Penayangan bulan lalu

MENYATUKAN ISLAM DALAM PERBEDAAN

Jumat, 05 Agustus 2011

DAMPAK POSTMODERNISME


Jika tidak hati-hati, filsafat bisa membawa dampak buruk bagi pemikiran Islam. Laksana obat,  kadar dan cara penggunaannya harus tepat. Jika keliru, bisa berdampak negative. Sebut saja, misalnya, filsafat posmodernisme. Dalam beberapa dekade terakhir ini, filsafat posmodernis Perancis memberikan pengaruh yang cukup kuat dalam arus pemikiran Islam dan filsafat di belahan bumi yang sedang bergejolak saat ini seperti Maroko, Aljazair, dan Tunisia. Pengaruh tersebut dapat dilihat dari beberapa karya tulis yang terhasil dari tangan para cendikiawan dan pemikir negeri ini. Beberapa karya besar dari tokoh-tokoh posmodernis seperti Michel Foucault, Jacques Derrida, dan Paul Ricour sudah diterjemahkan kedalam Bahasa Arab.
Diantara karya Foucault tersohor yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab adalah Archeology of Knowledgediterjemahkan oleh Salim Yafut dengan judul Hafriyat al-Ma’rifah. Mungkin terinspirasi dengan buku ini, Yafut-pun menulis buku dengan memakai istilah yang sama yaitu Hafriyāt al-al-Ma'rifah al-'Arabiyyah al-Islāmiyyah and Hafriyāt al-IstishrāqHafriyat disini bermaksud archeology, sebuah istilah yang dipopulerkan oleh Foucault dalam upayanya membongkar jaring-jaring (struktur) pemikiran filsafati Barat. Karya lainnya yang telah di-Arab-kan termasuk Discipline and Punishment Discipline and Punishment, dan The Orders of Things. Kehadiran Foucault dalam pemikiran Arab dengan baik di jelaskan oleh Zawawi Bughurah dalam karyanya yang berjudul Michel Foucault fi al-Fikr al-'Arabi al-Mu'asir (Beirut: Dar al-Tali'ah, 2001)
Selain Foucault, Derrida juga memberikan pengaruh yang cukup signifikan dalam pemikiran Arab kontemporer. Hal ini sangat baik di jelaskan oleh Ahmad ‘Abd al-Halim 'Atiyyah dalam artikelnya yang judul al-Tafkīk wa al-Ikhtilaf: Jacques Derrida wa al-Fikr al-‘Arabi al-Mu’asir yang diterbitkan dalam buku yang diedit oleh Mahmud Amīn al-‘Alim, al-Fikr al-‘Arabi ‘ala Masharif al-Qarn al-Hadi wa al-‘Ishrin. (Qadaya Fikriyyah lī al-Nashr wa al-Tawzi’, 1995, hal 159- 199)
Di antara sekian banyak pemikir Arab yang banyak terpengaruh dengan filsafat pos-modernisme, mungkin Muhammad ‘Abid al-Jabiri (m. 2010) dan Mohammad Arkoun (2010), masing-masing berasal dari Maroko dan Aljazair, berada di garda depan. Kentalnya nuansa pos-modernisme dalam pikiran mereka terekam jelas dalam beberapa karya yang mereka hasilkan. Disana kita menemukan banyaknya istilah, konsep, ide, dan metode yang disadur dari pemikir postmodernis, terutama yang berasal dari Perancis seperti Michel Foucault.
Ada yang menyatakan bahwa apa yang dilakukan Jabiri dalam magnum opus-nya Takwin al-‘Aql al-‘Arabi, yang berkeinginan untuk melakukan peninjauan ulang terhadap sejarah Peradaban Arab Islam dan sejarah terbentuknya nalar Arab serta mekanisme berpikir yang berkembang didalamnya, (hal. 6) persis seperti yang dilakukan Foucault terhadap peradaban Barat. Dalam kamus postmodernisme, upaya ini disebut dengan genealogy masih merupakan rangkain dari archeology of knowledge yang dipopulerkan Foucault.
Dalam upayanya melakukan kerja berat ini, Jabiri banyak menggunakan ide-ide dari Foucault. Salah satu diantaranya adalah konsep episteme. Jabiri menyebut episteme ini dengan ‘aql atau al-nizam al-ma‘rifi. Jadi ‘aql menurut Jabiri bukan kemampuan manusia untuk berpikir atau berefleksi seperti yang dipahami selama ini. Akan tetapi ia lebih merupakan “seperangkat prinsip dan kaidah yang disodorkan oleh Budaya Arab kepada mereka yang terkait dengannya sebagai dasar untuk memperoleh pengetahuan.” (Takwin, 37) Definisi ini sangat dengan definisi episteme Foucault yang menyatakan ia merupakan “the total set of relations that unite, at a given period, the discursive practices that give rise to epistemological figures, sciences,  and possibly formalized systems…” (Archeology of Knowledge, terj. Sheridan Smith, 191).
Konsep epsiteme ini sepertinya juga hadir dalam pemikiran Arkoun. Bedanya adalah jika Jabiri mengkategorisasikan episteme ini berdasarkan struktur epsitemologinya, Arkoun membaginya berdasarkan periode sejarah (Klasik, Pertengahan, dan modern). Meski demikian, baik Jabiri maupun Arkoun keduanya percaya bahwa saat ini masyarakat Islam didominasi oleh nalar abad klasik dan pertengahan, yaitu bayani dan ‘irfani.


Relasi Ilmu-KuasaSalah satu ide Foucault yang banyak diadopsi oleh cendikiawan Arab saat ini adalah persoalaan relasi ilmu dan kekuasaan. Edward Said menggunakan konsep ini untuk membaca sepak terjang para orientalis. Said berkesimpulan bahwa gerak kerja orientalisme tidak sepenuhnya di dasari keinginan akademis, tapi juga oleh kepentingan-kepentingan politik.
Jabiri juga menggunakan framework yang sama ketika membaca sejarah panjang intelektual Islam. Dalam penilaiannya munculnya trilogi episteme bayani, irfani, dan burhani diatas tidak terlepas dari faktor-faktor sosio-politik yan terjadi saat itu. Jabiri mengakui bahwa metode bayani murni lahir dari rahim peradaban Islam. Akan tetapi dia menguat, ketika episteme ‘irfani mulai menancapkan cengkaramannya. Episteme ‘irfani ini sendiri menurut Jabiri berasal dari luar Islam, ditebarikan oleh Syiah sebagai bagian dari strategi perang budaya mereka untuk merongrong kedaulatan negara yang berkuasa ketika itu. Tapi anehnya Jabiri menuduh al-Ghazali, yang Sunni, disamping Ibn Sina sebagai orang yang bertanggung jawab menebarkan episteme ini. Jika Ghazali memasukkannya lewat pintu bayani, Ibn Sina menyebarkannya melalui pintu burhani. Intinya adalah bahwa baik episteme bayani atau irfani keduanya lahir bukan disebabkan kebutuhan umat untuk memahami agamanya, akan tetapi disebabkan oleh adanya trik-trik politik.
Jika Jabiri menggunakan konsep ini untuk membaca sejarah filsafat Islam, Arkoun mengaplikasikannya untuk menilik sejarah penghimpunan Kitab Suci al-Qur’an. Arkoun mungkin intelektual Arab yang pertama membaca al-Qur’an dengan kacamata Foucault ini. Tokoh kelahiran Aljazair ini menyimpan keraguan akan otentitas al-Qur’an yang ada saat ini. Dia melihat bahwa apa yang disebut sebagai Mushaf ‘Uthmani saat ini merupakan rekayasa politik khalifah ‘Uthman untuk melanggengkan kekuasaannya, sebuah pandangan yang telah dikritisi oleh banyak pihak. Pandangannya seperti ini mungkin di ilhami oleh Foucault tadi yang selalu suspicious (curiga) akan peran politik dalam proses pembentukan ilmu.  
Masih konsep yang di adopsi dan diaplikasikan oleh beberapa pemikir Arab untuk membaca warisan pemikiran Islam konsep logosphere yang dikembangkan Arkoun, diskursus, juga skeptisisme dan anti otoritas yang belakangan marak dikalangan beberapa pemikir Muslim Arab. Seperti yang dijelaskan oleh Stuart Sim dalam pengantarnya sebagai editor untuk buku The Routledge Companion to Postmodernism bahwa salah satu inti ajaran postmodernisme adalah skeptisisme; sekptik terhadap otoritas, kebijaksanaan yang diwarisi dari masa silam, norma-norma kultur dan politik, dan lain-lain. Postmodernis menolak adanya kemapanan (postmodernism is to be ragrded as a rejection, if not most, of cultural certainties). Lebih jauh Postmodernis bahkan skeptik terhadap otoritas akal. Atas dasar inilah makanya postmodernis menganggap semua orang bisa benar, tidak ada yang salah. Bagi mereka semua orang sama, berada di pusat peredaran, tidak ada yang periperial atau termarjinalkan. Celakanya adalah jika konsep ini diaplikasikan dalam tataran ajaran Islam yang memiliki pandangan hidup permanen berdasarkan Wahyu. Prof Naquib Al-Attas dalam hal ini benar ketika menyatakan sistem berpikir model skeptik seperti ini “is true only in the experience and consciousness of civilizations whose system of thought and value have been derived from cultural and philosophical elements aided the science of their times.” (Prolegomena, 3). Wallau a’lam. (***) 
Written by Nirwan Syarif

0 komentar:

Posting Komentar