Salah satu hadits Nabi Muhammad SAW yang paling terkenal tentang rukun Islam adalah Islam didirikan atas 5 perkara, (1) Bersyahadat bahwa tidak ada tuhan selain Allah SWT dan bahwasanya Muhammad adalah utusan-Nya, (2) Mendirikan shalat, (3) Menunaikan zakat, (4) Berpuasa di bulan Ramadhan, dan (5) Melaksanakan haji bagi yang mampu.
Kata Ramadhan berasal dari akar kata dasar ra-mi-dha yang berarti panas atau panas yang menyengat. Jika orang Arab mengatakan Qad Ramidla Yaumun, maka itu berarti hari telah menjadi sangat panas. Ar-Ramadhu juga bisa diartikan panas yang diakibatkan sinar matahari. Ada pendapat yang menyatakan bahwa Ramadlan adalah salah satu nama Allah SWT. Tetapi, penulis merasa pendapat ini lemah karena tidak memiliki argumentasi literal.
Demikianlah, istilah bulan Ramadhan diambil dari kalimat ramidha-yarmadhu, yang berarti panas atau keringnya mulut dikarenakan rasa haus. Sedangkan puasa dalam bahasa Arab disebut shiyam atau shaum -- keduanya berasal dasar dari kata kerja sha-wa-ma, yang secara etimologis berarti menahan dan tidak bepergian dari satu tempat ke tempat lain (Al-Syaukani, 1173-1255 H, Fathu-l-Qadir). Shiyam atau shaum merupakan qiyam bila 'amal, yang berarti beribadah tanpa bekerja. Dikatakan 'tanpa bekerja' karena puasa itu sendiri bebas dari gerakan-gerakan. Sehingga, Ibnu Durayd mengatakan bahwa segala sesuatu yang diam dan tidak bergerak berarti sesuatu itu shiyam, sedang berpuasa.
Ibnu Mandzur, pakar sejarah bahasa Arab yang hampir tiada duanya, dalam hasil pelacakannya atas asal-muasal kata, mendefinisikan shaum sebagai "hal meninggalkan makan, minum, menikah dan berbicara". Definisi ini adalah definisi paling asli dan sahih dalam sejarah bahasa Arab. Ini cocok dengan keterangan Alquran, misalnya, pada kisah Sayyidah Maryam saat menjawab cemoohan orang-orang kepadanya, ''Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini.'' [QS 19:26]. Puasa yang dimaksud Sayyidah Maryam di situ adalah menahan untuk tidak bicara.
Sifat 'menahan' menjadi titik atau letak perbedaan antara puasa dengan amal ibadah lainnya. Apapun amal ibadah seseorang, pasti akan dapat diketahui dari sisi dhahir atau luarnya, seperti shalat, haji dan sebagainya. Tetapi, untuk puasa tidak bisa diketahui dan tidak bisa diperlihatkan dengan gerakan-gerakan dzahir atau fisik. Pantaslah jika Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa satu-satunya ibadah yang tidak bisa dicampuri riya --memperlihatkan kebaikan tertentu-- adalah puasa.
Melihat keterangan Ibnu Mandzur di atas, baik tentang makna Ramadhan maupun puasa, ada indikasi bahwa seolah-olah turunnya syariat puasa, setidaknya, bersamaan waktunya dengan kelahiran bulan Ramadhan. Hal tersebut bisa dibenarkan, dikarenakan kedua kata itu memiliki relasi makna yang dekat dan saling bersentuhan, yaitu sama-sama 'panas' atau 'kering' yang disebabkan 'berpuasa'.
Ayat Alquran yang memerintahkan kaum muslimin untuk melakukan ibadah puasa adalah surat Al-Baqarah ayat 183, ''Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.'' Pada ayat yang turun ketika Nabi Muhammad SAW di Madinah ini ada informasi yang menyatakan, ''sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu.''
Ada dua persoalan pokok pada ayat tersebut yang menjadi bahan perbedaan pendapat di antara para ulama, khususnya para mufassir. Perbedaan pertama menyangkut kalimat ''sebagaimana diwajibkan''. Ini menjadi persoalan, karena munculnya pertanyaan; apakah kesamaan berpuasa yang diwajibkan atas kaum 'sebelum kamu' adalah puasa di bulan Ramadhan, atau kesamaan itu hanya meliputi hal syariat berpuasa saja sedangkan waktunya berada di bulan lain?.
Pada persoalan ini, perbedaan timbul di antara dua pendapat. Yang pertama, dimotori Sa'ad bin Jabir RA [w. 95 H.], yang cenderung memaknai hukum tasybih [penyerupaan atau penyamaan] itu hanya pada kewajiban berpuasanya saja, dan tidak meliputi berapa lama dan pada bulan apa berpuasa. Pendapat ini berdasar pada realitas sejarah dimana masyarakat Jahiliyah masih mengenali syariat tersebut, walaupun telah menjadi 'sejarah' serta tidak dilakukan di bulan Ramadhan yang sudah dikenal. Bisa jadi pendapat ini menyandarkan kepada salah satu firman Allah SWT tentang bermacam-macamnya syariat bagi masing-masing umat manusia, "Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu." (QS 5:48).
Pendapat kedua lebih terfokus pemahamannya kepada lama hari berpuasa dan bulan diwajibkannya berpuasa. Pendapat ini mengarahkan perhatiannya pada ayat berikutnya (184), yang berbunyi, "(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu". Dengan demikian, secara global ulama kelompok ini berpendapat bahwa puasa Ramadhan sebagaimana kaum muslimin lakukan selama ini telah diwajibkan kepada umat-umat yang terdahulu.
Menurut Al-Suday, orang-orang Nasrani sebenarnya telah memiliki syariat puasa di bulan Ramadhan. Tetapi, karena merasakan berat, mereka kemudian mengubahnya dengan berpuasa di waktu antara musim dingin dan musim panas, serta menambah beberapa hari. Beberapa hari tambahan itu dengan perincian masing-masing sepuluh hari sebelum dan sesudah bulan yang disepakati ulama mereka. Sehingga, mereka berpuasa selama lima puluh hari. Ibnu Jarir (224-310 H) secara lebih berani meyakini seyakin-yakinnya adanya syariat puasa di bulan Ramadhan bagi Nasrani [Tafsir al-Thabari). Sedangkan agamawan Yahudi, yang juga memiliki syariat puasa di bulan Ramadhan, menggantinya dengan puasa sehari dalam setahun.
Perbedaan kedua --dalam menelaah ayat syariat puasa itu-- adalah tentang siapa yang dimaksud dengan "orang-orang sebelum kamu". Pendapat pertama mengatakan yang dimaksud adalah orang-orang ahlul kitab, yaitu mereka-mereka yang masih berpegang kepada kitab agama-agama sebelum Islam (Yahudi dan Nasrani). Pendapat kedua menyebutkan kaum Nasranilah yang dimaksud ayat itu. Sedangkan pendapat yang ketiga mengatakan bahwa ayat itu memaksudkan seluruh umat-umat manusia sebelum umat Muhammad SAW.
Dalam kitab Perjanjian, salah satunya di Ezra 8:21, memang diinformasikan secara indikatif adanya syariat-syariat puasa dalam Kristen, tetapi tidak secara terperinci disebutkan apa yang dimaksud dengan puasa, selama berapa lama dan diwajibkan pada bulan apa. "Kemudian di sana, di tepi sungai Ahawa itu, aku memaklumkan puasa supaya kami merendahkan diri di hadapan Allah kami dan memohon kepada-Nya jalan yang aman bagi kami, bagi anak-anak kami dan segala harta benda kami."
Dalam konteks sejarah yang lain, syariat puasa nampaknya benar-benar menjadi syariat setiap umat. Sayyidah 'Aisyah RA menceritakan --seperti yang diriwayatkan oleh Hisyim bin 'Urwah-- bahwa orang-orang Quraisy biasa menjalankan puasa di bulan 'Asyura', walaupun sehari saja. Namun sejak diutusnya Nabi Muhammad SAW, puasa dilaksanakan pada bulan Ramadhan. Puasa di bulan 'Asyura' masih disyariatkan tetapi berada dalam status sunnah.
Masih ada riwayat lain yang menerangkan tentang syariat puasa pada umat dahulu. Al-Dlahak, dalam riwayat Ibnu Abi Hatim, mengatakan bahwa puasa pertama kali disyariatkan di zaman Nabi Nuh AS, dan masih tetap berlangsung hingga zaman nabi Muhammad SAW.
Dengan melihat hadits yang diriwayatkan Abdullah bin 'Umar dan beberapa riwayat lain serta melihat proses turunnya syariat yang tanpa diawali sebab-sebab tertentu serta beberapa hal lain, nampak jelas bahwa puasa pada bulan Ramadhan telah disyariatkan kembali kepada manusia --tidak hanya kepada umat Muhammad SAW-- setelah sebelumnya dibelokkan oleh umat-umat terdahulu. Ini lebih bisa diterima karena kemunculan Nabi Muhammad SAW adalah meluruskan dan memperkuat kembali syariat-syariat dari Tuhan yang --sebagaimana diceritakan dalam Alquran-- telah di-tahrif atau diselewengkan oleh umat-umat terdahulu. Pelurusan dan penguatan syariat pada era Islam ini melahirkan dugaan dari para sarjana Barat bahwa syariat agama Islam mengadopsi dari agama-agama sebelumnya.
Mengenai kata ramadhan, sebagaimana tersurat dalam hadits Nabi SAW di atas --riwayat Abdullah bin 'Umar RA-- dan juga surat Al-Baqarah ayat 185, penulis merasa istilah itu mengikuti budaya Arab yang sudah mengenal tradisi ber-Ramadhan. Yang penulis maksudkan adalah, ketika Alquran atau Nabi SAW menyebut kata Ramadhan, masyarakat sudah tidak asing lagi dengan istilah ini. Bahkan dalam konteks struktur bahasa Arab, kata ini sudah menjadi ism ghoiri munsharif. Artinya, makna dan maksud kata itu sudah cukup terkenal dan tidak perlu lagi mengikuti kaidah-kaidah gramatikal bahasa Arab.
Dengan demikian, kita bisa memastikan pula bahwa bulan Ramadhan itu ada, setidaknya, sejak syariat puasa diturunkan kepada umat manusia. Karena, makna ramadhan itu sendiri adalah waktu atau keadaan atau hal dimana seseorang merasakan panas, mulut terasa kering dan tenggorokan terasa haus, yang dikarenakan sedang berpuasa. Sehingga, dengan sendirinya dan secara otomatis, bulan atau waktu dimana orang melakukan puasa disebut bulan atau waktu Ramadhan, yaitu saat yang panas, kering dan haus.
Telah kita ketahui bahwa syariat puasa memang sudah menjadi syariat bagi setiap umat manusia. Dan di antara sekian macam syariat, hanya ibadah puasa merupakan ibadah kontemplatif. Hal ini bisa dibenarkan, karena dalam sebuah hadits Qudsy, Allah SWT telah berfirman, ''Seluruh amal ibadah anak-anak keturunan Adam diperuntukkan kepada pelakunya, kecuali puasa. Maka sesungguhnya puasa adalah untuk-Ku, dan Aku mengganjar karenanya.''
Dengan pernyataan Allah SWT itu, Imam al-Qurthubi (627-671 H) dalam tafsirnya mengatakan bahwa 'puasa merupakan (komunikasi) rahasia antara hamba dengan Tuhannya'. Itulah, dan sudah selayaknya sangat bisa diterima jika Shuhuf-nya Ibrahim AS, Taurat untuk Musa AS, Injil untuk Isa AS serta Alquran pun turun pertama kali pada bulan Ramadhan, bulan saat para pembebas sedang berkontemplasi.
diambil dari karya tulis : M Luthfi Thomafi dan Burhanuddin
0 komentar:
Posting Komentar