Pendahuluan
Dunia pemikiran Islam kini memasuki "wajah baru" menyusul membanjirnya arus pemikiran Barat dalam studi keislaman (Islamic studies). Berbagai perguruan tinggi, baik Islam maupun Kristen, menawarkan program Religious Islamic Studies yang banyak mengacu pada pola kajian Barat. Sekitar dua dekade lalu, banyak sarjana Islam mulai berbondong-bondong pergi ke Barat untuk belajar Islam.
Lepas dari soal pro-kontra keunggulan dan kelemahan "metode Barat", dukungan dana dan fasilitas akademik yang baik menyebabkan gelombang sarjana Muslim yang belajar Islamic studies ke Barat, sulit dibendung. Setiap tahun, ratusan sarjana Muslim menyerbu McGill University, University of Leiden, Chicago University, Melbourne University, Hamburg University, dan sebagainya.
Soal belajar memang bisa dimana saja. Yang penting adalah sikap dan daya kritis sarjana Muslim terhadap "sajian" Barat. Prof HM Rasjidi, misalnya, meskipun lulusan Sorbonne University, Prancis, ia mampu mengembangkan daya kritisnya terhadap gagasan-gagasan sekulerisasi. Prof Naquib al-Attas juga jebolan Barat (University of London), tetapi justru berhasil menyusun pola-pola kajian Islam untuk "menandingi" Barat.
Yang menjadi pertanyaan, perlukah mengambil metode kajian keislaman (Islamic studies) dari Barat? Para penyokong gagasan ini biasanya beralasan bahwa metode Barat diperlukan untuk mengembangkan dan memecahkan kebekuan studi Islam, khususnya di lembaga-lembaga pendidikan tinggi Islam.
Diantaranya, dengan memperkenalkan metode penelitian empiris (seperti yang biasa dipakai dalam sosiologi dan antropologi agama), teori-teori baru, dan pemikiran-pemikiran kontemporer dalam ilmu sosial dan humaniora, seperti "teori interaksi simbol" (symbolic interaction)-nya Herbert Mead, teori tindakan komunikatif (theory of communicative action)-nya Habermas, "arkeologi ilmu" (archeology of knowledge)-nya Foucault, "strategi dekonstruksi"-nya Derrida, atau hermeneutiknya Gadamer -untuk menyebut sejumlah contoh saja.
Pembahasan
A. Asal- usul Liberalisasi Pemikiran Islam
Istilah 'liberalisme' berasal dari bahasa latin, liber, yang artinya 'bebas' atau 'merdeka'. Hingga penghujung abad ke-18 masehi, istilah ini terkait erat dengan konsep manusia merdeka, bisa merdeka semenjak lahir ataupun merdeka setelah di bebaskan, yakni mantan budak. Dari sinilah muncul istilah 'liberal arts' yang berarti ilmu yang berguna dan sepatutnya dimiliki oleh setiap manusia merdeka, yaitu aritmatika, geografi, astronomi, dan musik serta gramatika, retorika dan logika.
Pakar sejatah barat biasanya menunjuk moto Revolusi Perancis 1789- kebebasan, kesetaraan, persaudaraan, sebagai piagam agung liberalisme modern. Sebagaimana yang diungapkan oleh H.Gruber, prinsip liberalisme yang paling mendasar adalah pernyataan bahwa tunduk kepada otoritas apapun namanya-adalah bertentangan dengan hak asasi, kebebasan dan harga diri manusia- yakni otoritas yang akarnya, aturannya, ukurannya dan ketetapannya ada diluar dirinya. Disini kita mencium bau sophisme dan relativisme ala falsafah Protagoras yang mengajarkan bahwa "manusia adalah ukuran dari segalanya"- doktrin yang kemudian dirayakan oleh para penganut nihilisme Nietzsche.
Dalam ranah urusan agama, liberalisme berarti kebebasan menganut, meyakini, dan mengamalkan apa saja, sesuai kecenderungan, kehendak, dan selera masing-masing. Bahkan lebih jauh dari itu,liberalisme mereduksi agama menjadi urusan privat. Artinya konsep amar ma'ruf maupun nahi munkar bukan saja dinilai tidak relevan, bahkan dianggap bertentangan dengan semangat liberalisme.
Pemikiran Islam adalah suatu bidang ilmu baru. Istilah pemikiran Islam itu sendiri adalah istilah baru. Kenyataan ini sangat jelas dimana tidak ditemukan sebuah karya turats (klasik) Islam yang berjudul "Al-fikr al-islami" atau tulisan yang mengandung istilah tersebut.
Proses liberalisasi sebenarnya telah terjadi pada berbagai bidang kehidupan, baik bidang politik, ekonomi, politik, maupun sosial, termasuk juga bidang agama. Khususnya yang terjadi dalam agama Islam yang dikenal dengan Islam Liberal.
Menurut Kurzman, ungkapan "Islam Liberal" mungkin terdengar seperti sebuah kontradiksi dalam peristilahan. Mungkin ia binggung dengan istilahnya sendiri: Islam kok Liberal? Meski ia jawab sendiri di akhir tulisannya bahwa istilah Islam Liberal itu tidak kontradiktif, tapi ketidak jelasn uraiannya masih tampak di sana-sini.
Islama sendiri secara lughawi bermakna "pasrah" tunduk kepada Tuhan (Allah) dan terikat dengan hukum-hukum yang dibawa Nabi Muhammad saw. Dalam hal ini Islam tidak bebas. Tetapi, disamping Islam tunduk kepada Allah SWT, Islam sebenarnya membebaskan manusia dari belenggu peribadahan kepada manusia ataupun makhluk lainnya. Bisa disimpulkan bahwa Islam itu "bebas" dan "tidak bebas".
Seorang sarjana hukum India, Ali Asghar Fyzee mengunakan istilah lain untuk Islam Liberal dengan sebutan Islam Protestan, dengan Istilah ini, Fyzee ingin menyampaikan pesan perlunya menghadirkan wajah Islam yang lain, yaitu Islam yang nonortodoks; Islam yang kompetibel terhadap perubahan zaman; dan Islam yang berorientasi ke masa depan dan bukan ke masa silam.
Kemunculan istilah Islam Liberal ini menurut Luthfi, salah seorang pengajar Universitas Paramadina, mulai di populerkan tahun 1950-an. Tapi mulai berkembang pesat pada tahun 1980-an. Selanjutnya Luthfi menjelaskan tentang agenda-agenda Islam liberal, setidaknya ada empat agenda pokok yang dibahas oleh para pembaharu dan intelektual muslim selama ini. Yakni, agenda politik, toleranasi agama, emansipasi wanita, dan kebebasan berekspresi. Selain itu Islam Liberal sangat "mendewakan modernitas", sehingga islam harus disesuikan dengan kemodernan. " jika terjadi konflik antara ajaran Islam dan pencapaian modernitas, maka yang harus dilakukan,menurut mereka bukanlah menolak modernitas, tetapi menafsirkan kembali ajaran tersebut. Di sinilah inti sikap dan doktrin Islam Liberal" kata Luthfi.
B. Arti Liberalisasi Pemikiran Islam
Dinamika pemikiran Islam pada satu dasawarsa terakhir ini, terutama yang berkembang pada intelektual muda sebenarnya berakar pada dua isu mainstream yaitu "tradisi dan modernitas".
Tren pemikiran Islam liberal merupakan fenomena global yang belakangan ini mulai menggejala di hampir seluruh belahan dunia Islam. Ia menyebar dan menjalar ke setiap lini kehidupan masyarakat Muslim pada khususnya seiring dengan derasnya ekspansi-neo imperaliasme barat yang dibuat atas nama globalisasi. Bila diteliti denan cermat, hampir seluruh gerakan liberal di dunia Islam termasuk di Indonesia lahir sebagai respon ideologis terhadap berbagai persoalan, politik, ekonomi, sosial yang sedang melanda masyarakat.
Kaum liberal berusaha ingin membuat terobosan baru untuk membangkitkan kembali masyarakat yang mereka anggap telah tertinggal jauh dari Barat dalam pemikiran. Dan terobosan itu, kata mereka hendaknya dimulai dari agama. Karena Agama (Islam) selama ini menjadi penghalang kemajuan dan akselerasi pembangunan di tengah-tengah masyarakat muslim. Keyakinan inilah yang dapat dairekan dari seorang pemikir arab abad dua puluh yang lalu, Muhammad Nuwaihy. Dalam artikelnya dia menyatakan, "kalau kita betul serius ingin berusaha mencapai "Revolusi budaya Arab Komprehensif", maka kita harus memulainya untuk berhdapan dengan fakta, bahwa penghalang pertama perjalanan ini adalah Agama (Islam).
Secara khusus kelompok ini telah menempatkan dirinya sebagai respon dan reaksi terhadap fenomena baru yang mereka beri label sebagai 'radikalisme dan fundamentalisme Islam'. Ada juga yang melihat gerakan islam liberal ini tak lain adalah kelanjutan dari udaha pembaruan yang pernah di gagas oleh cendekiawan-cendekawan muslim. Dalam posisi seperti ini umat Islam diposisikan untuk mengadopsi demokrasi, kebebasan beragama dan berpendapat, dan persamaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan, pemisahan agama dari ruang publik, dan lain sebagainya. Karena hanya dengan begitu, masyarakat Islam akan terlepas dari ketepurukan yang sedang dialami.
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa arti Liberalisai Pemikiran Islam adalah suatu usaha untuk memisahkan bahkan membuang dasar-dasar Islam baik aqidah maupun syari'ah.
C. Dampaknya Terhadap Aqidah Islam
Proses liberalisasi pemikiran Islam dilakukan melalui 3 bidang penting dalam ajaran Islam, Yaitu (1) Liberalisasi bidang aqidah dengan paham Pluralisme Agama, (2) liberalisasi bidang syari'ah dengan melakukan perubahan metodologi ijtihad, (3) liberalisasi konsep wahyu dengan melakukan dekonstruksi terhadap al-Qur'an.
Dr. Greg Barton dalam disertasinya memberikan sejumlah program dalam mengembangkan liberalisasi pemikiran islam, yaitu: (a) pentingnya konstekstualisasi ijtihad, (b) komitmen terhadap rasionalitas dan pembaharuan, (c) penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama-agama, (d) pemidahan agama dan partai politik dan adanya posisi non sektarian negara.
Dari disertasi Barton tersebut dapat diketahui, bahwa memang ada strategi dan progaram yang sistematis dan metodologis dalam liberalisasi Islam. Penyebaran paham pluralisme agama- yang jelas-jelas merupakan paham syirik modern, karena membenarkan semua tindakan syirik- dilakukan dengan cara masif, melalui berbagai saluran, dan dukungan dana yang luar biasa. Dari berbagai program tersebut terdapat program khusus yang menjadi aspek dasar dari gerakan liberalisasi Islam yaitu, liberalisasi aqidah Islam.
Liberalisasi aqidah Islam dilakukan dengan menyebarkan paham Pluralisme Agama. Paham ini, pada dasarnya menyatakan, bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama. Jadi menurut penganut paham ini, semua agama adalah jalan yang berbeda-beda menuju Tuhan yang sama. Atau mereka menyatakan, bahwa agama adalah persepsi relatif terhadap Tuhan yang mutlak. Sehingga- karena kerelativannya- maka setiap pemeluk agama tidak bolehmengklaim atau menyakini bahwa agamanya sendiri yang paling benar atau lebih baik dari agama yang lainnya. Bahkan menurut Charles Kimball, salah satu ciri agama jahat adalah agama yang memiliki klaim kebenaran mutlak atas agamanya sendiri.
Pada dataran diskursus akademik, makna religion di Barat memang problematik. Bertahun-tahun mereka mencoba mendefinisikan religion tapi gagal. Mereka tetap tidak mampu menjangkau hal-hal yang khusus. Jikapun mampu mereka terpaksa menafikan agama lain. Ketika agama didefinisikan sebagai kepercayaan, atau kepercayaan kepada yang Maha Kuasa (Supreme Being), kepercayaan primitif di Asia menjadi bukan agama. Sebab agama primitif tidak punya kepercayaan formal, apalagi doktrin.
F. Schleiermacher kemudian mendefinisan agama dengan tidak terlalu doktriner, agama adalah "rasa ketergantungan yang absolut" (feeling of absolute dependence). Demikian pula Whitehead, agama adalah "apa yang kita lakukan adalah kesendirian". Di sini faktor-faktor terpentingnya adalah emosi, pengalaman, intuisi dan etika. Tapi definisi ini hanya sesuai untuk agama primitif yang punya tradisi penuh dengan ritus-ritus, dan tidak cocok untuk agama yang punya stuktur keimanan, ide-ide dan doktrin-doktrin.
Konsep Tuhan di Barat kini sudah hampir sepenuhnya rekayasa akal manusia. Bukti Tuhan 'harus' mengikuti peraturan akal manusia. Ia 'tidak boleh' menjadi tiran, 'tidak boleh' ikut campur dalam kebebasan dan kreativitas manusia. Tuhan yang ikut mengatur alam semesta adalah absurd. Tuhan yang personal dan tiranik itulah yang pada abad ke19 'dibunuh' Nietzche dari pikiran manusia. Tuhan Pencipta tidak wujud pada nalar manusia produk kebudayaan Barat. Agama disana akhirnya tanpa Tuhan atau bahkan Tuhan tanpa Tuhan.
Manusia-manusia yang hidup dalam alam pikiran liberal dan kenisbian nilai akan senantiasa mengalami kegelisahan hidup dan ketidaktenangan jiwa. Mereka pada hakekatnya berada dalam kegelapan, jauh dari cahaya kebenaran. Karena itu, mereka akan senantiasa mengejar bayangan kebahagiaan, fatomorgana, melalui berbagai bentuk kepuasan fisik dan jasmaniyah; ibarat meminum air laut, yang tidak akan pernah menghilangkan rasa haus. Tidak ada kebahagian abadiyang dapat mereka reguk, karena mereka sudah membuang jauh-jauh keimanan dan keyakinan akan nilai-nilai yang abadi, kebenaran yang hakiki, mereka tidak percaya lagi kepada wahyu Tuhan, dan menjadikan akal dan hawa nafsu-nya sebagai Tuhan.
Dengan demikian pada akhirnya manusia tidak akan mengakui lagi akan adanya Tuhan, karena bagi mereka Tuhan adalah hasil ciptaan manusia dari akal pikiran mereka sendiri. Jadi yang mengatur kehidupan bukan Tuhan melainkan kita yang menggatur Tuhan. Dan paham ini sangat bertentangan dengan aqidah dalam Islam.
Penutup
Gerakan liberalisasi pemikiran Islam dengan menjadikan barat sebagai rujukan utama sebenarnya sudah lama di praktekan, hal itu di lakukan barat agar terjadi penyimpangan dalam pemikiran Islam bahkan aqidah, sehingga umat Islam akan kehilangan jiwa, ruh yang menjadi landasan dan pondasi Islam. Dan ketika pondasi itu telah hancur maka akan dengan mudah Islam dileburkan.
Sebagai umat Islam sudah seharusnya kita lebih selektif lagi dalam menggunakan pemikiran yang dibawa oleh barat, sehingga tidak akan terjadi penyimpangan pemikiran bahkan aqidah yang telah dibawa oleh Rasulullah yaitu aqidah tauhid.
Daftar Pustaka
" Arif. Syamsudin, "Jejak Kristen dalam Islamic Studies", artikel Mikail Huda Melawan JIL: Dalang di Balik Gerakan Islam Liberal YAPISDA Corporation.
" Arif. Syamsudin, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran,(Jakarta: GIP: 2008).
" Wan adli Wan Ramli, "Studi Pemikiran Islam di perguruan tinggi negeri di Malaysia: realitas, tantangan dan masa depan" Metodologi Pengkajian Islam Pengalaman Indonesia dan Malaysia,(Gontor: ISID, 2008).
" Husaini. Adian, Hidayat. Nuim, Islam Liberal: sejarah, konsepsi, penyimpangan dan jawabannya, (Jakarta:2006, Gema Insani).
" Nirwan. Syarif, "Kritik Terhadap Paham Liberalisme Syariat Islam" Jurnal tsaqofah, vol IV.
" Husaini. Adian, Liberalisasi Pemikiran Islam di Indonesia, makalah di sampaikan dalam acara Rakorda Majelis Ulama se-Jawa dan Lampung di Serang-Benten 11 Agustus 2009.
" Zarkasyi. Hamid Fahmy, "Kajian Pemikiran Islam" ", artikel Mikail Huda Melawan JIL: Dalang di Balik Gerakan Islam Liberal YAPISDA Corporation.