Logika Deduktif hanya melihat validitas formal suatu pemikiran atau argumentasi, maka dari itu seringkali disebut dengan Logika Formal (formal logic). Logika Induktif menekankan pada validitas material suatu pemikiran, maka dari itu disebut juga sebagai Logika Material.

Dalam logika deduktif masalah yang diangkat adalah apakah suatu pemikiran konsisten? Sedangkan dalam Logika Induktif pertanyaan yang dimunculkan adalah apakah suatu pemikiran itu konsisten dengan realitas yang ada? Yang pertama melihat bentuk (form) pemikirannya, sedangkan yang kedua meninjau substansi pemikirannya. Maka dari itu agar suatu argumentasi dihukumi sebagai valid maka ia harus memiliki validitas formal dan juga material, artinya tidak kontradiktif dan harus konsisten dengan realitas aktual.

Maka dari itu jika kita mendengar suatu pernyataan atau argumentasi, kita harus menguji argumentasi tersebut dari dua sisi, pertama apakah argumentasi itu secara logis tidak kontradiktif dan kedua apakah argumentasi itu secara substantif sesuai dengan realitas.


Elemen Pemikiran
Jika kita cermati secara seksama, maka suatu pemikiran terdiri dari dari 3 elemen penting, yaitu 1) konsep (concept, tasawwur), 2) penyimpulan (judgment, tasdiq), dan 3) penalaran (reasoning, nazar).

1)      Konsep (concept) artinya ide yang umum. Ketika kita menyatakan bahwa “manusia akan mati”, kita berbicara tentang konsep “manusia” dan konsep “mati” secara umum, bukan manusia tertentu atau kematian tertentu. Seperti juga kalau kita menyebut kata “pesantren”, “sekolah”, “adil”, “aqidah dsb. Jadi, perkataan manusia, negara, pesantren, pendidikan, universitas, buku, kuda, dsb, adalah konsep-konsep sejauh mereka itu merujuk kepada makna suatu obyek secara umum. Konsep ini dalam ilmu logika disebut terma (term)
2)      Penyimpulan (judgment) adalah kombinasi dari dua konsep. Ketika kita membandingkan atau menggabungkan dua konsep, sehingga kemudian menunjukkan makna baru, maka kita telah memperoleh apa yang disebut penyimpulan. Seperti misalnya “pesantren itu bukan sekolah”, adalah penyimpulan dari perbandingan konsep “pesantren” dengan konsep “sekolah”, atau “manusia adalah makhluk sosial” adalah penyimpulan dari kombinasi konsep manusia dan konsep makhluk sosial. Jadi penyimpulan (judgment) terdiri dari dua konsep dan dalam logika penympulan disebut proposisi atau premis.
3)      Penalaran (reasoning) adalah suatu proses deduksi yang ditarik dari dua penyimpulan atau lebih. Jika kita mengatakan “Semua orang Jawa adalah orang Indonesia, maka tidak ada orang Jawa yang bukan orang Indonesia”, maka kita telah melakukan penalaran (reasoning). Karena hanya terdiri dari dua proposisi maka ini disebut deduksi langsung (immediate inference). Akan tetapi jika penalaran itu kita lakukan dengan meletakkan dua proposisi, maka disebut deduksi tidak langsung ( a mediate inference atau syllogism). Seperti misalnya
Manusia akan hewan berfikir
Mahasiswa adalah manusia
Maka, mahasiswa adalah hewan berfikir

Jadi dalam penalaran kita menggabungkan satu atau lebih proposisi atau premis dengan proposisi yang lain untuk mencapai kesimpulan (conclusion). Ini dalam logika disebut dengan argumentasi.

  Dari uraian diatas jelaslah bahwa yang disebut pemikiran itu berasal dari konsep yang digabungkan dengan konsep-konsep lain sehingga membentuk proposisi dan dari gabungan proposisi itulah kita memperoleh pengetahuan baru.



Menguji suatu argumentasi
Jika kita menemukan suatu pemikiran maka yang pertama-tama kita uji adalah konsepnya. Apakah konsep dalam suatu argumentasi itu jelas dan dapat kita terima atau masih menjadi masalah yang diperdebatkan. Jika pun konsep itu jelas yang tidak lagi diperdebatkan, kita harus juga menguji apakah dalam perspektif lain (secara sosiologis, secara politis, secara Islam dsb) konsep itu dapat diterima.

Jika konsep-konsep yang kita temukan itu tidak ada masalah, maka selanjutnya kita harus mengujinya apakah gabungan konsep dengan konsep yang lain dalam argumentasi itu dapat diterima dan tidak menimbulkan kerancuan. Konsep Islam, misalnya sudah jelas, tapi ketika digabungkan dengan konsep liberal dan menjadi “Islam liberal”, maka terjadi kerancuan. Sebab Islam berarti berserah diri, sementara liberal artinya bebas, maknanya kontradiktif. Seperti juga gabungan konsep kafir dan saleh, menjadi “seorang kafir yang saleh”, juga “kolonialis yang humanis”, “perampok yang  moralis” dsb.

Jika gabungan konsep-konsep suatu argumentasi tidak perlu dipermasalahkan, maka kita perlu mengujinya apakah kesimpulannya sesuai dengan premis-premis yang diberikan sebelumnya. Disini pengetahuan kita tentang logika formal sangat diperlukan.


Kesimpulan
Dari uraian singkat diatas, maka jelaslah bahwa befikir logis artinya berfikir sesuai dengan kaidah-laidah ilmu logika. Dan berfikir argumentatif adalah berfikir dengan menggunakan argumentasi yang valid seperti yang diatur dalam ilmu logika tersebut.








Kamis, 11 Agustus 2011

Tadarus Al-Qur'an

Kaum muslimin rahimakumullah,

Allah SWT berfirman:
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).  (QS. Al Baqarah: 185). 

Dalam Tafsir Jalalain diterangkan bahwa Al Quran turun dari Lauhul Mahfuzh ke langit dunia (Baitul Izzah) pada malam kemuliaan (Lailatul Qadar), dimana Al Quran berfungsi sebagai petunjuk dari kesesatan bagi manusia dan sebagai ayat-ayat yang jelas bagi hukum-hukum yang memberikan petunjuk kepada kebenaran.  Juga sebagai pembeda antara haq dan batil.  Menurut Ibnu Abdis Salam, Al Quran sebagai penjelasan segala perkara halal dan haram serta sebagai pembeda antara haq dan batil.

Kaum muslimin rahimakumullah, 

Al Baihaqi dalam kitab Syu’abul Iman Juz 5/262 menyatakan bahwa berdasarkan ayat di atas dikatakan bulan Ramadhan adalah bulan Al Quran (syahrul Quran) dimana umat Islam dianjurkan memperbanyak membaca Al Quran. Diriwayatkan bahwa Ibnu Mas’ud mengkhatamkan Al Quran di bulan Ramadhan tiap 3 hari sekali. Diriwayatkan bahwa al Bukhary biasa pada awal malam bulan Ramadhan berkumpul dan sholat bersama para sahabatnya. Beliau membaca di setiap raka’at 20 ayat hingga mengkhatamkan al Quran. Dan beliau pada sepertiga malam terakhir membaca sepertiga hingga setengah Al Quran sehingga pada bacaan malam tersebut beliau mengkhatamkan Al Quran tiap tiga malam sekali. Sedangkan di siang hari beliau mengkhatamkan Al Quran setiap hari. Dan beliau mengkhatamkan Al Quran pada saat buka shaum setiap malam. Dan beliau mengatakan bahwa di setiap khatam Al Quran ada doa yang mustajab.

Oleh karena itu, hendaknya kaum muslimin hari ini membiasakan diri dan memperbanyak membaca Al Quran di setiap ada kesempatan di bulan Ramadhan hingga khatam beberapa kali.  Bacalah Al Quran apa saja yang paling mudah darinya, sebagaimana firman Allah SWT:“Bacalah apa yang mudah dari al Quran” (QS. Al Muzammil: 20).

Kaum muslimin rahimakumullah,

Mengingat tingkat pemahaman kaum muslimin hari ini tentang Al Quran sangat jauh dibandingkan dengan para sahabat dan ulama terdahulu, maka target dalam membaca Al Quran bagi kaum muslimin hari ini, tidak sekedar membaca saja. Lebih dari itu, kalau tiap-tiap muslim juga mengkhatamkan bacaan terjemah atau tafsir Al Quran di bulan Ramadhan ini, sehingga tadarus Al Quran yang dilakukan lebih bermutu. Juga umat Islam hari ini harus berusaha meningkatkan upaya pembelajaran terhadap Al Quran.  Ini sangat penting berkaitan dengan fungsi Al Quran sebagai petunjuk hidup manusia dan sumber hukum dan kebenaran.  Allah SWT berfirman:

Sungguh kami mudahkan Al Quran untuk dipelajari, tapi siapa yang mau mempelajarinya? (QS. Al Qamar: 17).


Kaum muslimin rahimakumullah,

Tentunya mempelajari Al Quran ini sangat penting berkaitan dengan fungsi Al Quran sebagai petunjuk hidup manusia dan sumber hukum dan kebenaran.

Menurut Ibnu Katsir firman Allah dalam QS. Al Baqarah ayat 185 di atas merupakan pujian terhadap Al Quran yang Allah turunkan sebagai petunjuk bagi hati para hamba-Nya yang beriman kepada Al Quran, membenarkannya, dan mengikutinya. Dan sebagai “bayyinat”, artinya sebagai dalil dan hujjah yang jelas dan gamblang bagi siapa saja yang memahaminya dan mentadabburinya yang menunjukkan kebenaran hidayah yang datang dan menafikan kesesatan, dan sebagai jalan yang benar (ar rusyd) yang menyalahi jalan yang sesat (al ghayy), dan pembeda yang haq dari yang batil dan pembeda yang halal dari yang haram.

Menurut Ar Razi, Al Quran berfungsi sebagai “huda linnaas wa bayyinat minal huda” petunjuk manusia baik dalam masalah pokok agama (ushulud diin) maupun cabang-cabang agama (furuu’ud diin). Artinya, Al Quran memberikan petunjuk kepada manusia tentang pandangan hidup (way of life), dari mana asal-usul manusia, untuk apa manusia hidup di dunia, dan kemana setelah mati?  Juga memberi petunjuk tentang bagaimana cara hidup di dunia, baik dalam memenuhi kebutuhan individu (al hajaat fardiyah) berupa sandang, pangan, papan, kebutuhan seksual, kebutuhan religi, kebutuhan menjaga eksistensi dan kehormatannya; juga kebutuhan-kebutuhan kolektif (al haajaat al jama’iyyah) manusia seperti kebutuhan akan pendidikan, kesehatan, dan keamanan; hingga hubungan-hubungan sesama manusia dalam bidang ekonomi (mu’amalah), sosial(ijtima’iyyah), politik (siyasah), dan pemerintahan (imarah), pertahanan dan keamanan (ad difa’yyah wal amni an daakhiliy). 
Kebenaran dipastikan datangnya dari Allah SWT. Sebab Dia SWT yang menciptakan manusia dan Dialah yang benar-benar tahu mana yang baik dan yang buruk buat manusia.  Dia SWT berfirman:

“…boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui”.
 (QS. Al Baqarah: 216).

Oleh karena itu, Al Quran menjadi tolok ukur kebenaran pernyataan kebenaran dan sumber-sumber kebenaran dan hukum apapun, sebagaimana firman-Nya:
“Dan kami Telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; …”,
 (QS. Al Maidah: 48).
Dengan demikian layaklah ketentuan hukum untuk mengatur interaksi antar individu manusia dalam seluruh aspeknya merujuk hanya kepada hukum yang diturunkan oleh Allah SWT. Dan siapapun penguasa yang bertanggung jawab atas tertib hidup di masyarakat serta terpenuhinya segala kebutuhan manusia dengan mewujudkan prinsip keadilan dan kesejahteraan, hendaklah memutuskan segala perselisihan dan persengketaan di masyarakat dengan hukum yang diturunkan oleh Allah SWT. Dia SWT berfirman:

“…menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan dia pemberi keputusan yang paling baik". 
(QS. Al An’am: 57). 

Allah SWT juga berfirman:

“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu…”.  (QS. Al Maidah: 49).

Oleh karena itu, adalah suatu hal yang aneh kalau kita mencari hukum selain hukum Allah jika kita yakin bahwa Dia SWT adalah Dzat yang telah menciptakan manusia, kehidupan dan alam semesta. Dia berfirman: “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?” (QS. Al Maidah: 50).

Ya, bukankah Allah Dzat yang paling bijaksana dalam mengambil keputusan? Dia berfirman:  “Bukankah Allah hakim yang seadil-adilnya? “ (QS. At Tiin: 8).  

Baarakallahu lii walakum…
Written by Shodiq Ramadhan 

Rabu, 10 Agustus 2011

Tiga Derjat Ilmu


Tiga Derajat Ilmu
Ilmu itu bermacam-macam. Dilihat dari berbagai segi, ilmu itu dapat dikelompokkan mencadi berbagai macam kelompok. Dari keseluruhan ilmu itu dapat dikelompokkan menjadi tiga derajat, yaitu sebagai berikut.
1. Ilmu Jaly (Ilmu yang Nyata)

Yaitu, ilmu yang tampak oleh mata, bisa didengar, dan disebar secara benar, serta juga benar berdsarkan eksperimen. Ilmu yang nyata artinya tidak tersembunyi, yang terdiri dari tiga jenis, yaitu:
- yang bisa diterima penglihatan mata;
- yang disandarkan kepada pendengaran, yang juga disebut ilmu penyebaran; dan
- yang disandarkan kepada akal, yang juga disebut ilmu eksperimen.

Tiga jalan ini (penglihatan, pendengaran, dan akal) merupakan jalan ilmu dan pintu-pintunya. Tetapi, sebenarnya jalan ilmu tidak terbatas pada tiga hal ini. Sebab, setiap indra bisa mendatangkan ilmu dan menjadi jalannya.

Perbedaan ilmu dengan makrifat, bahwa makrifat mrupakan inti ilmu. Penisbatan ilmu dengan makrifat seperti penisbatan iman dengan ihsan. Makrifat merupakan ilmu khusus, kaitan makrifat lebih tersembunyi daripada kaitan ilmu. Pengungkapan makrifat lebih sempurna daripada pengungkapan ilmu.


2. Ilmu Khafy (Ilmu yang Tersembunyi)

Yaitu, yang tumbuh di dalam rahasia-rahasia yang suci dari badan yang suci pula, karena disirami air latihan yang murni, tampak dalam napas-napas yang benar, dimiliki orang-orang yang mempunyai hasrat yang tinggi, pada saat-saat yang senggang. Ini merupakan ilmu yang menampakkan hal yang gaib, meniadakan yang ada danmengisyaratkan perpaduan.

Ini merupakan ilmu yang tersembunyi bagi orang-orang yang ada pada derajat pertama, yang disebut makrifat.

Makna rahasia di sini bisa berarti roh, bisa berarti Allah, dan bisa berarti apa yang tersembunyi antara hamba dan Allah. Dikatakan rahasia-rahasia yang suci karena ia suci dari kekotoran dunia dankesibukannya yang bisa menghambat roh dari tempatnya yang menyenangkan. Makna badan yang suci ialah yang suci karena ketaatan kepada Allah, dan yang tumbuh karena makanan yang halal. Selagi badan terbebas dari hal-hal yang haram dankotor, yang dilarang agama, akal dansifat kesatria, tentu hati akan menjadi suci, sehingga ia bisa ditaburi benih ilmu dan makrifat. Jika kemudian disirami dengan air latihan dan penempaan yang sesuai dengan syariat, orangnya bisa memetik hasil dan manfaat yang banyak.

Hal tersebut di atas akan tampak dalam napas-napas, maksud napas di sini ialah napas zikir dan makrifat atau napas cinta dan kehendak. Adapun napas yang benar ialah kebebasannya dari noda dan kotoran keduniaan. Maksud orang-orang yang memiliki hasrat yang tinggi ialah yang tidak bergantung kepada selain Allah, tidak menuju selain Allah dalam perjalanannya. Dalam hal ini seseorang tidak menggantungkan hidupnya, kecuali hanya kepada Allah. Adapun hasrat yang paling tinggi ialah yang berkaitan dengan Allah Yang Maha Tinggi. Adapun hasrat yang paling luas ialah yang berkaitan dengan kemaslahatan hamba. Ini merupakan hasrat para rasul dan pewaris mereka. Adapun maksud saat-saat senggang adalah saat-saat yang suci bersama Allah, waktu-waktu bermunajat kepada Allah. Adapun menampakkan yang gaib artinya mengungkap sesuatu yang gaib sehingga dapat mengetahui. Meniadakan yang ada artinya meniadakan kesaksian terhadap hal-hal selain Allah.

3. Ilmu Ladunny

Jalan ilmu ini adalah keberadaannya; pengetahuannya adalah kesaksiannya; sifatnya adalah hukumnya. Antara ilmu ini dan antara yang gaib tidak ada hijab.

Ilmu laduni diisyaratkan kepada ilmu yang diperoleh hamba tanpa menggunakan sarana tetapi berdsarkan ilham dari Allah, yang diperkenalkan oleh Allah kepada hamba-Nya, seperti ilmu Khidhir yang diperoleh tanpa sarana, seperti halnya Musa.

Allah SWT berfirman yang artinya, "Telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami." (Al-Kahfi: 65).

Ada perbedaan antara rahmat dan ilmu. Keduanya dijadikan berasal dari samping Allah dan dari sisi Allah, karena memang keduanya tidak diperoleh begitu saja oleh hamba. Kata min ladunhu lebih khusus dan menunjukkan jarak yang lebih dekat daripada kata min indihi, yang keduanya sama-sama berarti dari sisi-Nya. Maka dari itu, Allah SWT berfirman, "Dan, katakanlah, 'Ya Robi, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah aku secara keluar yang benar, dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong'." (Al-Isra': 80).

Min ladunhu berupa kekuasaan yang menolong, sedangkan min indihi berupa pertolongan yang diberikan kepada orang-orang mukmin.

Ilmu laduni merupakan buah ubudiah, kepatuhan, kebersamaan dengan Allah, ikhlas karena-Nya, dan berusaha mencari ilmu dari misykat Rasul-Nya, serta ketundukan kepada beliau. Dengan begitu, seorang hamba akan dibukakan kepadanya pemahaman Alquran dan sunah, yang biasanya dikhususkan pada perkara tertentu.

Ali bin Abu Thalib r.a. pernah ditanya seseorang, "Apakah Rasulullah saw. memberikan kekhususan tertentu tentang suatu perkara kepada kalian, yang tidak diberikan kepada selain kalian?" Maka, dia menjawab, "Tidak! Demi yang membelah biji-bijian dan menghembuskan angina, selain dari pemahaman Alquran yang diberikan Allah kepada hamba-Nya."

Itulah yang disebut ilmu laduni yang hakiki, yaitu ilmu yang datang dari sisi Allah, ilmu tentang pemahaman kitab-Nya. Adapun ilmu yang menyimpang dari Alquran dan sunah tidak diikat dengan keduanya, maka itu datang dari hawa nafsu dan setan beserta seluruh jajarannya. Memang bisa saja disebut ilmu laduni tetapi dari sisi siapa? Suatu ilmu bisa diketahui sebagai ilmu laduni jika ia sesuai dengan apa yang dibawa Rasulullah saw., yang berasal dari Allah. Jadi ilmu laduni ada dua macam: dari sisi Allah dan dari sisi setan. Materinya disebut wahyu. Sementara, tidak ada wahyu setelah Rasulullah saw.

Tentang kisah Musa denan Khidhir bisa dijelaskan sebagai berikut. Musa tidak diutus sebagai rasul kepada Khidhir dan Khidhir tidak diperintahkan untuk menjadi pengikut Musa. Andaikan Khidhir diperintahkan menjadi pengikut Musa, tentunya Khidhir diperintahkan untuk mendatangi Musa dan hidup bersama beliau. Karena itu, Khidhir bertanya kepada Musa, "Kamukah Musa, nabi Bani Israel?" Musa menjawab, "Ya."

Adapun Muhammad saw. diutus untuk semua manusia sejak ia diutus. Risalah beliau diperuntukkan bagi jin dan manusia di setiap zaman. Andaikan Musa dan Isa masih di dunia ini, tentu keduanya menjadi pengikut beliau. Andaikan Isa bin Maryam turun ke bumi, tentu Isa akanmenerapkan syariat Muhammad saw. Oleh karena itu, siapa yang berangapan bahwa Isa dengan Muhammad sama seperti Musa dengan Khidhir, atau memperbolehkan anggapan seperti ini, maka hendaklah dia memperbarui Islamnya dan mengucapkan syahadat sekali lagi secara benar. Karena, dengan anggapan seperti itu, dia telah keluar dari Islam secara total, dan sama sekali tidak bisa disebut wali Allah tetapi wali setan.

Maksud perkataan "pengetahuannya adalah kesaksiannya" adalah bahwa ilmu ini tidak bisa diambil dengan pemikiran dan kesimpulan tetapi dengan melihat dan menyaksikannya.

Maksud perkataan "sifatnya adalah hukumnya" adalah bahwa sifat-sifatnya tidak bisa diketahui kecuali dengan hukum-hukumnya, sifatnya terbatas pada hukumnya, saksinya adalah hukumnya. Hukum ini merupakan dalil, sehingga antaranya dan hal-hal yang tidak tampak tidak ada hijab, berbeda dengan ilmu-ilmu lain.

Inilah yang diisyaratkan orang-orang bahwa ilmu ini merupakan cahaya dari sisi Allah, yang mampu menghapus kekuatan indra dan hukum-hukumnya. Inilah makna yang diisyaratkan dalam firman Allah dalam hadis Qudsi, "Jika Aku mencintainya, maka Aku menjadi pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar, Aku menjadi penglihatannya yang dia gunakan untuk melihat …." Ilmu laduni yang datang dari Allah merupakan buah cinta tersebut, yang muncul karena menggiatkan mengerjakan yang sunah-sunah setelah yang fardu (wajib).

Adapun ilmu laduni yang datang dari setan merupakan buah berpaling dari wahyu, mementingkan hawa nafsu dan memberi kekuasaan kepada setan. Ilmu yang diperolehnya itu dengan cara yang tidak sesuai dengan syariat yang dibawa oleh Rasulullah saw.

Sumber: Diadaptasi dari Madaarijus Saalikiin baina Manaazili Iyyaaka Na'budu wa Iyyaaka Nasta'iin, Syekh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah

Selasa, 09 Agustus 2011

Keutamaan Zakat


Dari Ibnu Abbas r. bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam mengutus Mu’adz ke negeri Yaman –ia meneruskan hadits itu– dan didalamnya (beliau bersabda): “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan mereka zakat dari harta mereka yang diambil dari orang-orang kaya di antara mereka dan dibagikan kepada orang-orang fakir di antara mereka.” Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Bukhari.
Dari Abdullah Ibnu Aufa bahwa biasanya bila suatu kaum datang membawa zakat kepada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam, beliau berdoa: “Ya Allah, berilah rahmat atas mereka.” Muttafaq Alaihi.

Dari Hakim Ibnu Hazm Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Tangan yang di atas (pemberi) lebih baik daripada tangan yang di bawah (penerima); dan mulailah dari orang-orang yang banyak tanggungannya; dan sebaik-baik sedekah ialah yang diambil dari sisa kebutuhan sendiri, barangsiapa menjaga kehormatannya Allah akan menjaganya dan barangsiapa merasa cukup Allah akan mencukupkan kebutuhannya.” Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut riwayat Bukhari.
Zakat adalah rukun ketiga dari rukun Islam. Secara harfiah zakat berarti “tumbuh”, “berkembang”, “menyucikan”, atau “membersihkan”. Sedangkan secara terminologi syari’ah, zakat merujuk pada aktivitas memberikan sebagian kekayaan dalam jumlah dan perhitungan tertentu untuk orang-orang tertentu sebagaimana yang telah ditentukan dalam Al-Qur’an .
Zakat merupakan salah satu [rukun Islam], dan menjadi salah satu unsur pokok bagi tegaknya [syariat Islam]. Oleh sebab itu hukum zakat adalah wajib (fardhu) atas setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Zakat termasuk dalam kategori ibadah, seperti:shalat,haji,dan puasa yang telah diatur secara rinci dan paten berdasarkan Al-Qur’an dan As Sunnah,sekaligus merupakan amal sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai dengan perkembangan ummat manusia.
maka dari itu terdapat beberapa faedah zakat secara sosial, yaitu:
Pertama, zakat merupakan sarana untuk membantu dalam memenuhi hajat hidup para fakir miskin yang merupakan kelompok mayoritas sebagian besar negara di dunia.
Kedua, memberikan dukungan kekuatan bagi kaum Muslimin dan mengangkat eksistensi mereka. Ini bisa dilihat dalam kelompok penerima zakat, salah satunya adalah mujahidin fi sabilillah.
Ketiga, zakat bisa mengurangi kecemburuan sosial, dendam dan rasa dongkol yang ada dalam dada fakir miskin. Karena masyarakat bawah biasanya jika melihat mereka yang berkelas ekonomi tinggi menghambur-hamburkan harta untuk sesuatu yang tidak bermanfaaat bisa tersulut rasa benci dan permusuhan mereka. Jikalau harta yang demikian melimpah itu dimanfaatkan untuk mengentaskan kemiskinan tentu akan terjalin keharmonisan dan cinta kasih antara si kaya dan si miskin.
Keempat, zakat akan memacu pertumbuhan ekonomi pelakunya dan yang jelas berkahnya akan melimpah.
Kelima, membayar zakat berarti memperluas peredaran harta benda atau uang, karena ketika harta dibelanjakan maka perputarannya akan meluas dan lebih banyak pihak yang mengambil manfaat.
Dengan potensi zakat yang demikian besar di Indonesia dan bermunculannya lembaga-lembaga zakat, diharapkan mampu menjawab permasalahan kemiskinan di Indonesia yang selalu menjadi permasalahan setiap saat. Wallaahu a’lam. (zar, dari berbagai sumber)

Senin, 08 Agustus 2011

Kristenisasi, Sekularisasi dan Kaum Kolonial


Salah satu fakta yang tidak bisa dibantah dalam sejarah Indonesia adalah keberadaan Kristen dan tersebarnya paham sekuler di negeri ini. Survey Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2005 menyebutkan, jumlah penduduk yang beragama Kristen Protestan di Indonesia mencapai 12,96 juta lebih,  sedangkan yang beragama Katolik berkisar 6,94 juta jiwa dari sekitar 208,82 juta jiwa penduduk Indonesia. Bila dipersentase, jumlahnya tidak kurang dari 10 persen saja. Jumlah ini menduduki peringkat kedua dan ketiga terbesar setelah Islam  sebagai agama yang dianut mayoritas penduduk Indonesia. Di belakangnya baru mengikuti agama Hindu dan Budha dalam jumlah yang lebih kecil.
Fakta tentang keberadaan agama-agama tersebut, terutama Katolik dan Protestan, membuat perkara hubungan antar-agama menjadi urusan yang sangat serius di negeri ini. Bahkan setiap kali ada kebijakan publik yang dianggap berpihak pada umat mayoritas, segeralah bertubi-tubi argumen klise tentang keberagaman (pluralitas) agama yang ada di negeri ini.  Sebagaimana terjadi pada saat akan disahkan UU Sisdiknas tahun 2003 dan RUU tentang Zakat sebagai pengurang pajak, RUU keuangan Islam, dan sebagainya. Jurus untuk menghantamnya tidak pernah berubah: “di negeri ini hidup juga agama-agama lain,” padahal jumlahnya tidak signifikan.
Salah satu jurus lainnya yang sering digunakan adalah, mereka menganggap Islam tidak memiliki  kekuatan politik di negeri ini, terbukti dengan kekalahan partai-partai berlabel Islam dalam  pemilihan umum. Kenyataan ini segera saja dijadikan  premis untuk mendukung kesimpulan mereka bahwa Islam  sama sekali tidak memiliki kekuatan sehingga tidak perlu diperhitungkan. Logika yang aneh memang karena pada saat membela kepentingan agama minoritas, yang dihitung adalah jumlah pemeluknya, sementara saat berbicara Islam  yang ditonjolkan justru perolehan suaranya.  Hal tersebut sepertinya dilakukan untuk mengecilkan keberadaan  dan peran Islam di negeri ini.
Lebih aneh lagi apabila mencermati buku-buku teks pelajaran sejarah yang beredar. Siapa pun yang ingin mengetahui  datang dan berkembangnya agama Kristen dan Katolik di Indonesia  akan gigit jari karena tidak akan menemukannya dalam buku-buku teks pelajaran sejarah di sekolah. Padahal, penjelasan mengenai penyebaran agama lain (Islam, Hindu, dan Budha), dengan mudah dapat ditemukan di sana sekalipun tidak selalu berimbang dan proporsional.  Sebut saja dalam buku pelajaran sejarah kurikulum terbaru untuk SMA Kelas XI semester 1, akan ditemukan kisah mengenai Hindu, Budha, dan Islam, namun sampai akhir pembahasan, tidak  satu pun ditemukan kisah tentang Kristen di Indonesia.
Bisa jadi ini merupakan buah simalakama dari pandangan sejarah Indonesia-sentris. Gara-gara ingin membuat sejarah dari perspektif Indonesia, namun mengesampingkan kenyataan bahwa  Islam yang hidup menjadi anutan mayoritas penduduk pandangan Indonesia-sentris  adalah   anti terhadap Belanda (kolonial). Dalam rumus “pahlawan” pun, siapa saja yang anti-Belanda dan berperang melawan Belanda akan dianggap sebagai pahlawan. Sebaliknya, yang didukung dan pro-Belanda dianggap musuh, tanpa mempertimbangkan kompleksitas fakta sejarah yang melatarinya. Sultan Hasanudin di Makasar dianggap sebagai “pahlawan” sementaran Aru Palaka dianggap “musuh” gara-gara dibantu VOC, padahal keduanya berperang belum tentu karena mendukung atau menolak Belanda.
Inilah yang barangkali membuat para perumus kurikulum sejarah di negeri ini kesulitan meletakkan posisi kaum Kristen di negeri ini. Fakta sejarah dengan sangat jelas menunjukkan bahwa ada korelasi positif antara dantangnya kaum kolonial sejak Portugis, Spanyol, hingga Belanda dengan tersebarnya agama Kristen dan Katolik di negeri ini. Sementara itu, di sisi lain kolonialisme dianggap sebagai “musuh”. Bila secara telanjang sejarah Kristen diajarkan sebagai bagian dari kisah kolonialisme, maka akan timbul kesan “permusuhan” terhadap agama Kristen. Kristen tersudut dan dianggap tidak memiliki hak hidup di negeri ini. Pilihan seperti ini pasti tidak akan diinginkan oleh negara.
Akan tetapi, membiarkan posisi Kristen “tanpa cerita” pun bukan pilihan yang baik. Ini justru menyimpan bara dalam sekam permusuhan Islam-Kristen di berbagai tempat. Saat banyak yang tahu bahwa Kristenisasi adalah bagian dari kolonialisme akan dengan mudah masyarakat disulut untuk memusuhi “musuh resmi negara”. Alih-alih ke-bhinekaan bisa dijaga, justru berpotensi menimbulkan gejolak yang tidak dapat  dikendalikan karena lahir dari kekecewaan atas “kebohongan resmi” negara.
Anehnya lagi, pilihan ideologi negara justru jatuh pada sekularisme untuk mewadahi ke-bhinekaan agama-agama di negeri ini meskipun tidak pernah ada satu teks resmi perundangan  yang mengakui hal ini. Sekularisme  bukan ideologi yang hadir tanpa sejarah di negeri ini. Seperti halnya Kristen, sekularisme sejatinya merupakan anak kandung dari kolonialisme. Saat pilihan jatuh ke sana, sesungguhnya negara tengah bunuh diri karena memihak pada apa yang dianggapnya sebagai “musuh”. (Fakta-fakta mengenai Kristen dan sekularisme ini dapat dilihat dalam buku Sejarah Nasional Indonesia Perspektif Baru, Jil. 2).
Blunder dan ketidakjelasan konsepsi mengenai Indonesia-sentris dalam penulisan sejarah akhirnya menyebabkan masyarakat Indonesia kesulitan dalam mempersepsikan “keindonesiaan”nya. Sebab, sejarah dengan perspektif “bingung” seperti itu yang kemudian diajarakan di sekolah-sekolah melalui kurikulum resmi negara. Wajar bila kemudian warga bangsa ini tidak pernah bisa menunjukkan secara jelas jati dirinya sebagai “Indonesia”. Masalah tarian Reog Ponorogo dan batik diperkarakan, kemudian diangkat menjadi isu besar hingga mengancam hubungan bilateral Indonesia-Malaysia  serta  perpotensi menggangu kestabilan nasional maupun regional. Hal ini merupakan pertanda bagaimana dangkalnya  pemahaman warga bangsa ini dalam memaknai “ke-Indonesiaan-nya”.
Negara hendaknya bersikap  jujur dan transparan dalam mengungkap fakta-fakta dan realitas sejarah apabila ingin meletakkan pondasi yang kokoh dalam hubungan antar-agama di negeri ini. Negara juga harus lebih bijak dan  berani berdamai dengan kenyataan bahwa tata nilai dan kehidupan bangsa ini  dibangun  secara kokoh atas dasar ke- Islaman. Dengan menggali “Islam” sebagai basis kebangsaan, negara akan memiliki kekuatan fundamental dalam memelihara hubungan antar-agama. Sebab, Islam menyediakan seperangkat aturan yang meliputi keseluruhan aspek kehidupan manusia, termasuk tata cara berhubungan dengan penganut agama dan keyakinan yang berbeda. 
Written by: M Isa Anshori