Salah satu fakta yang tidak bisa dibantah dalam sejarah Indonesia adalah keberadaan Kristen dan tersebarnya paham sekuler di negeri ini. Survey Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2005 menyebutkan, jumlah penduduk yang beragama Kristen Protestan di Indonesia mencapai 12,96 juta lebih, sedangkan yang beragama Katolik berkisar 6,94 juta jiwa dari sekitar 208,82 juta jiwa penduduk Indonesia. Bila dipersentase, jumlahnya tidak kurang dari 10 persen saja. Jumlah ini menduduki peringkat kedua dan ketiga terbesar setelah Islam sebagai agama yang dianut mayoritas penduduk Indonesia. Di belakangnya baru mengikuti agama Hindu dan Budha dalam jumlah yang lebih kecil.
Fakta tentang keberadaan agama-agama tersebut, terutama Katolik dan Protestan, membuat perkara hubungan antar-agama menjadi urusan yang sangat serius di negeri ini. Bahkan setiap kali ada kebijakan publik yang dianggap berpihak pada umat mayoritas, segeralah bertubi-tubi argumen klise tentang keberagaman (pluralitas) agama yang ada di negeri ini. Sebagaimana terjadi pada saat akan disahkan UU Sisdiknas tahun 2003 dan RUU tentang Zakat sebagai pengurang pajak, RUU keuangan Islam, dan sebagainya. Jurus untuk menghantamnya tidak pernah berubah: “di negeri ini hidup juga agama-agama lain,” padahal jumlahnya tidak signifikan.
Salah satu jurus lainnya yang sering digunakan adalah, mereka menganggap Islam tidak memiliki kekuatan politik di negeri ini, terbukti dengan kekalahan partai-partai berlabel Islam dalam pemilihan umum. Kenyataan ini segera saja dijadikan premis untuk mendukung kesimpulan mereka bahwa Islam sama sekali tidak memiliki kekuatan sehingga tidak perlu diperhitungkan. Logika yang aneh memang karena pada saat membela kepentingan agama minoritas, yang dihitung adalah jumlah pemeluknya, sementara saat berbicara Islam yang ditonjolkan justru perolehan suaranya. Hal tersebut sepertinya dilakukan untuk mengecilkan keberadaan dan peran Islam di negeri ini.
Lebih aneh lagi apabila mencermati buku-buku teks pelajaran sejarah yang beredar. Siapa pun yang ingin mengetahui datang dan berkembangnya agama Kristen dan Katolik di Indonesia akan gigit jari karena tidak akan menemukannya dalam buku-buku teks pelajaran sejarah di sekolah. Padahal, penjelasan mengenai penyebaran agama lain (Islam, Hindu, dan Budha), dengan mudah dapat ditemukan di sana sekalipun tidak selalu berimbang dan proporsional. Sebut saja dalam buku pelajaran sejarah kurikulum terbaru untuk SMA Kelas XI semester 1, akan ditemukan kisah mengenai Hindu, Budha, dan Islam, namun sampai akhir pembahasan, tidak satu pun ditemukan kisah tentang Kristen di Indonesia.
Bisa jadi ini merupakan buah simalakama dari pandangan sejarah Indonesia-sentris. Gara-gara ingin membuat sejarah dari perspektif Indonesia, namun mengesampingkan kenyataan bahwa Islam yang hidup menjadi anutan mayoritas penduduk pandangan Indonesia-sentris adalah anti terhadap Belanda (kolonial). Dalam rumus “pahlawan” pun, siapa saja yang anti-Belanda dan berperang melawan Belanda akan dianggap sebagai pahlawan. Sebaliknya, yang didukung dan pro-Belanda dianggap musuh, tanpa mempertimbangkan kompleksitas fakta sejarah yang melatarinya. Sultan Hasanudin di Makasar dianggap sebagai “pahlawan” sementaran Aru Palaka dianggap “musuh” gara-gara dibantu VOC, padahal keduanya berperang belum tentu karena mendukung atau menolak Belanda.
Inilah yang barangkali membuat para perumus kurikulum sejarah di negeri ini kesulitan meletakkan posisi kaum Kristen di negeri ini. Fakta sejarah dengan sangat jelas menunjukkan bahwa ada korelasi positif antara dantangnya kaum kolonial sejak Portugis, Spanyol, hingga Belanda dengan tersebarnya agama Kristen dan Katolik di negeri ini. Sementara itu, di sisi lain kolonialisme dianggap sebagai “musuh”. Bila secara telanjang sejarah Kristen diajarkan sebagai bagian dari kisah kolonialisme, maka akan timbul kesan “permusuhan” terhadap agama Kristen. Kristen tersudut dan dianggap tidak memiliki hak hidup di negeri ini. Pilihan seperti ini pasti tidak akan diinginkan oleh negara.
Akan tetapi, membiarkan posisi Kristen “tanpa cerita” pun bukan pilihan yang baik. Ini justru menyimpan bara dalam sekam permusuhan Islam-Kristen di berbagai tempat. Saat banyak yang tahu bahwa Kristenisasi adalah bagian dari kolonialisme akan dengan mudah masyarakat disulut untuk memusuhi “musuh resmi negara”. Alih-alih ke-bhinekaan bisa dijaga, justru berpotensi menimbulkan gejolak yang tidak dapat dikendalikan karena lahir dari kekecewaan atas “kebohongan resmi” negara.
Anehnya lagi, pilihan ideologi negara justru jatuh pada sekularisme untuk mewadahi ke-bhinekaan agama-agama di negeri ini meskipun tidak pernah ada satu teks resmi perundangan yang mengakui hal ini. Sekularisme bukan ideologi yang hadir tanpa sejarah di negeri ini. Seperti halnya Kristen, sekularisme sejatinya merupakan anak kandung dari kolonialisme. Saat pilihan jatuh ke sana, sesungguhnya negara tengah bunuh diri karena memihak pada apa yang dianggapnya sebagai “musuh”. (Fakta-fakta mengenai Kristen dan sekularisme ini dapat dilihat dalam buku Sejarah Nasional Indonesia Perspektif Baru, Jil. 2).
Blunder dan ketidakjelasan konsepsi mengenai Indonesia-sentris dalam penulisan sejarah akhirnya menyebabkan masyarakat Indonesia kesulitan dalam mempersepsikan “keindonesiaan”nya. Sebab, sejarah dengan perspektif “bingung” seperti itu yang kemudian diajarakan di sekolah-sekolah melalui kurikulum resmi negara. Wajar bila kemudian warga bangsa ini tidak pernah bisa menunjukkan secara jelas jati dirinya sebagai “Indonesia”. Masalah tarian Reog Ponorogo dan batik diperkarakan, kemudian diangkat menjadi isu besar hingga mengancam hubungan bilateral Indonesia-Malaysia serta perpotensi menggangu kestabilan nasional maupun regional. Hal ini merupakan pertanda bagaimana dangkalnya pemahaman warga bangsa ini dalam memaknai “ke-Indonesiaan-nya”.
Negara hendaknya bersikap jujur dan transparan dalam mengungkap fakta-fakta dan realitas sejarah apabila ingin meletakkan pondasi yang kokoh dalam hubungan antar-agama di negeri ini. Negara juga harus lebih bijak dan berani berdamai dengan kenyataan bahwa tata nilai dan kehidupan bangsa ini dibangun secara kokoh atas dasar ke- Islaman. Dengan menggali “Islam” sebagai basis kebangsaan, negara akan memiliki kekuatan fundamental dalam memelihara hubungan antar-agama. Sebab, Islam menyediakan seperangkat aturan yang meliputi keseluruhan aspek kehidupan manusia, termasuk tata cara berhubungan dengan penganut agama dan keyakinan yang berbeda.
Written by: M Isa Anshori
0 komentar:
Posting Komentar