Penayangan bulan lalu

MENYATUKAN ISLAM DALAM PERBEDAAN

Jumat, 09 September 2011

Hikmah Idul Fitri

Rasulullah.saw bersabda : “Puasa dan Al-Qur'an akan memberi syafaat bagi hamba pada hari kiamat. Puasa berkata, 'Ya Rabbi, aku mencegahnya makanan dan syahwat, maka berilah aku syafaat karenanya.' Al-Qur'an berkata, 'Aku mencegahnya tidur pada malam hari, maka berilah aku syafaat karenanya'. Beliau bersabda, 'Maka keduanya diberi syafaat',” (Diriwayatkan Ahmad) Ketika mendengar kata Idul Fitri, tentu dalam benak setiap orang yang ada adalah kebahagiaan dan kemenangan. Dimana pada hari itu, semua manusia merasa gembira dan senang karena telah melaksanakan ibadah puasa sebulan penuh. Dalam Idul Fitri juga ditandai dengan adanya ”mudik (pulang kampung)” yang notabene hanya ada di Indonesia. Selain itu, hari raya Idul Fitri juga kerap ditandai dengan hampir 90% mereka memakai sesuatu yang baru, mulai dari pakaian baru, sepatu baru, sepeda baru, mobil baru, atau bahkan istri baru (bagi yang baru menikah tentunya...). Maklum saja karena perputaran uang terbesar ada pada saat Lebaran. Kalau sudah demikian, bagaimana sebenarnya makna dari Idul Fitri itu sendiri. Apakah Idul Fitri cukup ditandai dengan sesuatu yang baru, atau dengan mudik untuk bersilaturrahim kepada sanak saudara dan kerabat?. Idul Fitri, ya suatu hari raya yang dirayakan setelah umat Islam melaksanakan ibadah puasa Ramadhan satu bulan penuh. Dinamakan Idul Fitri karena manusia pada hari itu laksana seorang bayi yang baru keluar dari dalam kandungan yang tidak mempunyai dosa dan salah. Idul Fitri juga diartikan dengan kembali ke fitrah (awal kejadian). Dalam arti mulai hari itu dan seterusnya, diharapkan kita semua kembali pada fitrah. Di mana pada awal kejadian, semua manusia dalam keadaan mengakui bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan. Dalam istilah sekarang ini dikenal dengan ”Perjanjian Primordial” sebuah perjanjian antara manusia dengan Allah yang berisi pengakuan ke Tuhan-nan. Allah.swt berfirman : وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ "(Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhan-mu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”)". (al-A’raf 7 :172) Seiring dengan perkembangan itu sendiri, banyak di antara manusia dalam perjalanan hidupnya yang melupakan Allah serta telah melakukan dosa dan salah kepada Allah dan kepada sesama manusia. Untuk itu, memahami kembali makna Idul Fitri (kembali ke fitrah) dengan membangun kembali pengabdian hanya kepada Allah adalah sebuah keharusan sehingga kita semua dapat menjadi hamba-hamba muttaqin dan hamba yang tidak mempunyai dosa. Dosa kepada Allah terhapus dengan jalan bertaubat dan dosa kepada sesama manusia dapat terhapus dengan silaturrahim. Idul Fitri atau kembali ke fitrah akan sempurna tatkala terhapusnya dosa kita kepada Allah diikuti dengan terhapusnya dosa kita kepada sesama manusia. Terhapusnya dosa kepada sesama manusia dengan jalan kita memohon maaf dan memaafkan orang lain. (Dari al-Hasan bin Ali dan Muhammad bin al-Mutawakkil keduanya dari Abd al-Razaq dari al-Ma’mar dari al-Hasan dan Malik bin Anas dari al-Zuhri dari Abi Salamah dari Abi Hurairah berkata bahwa Rasulullah SAW senang melaksanakan Qiyam Ramadhan (Tarawih) meskipun tidak mewajibkannya. Kemudian bersabda : ”Barangsiapa melaksanakan Qiyam ramadhan (tarawih) karena Allah dan mencari pahala dari Allah akan diampuni dosanya yang telah lalu". Kemudian Rasulullah wafat, sedang masalah Qiyam Ramadhan tetap seperti sediakala pada pemerintahan Sayyidina Abu Bakar.ra dan pada awal pemerintahan Sayyidina Umar bin Khattab.ra). (Dari Muhammad bin Salam dari Muhammad bin Faudhail dari Yahya bin Sa’id dari Abi Salamah dari Abi Hurairah berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda : "Barangsiapa yang berpuasa pada bulan ramadhan dengan kepercayaan bahwa perintah puasa itu dari Allah dan hanya mengharap pahala dari Allah akan diampuni dosanya"). Dosa merupakan catatan keburukan di sisi Allah yang telah dilakukan oleh setiap manusia karena mereka tidak menjalankan perintah atau karena mereka melanggar larangan Allah dan RasulNya. Bulan Ramadhan merupakan bulan khusus yang dikhususkan Allah untuk Umat Islam. Di bulan ini terdapat maghfirah, rahmah dan itqun minan nar. Selain itu, bulan Ramadhan juga menjadi sarana umat manusia untuk memohon dan meminta pengampunan dari Allah dengan jalan melaksanakan ibadah puasa dan shalat tarawih Syeikh Abdul Qadir al-Jailany dalam al-Gunyah-nya berpendapat, merayakan Idul Fitri tidak harus dengan baju baru, tapi jadikanlah Idul fitri ajang tasyakur, refleksi diri untuk kembali mendekatkan diri pada Alah Swt. Momen mengasah kepekaan sosial kita. Ada pemandangan lain yang harus kita cermati, betapa disaat kita berbahagia , saudara-saudara kita di tempat-tempat lain masih banyak menangis menahan lapar. Bersyukurlah kita!

Hikmah Idul Fitri

ALLAHU Akbar, dengan takbir dan tahmid, umat Islam melepaskan bulan Ramadan dan dengan takbir dan tahmid pula ia sambut 1 Syawal 1427 H. Mudah-mudahan pelepasan bulan Ramadan dan penyambutan bulan Syawal terpenuhi makna dan arti kedua peristiwa yang terjadi dalam suasana bergembira. Selama bulan Ramadhan, jiwa, ruh, dan hati umat benar-benar telah terasah dengan amal-amal kebajikan, sehingga hati mereka yang merupakan wadah ketakwaan semakin terbuka lebar dan luas guna lebih mengembangkan dan meningkatkan kualitas takwa yang sudah diperoleh selama beribadah di bulan Ramadan, "Mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa" (QS [al-Hujurat] 49 : 3). Idul Fithri bagi kaum wanita dan anak-anak ? Sebagaimana halnya kamu pria, kaum wanita dan anak-anak pun disunnatkan menghadiri shalat 'Idul Fithri. Begitu pula halnya orang-orang tua, gadis-gadis perawan, wanita-wa nita haidh dan nifas. Seperti dilaporkan oleh Ummu Athiyah (HR. Bukhori - Muslim). Adalah Rasulullah SAW keluar bersama istri-istri dan putri-putrinya untuk melaksanakan shalat 'Idul Fithri dan mendengarkan khuthbah (HR. Ibnu Majah & Baihaqi dan Ibnu Abbas). Adapun untuk wanita haidh dan nifas, cukup mendengarkan khuthbah, tidak ikut shalat. Idul fitri adalah hari kemenangan besar yang mengembalikan manusia pada fitrahnya (kesucianya) dimana jiwa kembali bersih karena dibasuh dengan ibadah, fitrah dan saling memaafkan. serta rezeki yang kita miliki telah dicuci pula dengan zakat. Kembali kepada kesucian artinya dengan merayakan Idul Fitri ini kita mendeklarasikan kesucian kita dari berbagai dosa sebagai buah dari ibadah sepanjang bulan Ramadan. Pada Idul Fitri inilah, manusia yang taat pada takdir Allah meyakini tibanya kembali fitrah diri yang kerap diimajinasikan dengan ungkapan kala itu ba' terlahir kembali. Dan, bila kita bersedia menerima fitrah yang ada di hari besar ini serta menerjemahkan dengan pikiran dan bahasa sederhana, Idul Fitri merupakan momentum bagi manusia untuk langkah awal menuju kehidupan lebih baik. Memang Idul Fitri bukanlah suatu yang akhir. Masih akan ada perjuangan yang harus dilalui sesudahnya. Seperti yang pernah diisyaratkan Rasulullah seusai perang Badr di akhir Ramadhan. Bahwa, dari perang kecil (Badr) masih ada perang yang lebih besar untuk menegakkan agama yang benar. Beragama yang benar adalah nasihat menasihati, Sabda Rasul: Addinun Nashihhat, Arti nasehat bukan sekadar membimbing dengan kata-kata, tetapi menunjukkan serta mendukung segala kebajikan dengan amal perbuatan, sehingga pemberi nasihat mengantar orang yang dinasihati kepada suasana keterbukaan, tenggang rasa, serta insyaf bahwa kebutuhan manusia tidak dapat dipenuhi kecuali dengan bantuan orang lain. Yang lebih penting, semoga saja tak cuma simbol yang melekat pada diri kita selepas puasa sebulan penuh ini. Segala aspek kehidupan yang lurus yang kita jalani selama Ramadhan ini hendaknya menjadi titik tolak untuk melangkah ke depan. Hal ini kita mulai dari diri kita sendiri, barulah kemudian ke jenjang yang lebih besar yakni saudara, keluarga, tetangga, hingga masyarakat luas. Adapun mengenai perayaan Idul Fitri yang berbeda waktunya janganlah dijadikan perdebatan dan masalah besar.Sebaliknya, terimalah perbedaan itu sebagai rahmat dan tetap menjalin tali silaturahmi.