Penayangan bulan lalu

MENYATUKAN ISLAM DALAM PERBEDAAN

Sabtu, 06 Agustus 2011

Ramadhan dan Syariat Puasa


Salah satu hadits Nabi Muhammad SAW yang paling terkenal tentang rukun Islam adalah Islam didirikan atas 5 perkara, (1) Bersyahadat bahwa tidak ada tuhan selain Allah SWT dan bahwasanya Muhammad adalah utusan-Nya, (2) Mendirikan shalat, (3) Menunaikan zakat, (4) Berpuasa di bulan Ramadhan, dan (5) Melaksanakan haji bagi yang mampu.
Kata Ramadhan berasal dari akar kata dasar ra-mi-dha yang berarti panas atau panas yang menyengat. Jika orang Arab mengatakan Qad Ramidla Yaumun, maka itu berarti hari telah menjadi sangat panas. Ar-Ramadhu juga bisa diartikan panas yang diakibatkan sinar matahari. Ada pendapat yang menyatakan bahwa Ramadlan adalah salah satu nama Allah SWT. Tetapi, penulis merasa pendapat ini lemah karena tidak memiliki argumentasi literal.
Demikianlah, istilah bulan Ramadhan diambil dari kalimat ramidha-yarmadhu, yang berarti panas atau keringnya mulut dikarenakan rasa haus. Sedangkan puasa dalam bahasa Arab disebut shiyam atau shaum -- keduanya berasal dasar dari kata kerja sha-wa-ma, yang secara etimologis berarti menahan dan tidak bepergian dari satu tempat ke tempat lain (Al-Syaukani, 1173-1255 H, Fathu-l-Qadir). Shiyam atau shaum merupakan qiyam bila 'amal, yang berarti beribadah tanpa bekerja. Dikatakan 'tanpa bekerja' karena puasa itu sendiri bebas dari gerakan-gerakan. Sehingga, Ibnu Durayd mengatakan bahwa segala sesuatu yang diam dan tidak bergerak berarti sesuatu itu shiyam, sedang berpuasa.
Ibnu Mandzur, pakar sejarah bahasa Arab yang hampir tiada duanya, dalam hasil pelacakannya atas asal-muasal kata, mendefinisikan shaum sebagai "hal meninggalkan makan, minum, menikah dan berbicara". Definisi ini adalah definisi paling asli dan sahih dalam sejarah bahasa Arab. Ini cocok dengan keterangan Alquran, misalnya, pada kisah Sayyidah Maryam saat menjawab cemoohan orang-orang kepadanya, ''Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini.'' [QS 19:26]. Puasa yang dimaksud Sayyidah Maryam di situ adalah menahan untuk tidak bicara.
Sifat 'menahan' menjadi titik atau letak perbedaan antara puasa dengan amal ibadah lainnya. Apapun amal ibadah seseorang, pasti akan dapat diketahui dari sisi dhahir atau luarnya, seperti shalat, haji dan sebagainya. Tetapi, untuk puasa tidak bisa diketahui dan tidak bisa diperlihatkan dengan gerakan-gerakan dzahir atau fisik. Pantaslah jika Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa satu-satunya ibadah yang tidak bisa dicampuri riya --memperlihatkan kebaikan tertentu-- adalah puasa.
Melihat keterangan Ibnu Mandzur di atas, baik tentang makna Ramadhan maupun puasa, ada indikasi bahwa seolah-olah turunnya syariat puasa, setidaknya, bersamaan waktunya dengan kelahiran bulan Ramadhan. Hal tersebut bisa dibenarkan, dikarenakan kedua kata itu memiliki relasi makna yang dekat dan saling bersentuhan, yaitu sama-sama 'panas' atau 'kering' yang disebabkan 'berpuasa'.
Ayat Alquran yang memerintahkan kaum muslimin untuk melakukan ibadah puasa adalah surat Al-Baqarah ayat 183, ''Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.'' Pada ayat yang turun ketika Nabi Muhammad SAW di Madinah ini ada informasi yang menyatakan, ''sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu.''
Ada dua persoalan pokok pada ayat tersebut yang menjadi bahan perbedaan pendapat di antara para ulama, khususnya para mufassir. Perbedaan pertama menyangkut kalimat ''sebagaimana diwajibkan''. Ini menjadi persoalan, karena munculnya pertanyaan; apakah kesamaan berpuasa yang diwajibkan atas kaum 'sebelum kamu' adalah puasa di bulan Ramadhan, atau kesamaan itu hanya meliputi hal syariat berpuasa saja sedangkan waktunya berada di bulan lain?.
Pada persoalan ini, perbedaan timbul di antara dua pendapat. Yang pertama, dimotori Sa'ad bin Jabir RA [w. 95 H.], yang cenderung memaknai hukum tasybih [penyerupaan atau penyamaan] itu hanya pada kewajiban berpuasanya saja, dan tidak meliputi berapa lama dan pada bulan apa berpuasa. Pendapat ini berdasar pada realitas sejarah dimana masyarakat Jahiliyah masih mengenali syariat tersebut, walaupun telah menjadi 'sejarah' serta tidak dilakukan di bulan Ramadhan yang sudah dikenal. Bisa jadi pendapat ini menyandarkan kepada salah satu firman Allah SWT tentang bermacam-macamnya syariat bagi masing-masing umat manusia, "Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu." (QS 5:48).
Pendapat kedua lebih terfokus pemahamannya kepada lama hari berpuasa dan bulan diwajibkannya berpuasa. Pendapat ini mengarahkan perhatiannya pada ayat berikutnya (184), yang berbunyi, "(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu". Dengan demikian, secara global ulama kelompok ini berpendapat bahwa puasa Ramadhan sebagaimana kaum muslimin lakukan selama ini telah diwajibkan kepada umat-umat yang terdahulu.
Menurut Al-Suday, orang-orang Nasrani sebenarnya telah memiliki syariat puasa di bulan Ramadhan. Tetapi, karena merasakan berat, mereka kemudian mengubahnya dengan berpuasa di waktu antara musim dingin dan musim panas, serta menambah beberapa hari. Beberapa hari tambahan itu dengan perincian masing-masing sepuluh hari sebelum dan sesudah bulan yang disepakati ulama mereka. Sehingga, mereka berpuasa selama lima puluh hari. Ibnu Jarir (224-310 H) secara lebih berani meyakini seyakin-yakinnya adanya syariat puasa di bulan Ramadhan bagi Nasrani [Tafsir al-Thabari). Sedangkan agamawan Yahudi, yang juga memiliki syariat puasa di bulan Ramadhan, menggantinya dengan puasa sehari dalam setahun.
Perbedaan kedua --dalam menelaah ayat syariat puasa itu-- adalah tentang siapa yang dimaksud dengan "orang-orang sebelum kamu". Pendapat pertama mengatakan yang dimaksud adalah orang-orang ahlul kitab, yaitu mereka-mereka yang masih berpegang kepada kitab agama-agama sebelum Islam (Yahudi dan Nasrani). Pendapat kedua menyebutkan kaum Nasranilah yang dimaksud ayat itu. Sedangkan pendapat yang ketiga mengatakan bahwa ayat itu memaksudkan seluruh umat-umat manusia sebelum umat Muhammad SAW.
Dalam kitab Perjanjian, salah satunya di Ezra 8:21, memang diinformasikan secara indikatif adanya syariat-syariat puasa dalam Kristen, tetapi tidak secara terperinci disebutkan apa yang dimaksud dengan puasa, selama berapa lama dan diwajibkan pada bulan apa. "Kemudian di sana, di tepi sungai Ahawa itu, aku memaklumkan puasa supaya kami merendahkan diri di hadapan Allah kami dan memohon kepada-Nya jalan yang aman bagi kami, bagi anak-anak kami dan segala harta benda kami."
Dalam konteks sejarah yang lain, syariat puasa nampaknya benar-benar menjadi syariat setiap umat. Sayyidah 'Aisyah RA menceritakan --seperti yang diriwayatkan oleh Hisyim bin 'Urwah-- bahwa orang-orang Quraisy biasa menjalankan puasa di bulan 'Asyura', walaupun sehari saja. Namun sejak diutusnya Nabi Muhammad SAW, puasa dilaksanakan pada bulan Ramadhan. Puasa di bulan 'Asyura' masih disyariatkan tetapi berada dalam status sunnah.
Masih ada riwayat lain yang menerangkan tentang syariat puasa pada umat dahulu. Al-Dlahak, dalam riwayat Ibnu Abi Hatim, mengatakan bahwa puasa pertama kali disyariatkan di zaman Nabi Nuh AS, dan masih tetap berlangsung hingga zaman nabi Muhammad SAW.
Dengan melihat hadits yang diriwayatkan Abdullah bin 'Umar dan beberapa riwayat lain serta melihat proses turunnya syariat yang tanpa diawali sebab-sebab tertentu serta beberapa hal lain, nampak jelas bahwa puasa pada bulan Ramadhan telah disyariatkan kembali kepada manusia --tidak hanya kepada umat Muhammad SAW-- setelah sebelumnya dibelokkan oleh umat-umat terdahulu. Ini lebih bisa diterima karena kemunculan Nabi Muhammad SAW adalah meluruskan dan memperkuat kembali syariat-syariat dari Tuhan yang --sebagaimana diceritakan dalam Alquran-- telah di-tahrif atau diselewengkan oleh umat-umat terdahulu. Pelurusan dan penguatan syariat pada era Islam ini melahirkan dugaan dari para sarjana Barat bahwa syariat agama Islam mengadopsi dari agama-agama sebelumnya.
Mengenai kata ramadhan, sebagaimana tersurat dalam hadits Nabi SAW di atas --riwayat Abdullah bin 'Umar RA-- dan juga surat Al-Baqarah ayat 185, penulis merasa istilah itu mengikuti budaya Arab yang sudah mengenal tradisi ber-Ramadhan. Yang penulis maksudkan adalah, ketika Alquran atau Nabi SAW menyebut kata Ramadhan, masyarakat sudah tidak asing lagi dengan istilah ini. Bahkan dalam konteks struktur bahasa Arab, kata ini sudah menjadi ism ghoiri munsharif. Artinya, makna dan maksud kata itu sudah cukup terkenal dan tidak perlu lagi mengikuti kaidah-kaidah gramatikal bahasa Arab.
Dengan demikian, kita bisa memastikan pula bahwa bulan Ramadhan itu ada, setidaknya, sejak syariat puasa diturunkan kepada umat manusia. Karena, makna ramadhan itu sendiri adalah waktu atau keadaan atau hal dimana seseorang merasakan panas, mulut terasa kering dan tenggorokan terasa haus, yang dikarenakan sedang berpuasa. Sehingga, dengan sendirinya dan secara otomatis, bulan atau waktu dimana orang melakukan puasa disebut bulan atau waktu Ramadhan, yaitu saat yang panas, kering dan haus.
Telah kita ketahui bahwa syariat puasa memang sudah menjadi syariat bagi setiap umat manusia. Dan di antara sekian macam syariat, hanya ibadah puasa merupakan ibadah kontemplatif. Hal ini bisa dibenarkan, karena dalam sebuah hadits Qudsy, Allah SWT telah berfirman, ''Seluruh amal ibadah anak-anak keturunan Adam diperuntukkan kepada pelakunya, kecuali puasa. Maka sesungguhnya puasa adalah untuk-Ku, dan Aku mengganjar karenanya.''
Dengan pernyataan Allah SWT itu, Imam al-Qurthubi (627-671 H) dalam tafsirnya mengatakan bahwa 'puasa merupakan (komunikasi) rahasia antara hamba dengan Tuhannya'. Itulah, dan sudah selayaknya sangat bisa diterima jika Shuhuf-nya Ibrahim AS, Taurat untuk Musa AS, Injil untuk Isa AS serta Alquran pun turun pertama kali pada bulan Ramadhan, bulan saat para pembebas sedang berkontemplasi.
diambil dari karya tulis : M Luthfi Thomafi dan Burhanuddin

Jumat, 05 Agustus 2011

DAMPAK POSTMODERNISME


Jika tidak hati-hati, filsafat bisa membawa dampak buruk bagi pemikiran Islam. Laksana obat,  kadar dan cara penggunaannya harus tepat. Jika keliru, bisa berdampak negative. Sebut saja, misalnya, filsafat posmodernisme. Dalam beberapa dekade terakhir ini, filsafat posmodernis Perancis memberikan pengaruh yang cukup kuat dalam arus pemikiran Islam dan filsafat di belahan bumi yang sedang bergejolak saat ini seperti Maroko, Aljazair, dan Tunisia. Pengaruh tersebut dapat dilihat dari beberapa karya tulis yang terhasil dari tangan para cendikiawan dan pemikir negeri ini. Beberapa karya besar dari tokoh-tokoh posmodernis seperti Michel Foucault, Jacques Derrida, dan Paul Ricour sudah diterjemahkan kedalam Bahasa Arab.
Diantara karya Foucault tersohor yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab adalah Archeology of Knowledgediterjemahkan oleh Salim Yafut dengan judul Hafriyat al-Ma’rifah. Mungkin terinspirasi dengan buku ini, Yafut-pun menulis buku dengan memakai istilah yang sama yaitu Hafriyāt al-al-Ma'rifah al-'Arabiyyah al-Islāmiyyah and Hafriyāt al-IstishrāqHafriyat disini bermaksud archeology, sebuah istilah yang dipopulerkan oleh Foucault dalam upayanya membongkar jaring-jaring (struktur) pemikiran filsafati Barat. Karya lainnya yang telah di-Arab-kan termasuk Discipline and Punishment Discipline and Punishment, dan The Orders of Things. Kehadiran Foucault dalam pemikiran Arab dengan baik di jelaskan oleh Zawawi Bughurah dalam karyanya yang berjudul Michel Foucault fi al-Fikr al-'Arabi al-Mu'asir (Beirut: Dar al-Tali'ah, 2001)
Selain Foucault, Derrida juga memberikan pengaruh yang cukup signifikan dalam pemikiran Arab kontemporer. Hal ini sangat baik di jelaskan oleh Ahmad ‘Abd al-Halim 'Atiyyah dalam artikelnya yang judul al-Tafkīk wa al-Ikhtilaf: Jacques Derrida wa al-Fikr al-‘Arabi al-Mu’asir yang diterbitkan dalam buku yang diedit oleh Mahmud Amīn al-‘Alim, al-Fikr al-‘Arabi ‘ala Masharif al-Qarn al-Hadi wa al-‘Ishrin. (Qadaya Fikriyyah lī al-Nashr wa al-Tawzi’, 1995, hal 159- 199)
Di antara sekian banyak pemikir Arab yang banyak terpengaruh dengan filsafat pos-modernisme, mungkin Muhammad ‘Abid al-Jabiri (m. 2010) dan Mohammad Arkoun (2010), masing-masing berasal dari Maroko dan Aljazair, berada di garda depan. Kentalnya nuansa pos-modernisme dalam pikiran mereka terekam jelas dalam beberapa karya yang mereka hasilkan. Disana kita menemukan banyaknya istilah, konsep, ide, dan metode yang disadur dari pemikir postmodernis, terutama yang berasal dari Perancis seperti Michel Foucault.
Ada yang menyatakan bahwa apa yang dilakukan Jabiri dalam magnum opus-nya Takwin al-‘Aql al-‘Arabi, yang berkeinginan untuk melakukan peninjauan ulang terhadap sejarah Peradaban Arab Islam dan sejarah terbentuknya nalar Arab serta mekanisme berpikir yang berkembang didalamnya, (hal. 6) persis seperti yang dilakukan Foucault terhadap peradaban Barat. Dalam kamus postmodernisme, upaya ini disebut dengan genealogy masih merupakan rangkain dari archeology of knowledge yang dipopulerkan Foucault.
Dalam upayanya melakukan kerja berat ini, Jabiri banyak menggunakan ide-ide dari Foucault. Salah satu diantaranya adalah konsep episteme. Jabiri menyebut episteme ini dengan ‘aql atau al-nizam al-ma‘rifi. Jadi ‘aql menurut Jabiri bukan kemampuan manusia untuk berpikir atau berefleksi seperti yang dipahami selama ini. Akan tetapi ia lebih merupakan “seperangkat prinsip dan kaidah yang disodorkan oleh Budaya Arab kepada mereka yang terkait dengannya sebagai dasar untuk memperoleh pengetahuan.” (Takwin, 37) Definisi ini sangat dengan definisi episteme Foucault yang menyatakan ia merupakan “the total set of relations that unite, at a given period, the discursive practices that give rise to epistemological figures, sciences,  and possibly formalized systems…” (Archeology of Knowledge, terj. Sheridan Smith, 191).
Konsep epsiteme ini sepertinya juga hadir dalam pemikiran Arkoun. Bedanya adalah jika Jabiri mengkategorisasikan episteme ini berdasarkan struktur epsitemologinya, Arkoun membaginya berdasarkan periode sejarah (Klasik, Pertengahan, dan modern). Meski demikian, baik Jabiri maupun Arkoun keduanya percaya bahwa saat ini masyarakat Islam didominasi oleh nalar abad klasik dan pertengahan, yaitu bayani dan ‘irfani.


Relasi Ilmu-KuasaSalah satu ide Foucault yang banyak diadopsi oleh cendikiawan Arab saat ini adalah persoalaan relasi ilmu dan kekuasaan. Edward Said menggunakan konsep ini untuk membaca sepak terjang para orientalis. Said berkesimpulan bahwa gerak kerja orientalisme tidak sepenuhnya di dasari keinginan akademis, tapi juga oleh kepentingan-kepentingan politik.
Jabiri juga menggunakan framework yang sama ketika membaca sejarah panjang intelektual Islam. Dalam penilaiannya munculnya trilogi episteme bayani, irfani, dan burhani diatas tidak terlepas dari faktor-faktor sosio-politik yan terjadi saat itu. Jabiri mengakui bahwa metode bayani murni lahir dari rahim peradaban Islam. Akan tetapi dia menguat, ketika episteme ‘irfani mulai menancapkan cengkaramannya. Episteme ‘irfani ini sendiri menurut Jabiri berasal dari luar Islam, ditebarikan oleh Syiah sebagai bagian dari strategi perang budaya mereka untuk merongrong kedaulatan negara yang berkuasa ketika itu. Tapi anehnya Jabiri menuduh al-Ghazali, yang Sunni, disamping Ibn Sina sebagai orang yang bertanggung jawab menebarkan episteme ini. Jika Ghazali memasukkannya lewat pintu bayani, Ibn Sina menyebarkannya melalui pintu burhani. Intinya adalah bahwa baik episteme bayani atau irfani keduanya lahir bukan disebabkan kebutuhan umat untuk memahami agamanya, akan tetapi disebabkan oleh adanya trik-trik politik.
Jika Jabiri menggunakan konsep ini untuk membaca sejarah filsafat Islam, Arkoun mengaplikasikannya untuk menilik sejarah penghimpunan Kitab Suci al-Qur’an. Arkoun mungkin intelektual Arab yang pertama membaca al-Qur’an dengan kacamata Foucault ini. Tokoh kelahiran Aljazair ini menyimpan keraguan akan otentitas al-Qur’an yang ada saat ini. Dia melihat bahwa apa yang disebut sebagai Mushaf ‘Uthmani saat ini merupakan rekayasa politik khalifah ‘Uthman untuk melanggengkan kekuasaannya, sebuah pandangan yang telah dikritisi oleh banyak pihak. Pandangannya seperti ini mungkin di ilhami oleh Foucault tadi yang selalu suspicious (curiga) akan peran politik dalam proses pembentukan ilmu.  
Masih konsep yang di adopsi dan diaplikasikan oleh beberapa pemikir Arab untuk membaca warisan pemikiran Islam konsep logosphere yang dikembangkan Arkoun, diskursus, juga skeptisisme dan anti otoritas yang belakangan marak dikalangan beberapa pemikir Muslim Arab. Seperti yang dijelaskan oleh Stuart Sim dalam pengantarnya sebagai editor untuk buku The Routledge Companion to Postmodernism bahwa salah satu inti ajaran postmodernisme adalah skeptisisme; sekptik terhadap otoritas, kebijaksanaan yang diwarisi dari masa silam, norma-norma kultur dan politik, dan lain-lain. Postmodernis menolak adanya kemapanan (postmodernism is to be ragrded as a rejection, if not most, of cultural certainties). Lebih jauh Postmodernis bahkan skeptik terhadap otoritas akal. Atas dasar inilah makanya postmodernis menganggap semua orang bisa benar, tidak ada yang salah. Bagi mereka semua orang sama, berada di pusat peredaran, tidak ada yang periperial atau termarjinalkan. Celakanya adalah jika konsep ini diaplikasikan dalam tataran ajaran Islam yang memiliki pandangan hidup permanen berdasarkan Wahyu. Prof Naquib Al-Attas dalam hal ini benar ketika menyatakan sistem berpikir model skeptik seperti ini “is true only in the experience and consciousness of civilizations whose system of thought and value have been derived from cultural and philosophical elements aided the science of their times.” (Prolegomena, 3). Wallau a’lam. (***) 
Written by Nirwan Syarif

Kamis, 04 Agustus 2011

Arti Jihad


Salah satu pilar kekuatan umat Islam sejak dulu hingga di hari akhir nanti adalah jihad. Hal ini sangat dipahami oleh musuh-musuh Allah Swt sehingga untuk bisa mengalahkan umat Muhammad Saw ini, mereka pun berusaha menghantam dan menghancurkan hakikat jihad. Salah satunya dengan menyelewengkan hakikat jihad menjadi sekadar “berusaha dengan bersungguh-sungguh”. Mereka mengatakan hal itu dengan beralasan jika akar kata “jihad” adalah “mujadalah” yang memang berarti bersungguh-sungguh.
Jihad berasal dari bahasa al-Qur’an. Jadi pemahamannya juga harus Qur’ani. Bukan sekadar bahasa Arab di mana orang-orang seperti Abu Lahab dan para pemuka kafirin Quraiys pun menggunakannya. Bahasa boleh sama namun kedalaman makna dan hakikat sangatlah beda. Walau sama-sama berbahasa Arab, namun apa yang keluar dari mulut seorang Abu Lahab atau seorang pemuka kafirin Quraiys, dengan apa yang keluar dari mulut Rasulullah Saw dan para shahabatnya tentulah berbeda sekali. Bagai langit dengan dasar jurang samudera.
Para ulama shalafus-shalih sejak dahulu hingga sekarang tidak ada berbantahan-pendapat soal pengertian jihad, yakni Berperang di Jalan Allah Swt dengan niat yang satu: Hidup mulia atau Mati Syahid. Jadi bukan sekadar bersungguh-sungguh mengerjakan sesuatu. Jihad memiliki berbagai tingkatan. Bersungguh-sungguh mengerjakan sesuatu mungkin berada di tingkatan yang lebih rendah, sedangkan jihad tertinggi adalah Qital atau Jihad fi Sabilillah, Berperang di jalan Allah Swt.
Namun jika ada ulama yang mengatakan bahwa jihad merupakan sekadar bersungguh-sungguh, maka tentu saja itu hal itu memperlihatkan fakta kepada kita jika orang itu tengah melayani kepentingan musuh-musuh Allah Swt. Dalam menghancurkan salah satu pilar kekuatan umat ini yang bernama Jihad.
Kejayaan dan harga diri umat Muhammad Saw ini sejak dulu senantiasa ditegakkan dengan Jihad fi Sabilillah. Sebagaimana risalah tentang Jihad yang ditulis Asy-Syaid Abdullah ‘Azzam, seorang doktor yang memilih tinggal di gua-gua bersama para mujahidin dalam memerangi kafirin Uni Soviet dan membebaskan bumi Allah Swt bernama Afghanistan dari pendudukan kaum yang tidak percaya tuhan tersebut.
Namun di kalangan umat Islam sendiri, jihad juga sering di salah artikan. Membom orang-orang sipil yang tidak bersalah, seperti yang terjadi di beberapa tempat di Indonesia, merupakan contoh kesalahan tafsir tentang jihad fi sabilillah. Islam adalah agama keadilan dan benci dengan kezaliman. Sebab itu, Islam pun mengatur tentang tata cara berperang dan tetap harus memenuhi kaidah keadilan. Islam melarang umat-Nya untuk merusak pepohonan, membunuh perempuan, anak kecil, dan orang lanjut usia yang bukan kombatan.
Jika umat Islam diperangi dengan serangan pemikiran atau serangan budaya, maka kita juga harus melawannya dengan pemikiran dan budaya islami. Jika umat Islam diserang dalam sisi pemikiran, maka kita hadapi dengan pemikiran pula. Dan jika umat Islam diperangi dengan bom dan senjata api, maka perangilah mereka pula dengan bom dan senjata api juga.
Umat Islam di Indonesia memang sedang dalam situasi diperangi oleh musuh-musuh Allah Swt. Namun sampai sekarang, senjata yang mereka pakai masih berupa serangan budaya, ekonomi, dan pemikiran, maka kita pun wajib melawannya dengan senjata yang sama.
Musuh-musuh Allah Swt di Indonesia kini berkumpul di dalam kelompok besar yang dimotori oleh kaum Neo-Liberal (Neolib) yang jelas-jelas merupakan budak dari kepentingan Dajjal yang berpusat di Washington. Sebab itu, mereka dan para pendukungnya harus diingatkan dan disuruh bertobat. Jika mereka tidak mau ya baru dilawan sesuai dengan senjata yang mereka pakai terhadap kita. Serangan budaya dihadapi dengan budaya, serangan ekonomi dihadapi dengan ekonomi, dan jika mereka menyerang dengan bom, baru kita melawan mereka dengan bom.
Jika ada yang bertanya, bukankah sekarang ini di dalam kubu Neolib juga ada orang yang mengaku pembela Islam? Maka kita harus belajar sejarah jika dulu pun Firaun memiliki barisan para pendeta yang menggunakan agama mereka untuk menegakkan sistem Firaunik. Jadi, agama yang diperlihatkan mereka hanya sekadar lips-service atau alat jualan, bukan dalam hakikat sebenarnya. Untuk kelompok yang seperti ini pun kita harus doakan supaya segera bertobat dan kembali ke jalan yang benar dan lurus. Semoga mereka tidak terjerumus lebih jauh ke dalam sistem Dajjal yang sungguh-sungguh mencelakakan.
Wallahu’alam bishawab. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Era Muslim.com